05 January 2021

Movie Review: Uncle Frank (2020)

"I have two words for you. No. Problem."

Bayi yang baru lahir otomatis “dipaksa” mengikuti aturan dan sistem yang telah dibuat oleh orang-orang yang sebelumnya telah lahir, dalam hal ini orangtua mereka. Namun apakah hal tersebut membuat bayi yang kemudian tumbuh menjadi manusia dewasa tersebut tidak memiliki hak untuk memilih, menentukan, dan melakukan apa yang ia inginkan? Pada beberapa hal itu bukan hal yang mudah karena people dictate who you are, namun keputusan akhir ada di tangan kamu, apakah kamu mau menjadi seperti yang kamu inginkan, atau justru kamu ingin menjadi seperti yang orang lain inginkan? ‘Uncle Frank’: imagination, life is your creation.


Beth Bledsoe (Sophia Lillis) merupakan wanita muda berusia 18 tahun yang sedang bersiap untuk masuk bergabung menjadi manusia dewasa. Beth sendiri sebenarnya telah menyimpan cukup banyak pertanyaan dan rasa penasaran terkait kehidupan para orang dewasa, terutama pada kehidupan seksual. Tidak heran ketika ia pergi meninggalkan Creekville, South Carolina untuk kuliah di New York, Beth mulai merasakan gelora asmara ketika dekat dengan para pria, salah satu dari mereka bahkan diundang oleh Beth untuk menghadiri acara pesta yang diselenggarakan oleh Frank Bledsoe (Paul Bettany), paman Beth yang berprofesi sebagai professor.

Frank terkejut ketika mengetahui Beth menghadiri pestanya, semakin terkejut ia saat tahu bahwa Walid "Wally" Nadeem (Peter Macdissi) adalah orang menyambut Beth di rumah mereka. Frank dan Wally adalah housemate dan mereka telah tinggal bersama selama sepuluh tahun. Seorang yang dikenal sebagai nerd di keluarganya serta masih menolak untuk menikah meskipun disebut telah menjalin hubungan asmara dengan wanita bernama Charlotte (Britt Rentschler), Frank adalah sosok yang memiliki masa lalu kelam. Tidak heran Frank merasa berat saat harus pulang ke Creekville dan bertemu keluarganya yang close minded serta masih sangat tradisional itu.

‘Uncle Frank’ ini merupakan salah satu film yang mengejutkan saya di tahun lalu, karena di bagian awal saat saya baru berkenalan dengan Beth Bledsoe ada harapan bahwa ini akan menjadi semacam kisah coming-of-age di mana karakter Beth akan berperan sebagai pusat utama cerita. Dan tentu saja sebuah kisah young adult yang dikemas ringan lengkap bersama konflik-konflik klasik dan familiar. Tapi ternyata yang hadir setelah bagian awal tersebut berbeda dari harapan atau ekspektasi saya tadi, dengan cepat dan terasa halus kamera seperti melakukan tilting ke arah atas, mencoba membawa penonton melihat sesuatu yang lebih “tinggi” lagi, lebih rumit ketimbang rasa ingin tahu dan penasaran seorang Beth yang seolah mencoba untuk mengenal dunia barunya, ditemani oleh Paman Frank.

 

Tapi ternyata seperti judulnya sendiri karakter Frank menjadi sorotan utama lewat “kondisi” yang ia jalani, kondisi yang saat itu dan mungkin sampai dengan saat ini masih sulit untuk diterima oleh banyak orang. Melalui Frank ini Sutradara Alan Ball (American Beauty) mencoba mengajak penonton mengamati apa yang dirasakan dan juga dijalani oleh mereka yang menyandang status minoritas di dalam kehidupan sosial, menyaksikan mereka berhadapan dengan siksaan batin dan emosi, menyembunyikan sedih dan mungkin air mata untuk dapat terlihat tegar dan biasa saja di hadapan orang-orang di sekitarnya yang tentu saja semakin mudah untuk mengunci sorotan mata mereka dan mulai bermain dengan prasangka serta penilaian negatif. Isu utamanya adalah proses accepting dan jalan yang digunakan adalah gejolak emosi karakter utama.

