04 March 2014

Movie Review: Way Back Home (Jibeuro Ganeun Gil) (2013)


Apakah anda pernah meragukan kinerja dari para pejabat pemerintahan dibalik tampilan necis dan mewah yang mereka tunjukkan? Jika jawabannya tidak, mungkin anda adalah salah satu warga negara yang langka, karena mayoritas penduduk suatu negara yang mampu bersikap kritis pasti pernah memiliki rasa ragu tadi. Apakah tujuan mereka bekerja memang tulus ingin membantu warga, atau justru tidak pernah peduli dan hanya berupaya membuka jalan untuk meraih ambisi pribadi masing-masing. Way Back Home (Jibeuro Ganeun Gil), an effective typical Korean drama.  

Song Jeong-yeon (Jeon Do-yeon) dan Kim Jong-bae (Go Soo) mungkin dapat dikatakan salah satu contoh dari pasangan suami istri idaman banyak orang. Kehidupan mereka memang sederhana, namun mereka punya salah satu faktor kunci yang jauh lebih penting ketimbang harta, kebahagiaan, pernikahan yang sudah berlangsung selama satu dekade, dengan seorang anak perempuan berusia empat tahun bernama Hye-rin (Kang Ji-woo). Namun kehidupan mereka dalam seketika berubah saat seorang sahabat Jong-bae melakukan aksi bunuh diri karena merasa putus asa setelah terlilit hutang.

Masalah utama disini adalah Jong-bae yang menjadi sosok penjamin, ia bahkan pernah meminjamkan uang pada sahabatnya itu tapi sayangnya jumlah yang kini harus dilunasi menjadi empat kali lipat dari apa yang pernah ia berikan. Finansial mereka runtuh, yang kemudian memaksa Jeong-yeon untuk menerima tawaran pekerjaan dari rekan Jong-bae. Tugasnya sederhana, membawa sekoper batu permata dari Paris menuju Seoul. Namun nasib buruk masih menghantui Jeong-yeon, dari isi koper yang ternyata kokain, bantuan dari Kedutaan Besar Korea Selatan yang tidak serius, memberinya derita dari hitungan minggu, bulan, hingga tahun.


Dengan kombinasi antara judul yang ia gunakan bersama sinopsis diatas pada awalnya akan sangat mudah untuk mengatakan bahwa Way Back Home tidak lebih dari sebuah drama yang mengandung berbagai elemen yang menjadi ciri khas film Korea Selatan . Urgensi dari konflik utama tidak besar, bahkan apa yang Bang Eun-jin ingin capai dari kisah nyata seorang wanita Korea yang harus berakhir di Martinique (Karibia) yang ditulis oleh Yoon Jin-ho ini pada awalnya juga akan tampak sangat sempit, mencari jalan pulang. Hal tersebut akan kental terasa, namun ada sesuatu yang lebih menarik disini, sebuah kritik tajam pada sistem pemerintahan yang dikemas dengan efektif tanpa menghakimi, lebih kepada melemparkan sisi gelap dan kemudian membiarkan penontonnya perlahan mulai terbakar oleh rasa kesal denga sendirinya.

Ya, Bang Eun-jin sangat berhasil secara bertahap menarik penontonnya masuk kedalam gejolak isu yang lebih kelam. Dramatisasi tentu saja ada, terlebih pada cara kerja kedutaan besar yang berhasil dikemas dengan tepat, namun ketimbang menjadi elemen pendukung untuk mewarnai konflik utama isu tersebut justru perlahan mencuri konsentrasi utama. Umpamakan saja konflik utama mencari jalan pulang tadi sebagai sebuah bunyi dari gong yang dipukul dengan sangat kuat dibagian awal, dan dengungan yang ia hasilkan tetap bertahan hingga akhir, tapi perlahan narasi yang dikemas dengan sentuhan yang terlalu klasik itu mulai menjalankan tugas lainnya untuk membawa penonton bertransisi ke sisi yang uniknya terasa lebih menarik.


Ketidakadilan, sederhananya mungkin seperti itu, dan sebagai sebuah informasi topik tersebut mempunyai power yang begitu besar untuk dengan mudahnya mencuri empati dan simpati dari penonton. Ibarat sebuah bendungan yang terus menerus di isi dengan air dan hanya menunggu waktu untuk pada akhirnya jebol, begitu cara Bang Eun-jin mencoba bermain-main dengan emosi penonton, ia juga tahu mengatur tensi cerita yang sedikit terlalu lambat itu. Walaupun tetap dijabarkan dengan tepat, kita mulai tidak begitu ambil pusing lagi dengan berbagai syarat rumit untuk menciptakan jalan pulang bagi Jeong-yeon, karena konflik mulai mundur dan letak fokus mulai bergeser pada karakter.

Tekanan, kemudian mental, dua hal tersebut yang menjadi hal menarik di paruh kedua. Dari sistem yang seperti terus tersenyum dibalik sikap kurang peduli, penggunaan metode surat menyurat, hingga percakapan lintas bahasa yang meskipun kerap menyisipkan unsur fun namun disisi lain ikut membangun kuantitas rasa perih pada masalah utama. Uniknya disamping terus mengemis atensi penontonnya dengan penggunaan beberapa materi mellow yang tidak semuanya gagal, Way Back Home seperti meninggalkan sebuah isu lain yang justru menjadi menarik setelah penonton keluar dari perputaran masalah yang sedikit terlalu lama ini, kasih dan cinta dari keluarga pada kita.

Yap, betapa pentingnya peran keluarga bagi semangat kita untuk terus bertahan hidup, ia memang punya intensitas kecil dan hadir sedikit terlambat namun justru menjadikannya sesuatu yang terasa segar. Hal tadi juga terbentuk berkat kinerja dari dua pemeran utama, tentu saja tanpa melupakan tingkah menjengkelkan dari dua pejabat pemerintahan itu. Go Soo tampil efektif, terlebih dengan penggambaran kondisi serba salah yang ia alami, namun bintang utamanya tentu saja Jeon Do-yeon, yang mungkin tidak membuang rasa takutnya berakting dengan para tahanan dan sipir sungguhan itu, sehingga karakternya terasa kuat, kondisi rentan tak berdaya yang terasa lembut dan tampak alami serta tulus.


Overall, Way Back Home (Jibeuro Ganeun Gil) adalah film yang cukup memuaskan. Ini tidak megah, ini adalah sebuah dramatisasi yang efektif. Sejak awal sasaran yang ingin ia capai memang tidak begitu tinggi, seorang wanita yang ingin pulang, kemudian diwarnai dengan kekacauan dari sistem kerja pejabat pemerintahan serta berbagai perputaran materi terkait hukum yang menemani. Apa yang menarik disini ia berhasil menyampaikan point penting yang dibawa, dari sisi keluarga hingga kritik terhadap pemerintah, mempertahankan kualitas isu utama hingga akhir yang ditemani bersama hal paling penting dari tipe film seperti ini, empati dan simpati penontonnya. Sebuah dramatisasi yang efektif, sadly a little bit segmented.











0 komentar :

Post a Comment