Dua hal tadi dikemas dengan baik oleh Alan Ball terutama pada kemampuannya menyuntikkan sensitifitas manis ke dalam masalah yang berputar tanpa berupaya menjadi rumit dan “menyakiti” dua kubu yang memiliki penilaian berbeda terhadap apa yang dialami oleh Frank. Cerita tidak mempertanyakan apakah keputusan yang diambil oleh Frank itu benar atau salah, yang hadir justru penggambaran dari sikap berani untuk mengambil resiko serta seberapa berani kamu mencoba untuk meraih keinginanmu di dalam hidupmu. Narasi mengakomodasi dengan baik penggambaran tersebut karena Alan Ball memang menaruh fokus untuk terus bertumpu pada pesan arti dari menjadi manusia itu sendiri, menggunakan luka dari masa lalu yang lantas membuat Frank mencoba membebaskan dari dari siksaan batinnya.

 

Prosesnya sendiri tumbuh dengan cara yang lembut dan perlahan, seperti air yang sedang dimasak hingga mendidih begitulah kondisi yang Frank alami, pertentangan di dalam batin yang selama ini membuatnya takut dan tiba-tiba ia kemudian dipaksa untuk mencari solusi ketimbang terus bersembunyi. Ada Wally di sana yang menjadi kompatriot mumpuni bagi Frank sedangkan karakter Beth menjadi link penghubung yang membawa Frank kembali pulang. Konfrontasi yang terjadi sebenarnya brutal tapi pengemasannya terasa lembut, seperti perbedaan budaya misalnya yang tidak “dikamuflase” oleh Alan Ball melainkan langsung ia tampilkan secara frontal, posisi maju kena namun mundurpun tetap kena yang dialami oleh Frank juga membuat konflik bergerak dengan lugas dan lincah tanpa upaya berlebihan dalam menguras emosi.

Emosi hadir dalam kuantitas yang tepat namun tetap mampu menyajikan kualitas yang mantap, tidak heran jika self destruction yang dialami oleh Frank itu memiliki punch yang kuat. Untuk kualitas emosi sendiri cukup mengejutkan bagi saya, tone di bagian awal adalah komedi dan ketika kamera sedang mengarah pada Beth kesan lucu juga selalu mendominasi, tapi Alan Ball sisipkan di sampingnya tragedi yang seolah siap tampil ketika waktunya tiba. Sebuah tragedi yang menjadi senjata bagi storytelling Alan Ball dalam mendorong pesan optimisme yang hangat di samping lingkungan sosial yang tentu tidak berhenti mendikte. Alan Ball memainkan peran kasih sayang dan cinta di sana, ia tidak memaksa agar isu tersebut langsung diterima sepenuhnya namun dibuat menjadi semacam alarm yang mengingatkan nilai manis di balik kasih sayang dan cinta tersebut tadi.


Dua hal penting tadi berhasil membawa penonton larut di dalam isu kehidupan para karakter yang juga tidak terlepas dari kinerja akting para aktor. Berperan sebagai pria yang dirundung masa lalu kelam, Paul Bettany is breathtaking, subtle namun juga tajam dalam membentuk kepedihan yang dialami Frank. He nailed it terutama ketika ia membawa Frank bergerak dari sikap tenangnya untuk perlahan semakin mendekat kepada ledakan emosi. Chemistry Paul Bettany bersama Peter Macdissi juga oke, ada kesan real yang kuat di antara mereka sedangkan di sisi lain Wally juga dibentuk oleh Macdissi sebagai pria dengan pesona caring yang menarik. Sophia Lillis mungkin tampak tenggelam di antara Paul Bettany dan Peter Macdissi namun ia dengan baik menjadi mata bagi penonton dan penghubung semua konflik.

Overall, ‘Uncle Frank’ adalah film yang memuaskan. Isu utamanya sendiri mungkin masih terasa sulit bagi beberapa kalangan penonton namun Alan Ball tetap berhasil membentuk isu yang lebih luas terkait kasih sayang dan juga cinta terhadap sesama manusia, dalam hal ini terhadap kaum minoritas. Menggabung komedi bersama tragedi hidup karakter, Alan Ball menampilkan storytelling yang terasa lembut dan tertata baik, ia menciptakan kesan authentic yang kuat dan menyelipkan sensitivity dengan kualitas yang tepat. Dibantu dengan kinerja akting yang mumpuni, terutama dari Paul Bettany, ‘Uncle Frank’ sukses menjadi sebuah alarm yang lugas dan lincah bagi peran besar kasih sayang dan cinta kasih di dalam kehidupan sosial. Segmented.








1 comment :

  1. “I've decided I'm gonna be who I want to be instead of letting other people dictate who I am.”

    ReplyDelete