03 January 2021

Movie Review: Babyteeth (2019)

“This is the worst possible parenting I can imagine.”

Karakter yang didiagnosa mengidap kanker lalu mencoba untuk menemukan rasa bahagia dengan melakukan hal-hal “gila”, bukankah itu sesuatu yang terasa familiar? Dengan karakter utama remaja yang sedang beranjak dewasa maka kamu mungkin sudah pernah saksikan di film ‘The Fault in Our Stars’ atau jika pernah bermain sedikit lebih jauh maka ada ‘Me and Earl and the Dying Girl’ yang terasa lebih nikmat. Film ini mencoba menampilkan kisah serupa seperti dua film tersebut tadi, kisah coming-of-age yang menggunakan rumus dan pola yang sama namun dilengkapi dengan sensitivity yang manis sehingga membuat cerita young adult ini bukan sebatas daur ulang yang malas. ‘Babyteeth’ : I just wanna live, don't really care about what happens to me.


Wanita bernama Milla Finlay (Eliza Scanlen) sedang menunggu kereta yang akan membawanya ke sekolah tiba dan ia sedang mendengar teman-teman sekolahnya berbincang tidak jauh di sampingnya. Milla seperti memiliki keinginan bergabung di dalam percakapan tersebut namun ada rasa ragu di raut wajahnya yang mendadak hilang ketika ia tersenggol oleh seorang pria berperawakan aneh. Pria itu bernama Moses (Toby Wallace) dan ia langsung mengomentari rambut Milla untuk kemudian mencoba meminjam uang dari Milla. Moses baru saja diusir dari rumahnya.

Tapi menariknya Milla tertarik untuk berteman dengan Moses karena merasa bahwa pria tersebut memiliki “kegilaan” yang selama ini Milla ingin rasakan. Celakanya hal tersebut bertentangan dengan penilaian kedua orangtua Milla terhadap Moses. Sebagai Ibu dari Milla tentu saja mudah bagi Anna (Essie Davis) untuk langsung menolak Moses, sedang sebagai seorang psikiater mudah bagi Henry Finlay (Ben Mendelsohn) untuk menilai bahwa Moses bukan sosok yang tepat untuk menjadi teman anak mereka satu-satunya itu yang baru saja didiagnosa mengidap kanker. 

Di film layar lebar yang menjadi debut penyutradaraannya ini Shannon Murphy jelas sukses mencuri perhatian saya dengan pendekatan yang ia terapkan pada isu serta konflik yang sebenarnya sudah terasa sangat familiar, sebuah kisah young adult di mana karakter utama mengalami sebuah “tragedi” sehingga perjuangannya adalah untuk dapat sembuh, untuk dapat bertahan hidup. Ya, kisah coming-of-age seperti ini punya beberapa judul yang mungkin akan langsung terlintas di pikiran penonton seperti ‘The Fault in Our Stars’ misal, ada pula ‘Me and Earl and the Dying Girl’ yang sukses memberi para penontonnya sebuah petualangan emosi yang terasa authentic. ‘Babyteeth’ bermain di pola yang sama seperti dua film tersebut tadi dan menariknya materi yang sudah familiar tadi berhasil disajikan dengan kesan segar yang kuat.


Bertarung dengan kanker, cinta pertama, lalu ditemani dengan selipan isu disfungsi yang terjadi di dalam keluarga, mereka dibentuk dengan baik oleh Screenwriter Rita Kalnejais untuk menciptakan sebuah “kekacauan” yang langsung mencuri perhatian sejak awal dan membawa penonton larut di dalam perjuangan karakter. Sejak awal pertemuan dengan Milla dan Moses, saya merasakan electrifying charm dari mereka berdua, seolah berkata kepada penonton “hey, akan hadir sebuah kisah klasik tapi asik tentang para remaja di hadapanmu” saya dibuat penasaran dengan kegilaan macam apa yang akan mereka lakukan berdua. Hingga akhirnya saya bertemu fakta bahwa Milla merupakan wanita muda yang sedang berjuang menghadapi penyakit kanker dan selalu berada di bawah pengawasan ketat orangtuanya.

Milla sendiri digambarkan sedang berada dalam dilanda rasa kesepian, ia ingin dapat melakukan hal-hal gila dan aneh sebanyak mungkin, sebuah aksi yang sebenarnya merupakan pengejawantahan dari rasa frustasi yang ia rasakan. Dan di sana muncul Moses, sosok yang mungkin tidak sepenuhnya layak disebut normal karena sikapnya yang liar itu, namun ia mampu membawa Milla merasakan kembali excitement serta kegembiraan yang telah absen di dalam hidupnya. Betul, familiar, satu karakter yang sedang sakit sedangkan ada karakter lain yang mampu menemani dan memberi tawa bagi karakter yang sedang sakit tadi. Senjata Rita Kalnejais di bagian ini adalah fakta bahwa Moses bukan sosok yang tampak “aman” bagi Milla, perasaan itu saya rasakan dan diwakili dengan sangat baik oleh karakter Henry Finlay dan Anna.


Ini juga yang membuat ‘Babyteeth’ terasa segar, fokus cerita ternyata tidak terlalu terpaku pada perjuangan Milla untuk menemukan bahagianya saja namun juga pada bagaimana orangtua Milla berjuang mengatasi tekanan dan kesedihan mereka. Film lain mungkin akan menggunakan hal terakhir tadi sebagai pendamping atau sekedar penunjang pelengkap saja bagi konflik utama, tapi di sini mereka justru diberi cukup banyak waktu untuk menampilkan “worst possible parenting” yang mungkin tidak ingin dialami oleh setiap orangtua, dari rasa sakit, sedih, hingga bingung. Henry dan Anna juga dipaksa berjuang mengatasi isu mereka masing-masing bersama dengan kekurangan mereka sebagai manusia, dan ini yang dibentuk dengan sangat baik oleh Shannon Murphy untuk membuat materi cerita yang familiar tadi jadi terasa segar.

Milla dan Moses tidak punya beban terlalu berat, berbagi dengan Henry dan Anna untuk membuat perjuangan masing-masing karakter punya sensitifitas yang manis, hal yang ditangani dengan baik oleh Shannon Murphy. Tidak ada kesan cengeng yang berlebihan hingga akhir, dramatisasi hadir tanpa intensi untuk mengemis simpati dari penonton tapi justru membuat mereka tenggelam bersama emosi. Menyaksikan Milla terdiam melihat rekannya meminjam wig saja saya sudah terenyuh, cara simple seperti ini yang digunakan oleh Shannon Murphy untuk membuat kombinasi emosi yang kuat. Shannon Murphy pintar memainkan emosi, pintar membentuk imajinasi yang sensitif terkait konflik dan isu di dalam cerita, termasuk pesona karakter serta mood cerita yang tertata rapi sejak awal hingga bertemu akhir yang memikat itu.


Ya, salah satu hal yang krusial dari film tipe seperti ini adalah bagaimana ia akan menyelesaikan cerita, Shannon Murphy hadirkan ending yang cerdik dan tidak terasa berlebihan namun tetap menjadi lapis akhir bagi kekuatan emosi yang sudah hadir sejak awal. Ada rasa puas ketika ending itu selesai tampil, kombinasi suka dan duka yang terasa dewasa, sama seperti kinerja akting dari empat aktor-nya. Eliza Scanlen membuat perjuangan Milla terasa pedih dan tajam, terenyuh saat ia merasakan sakit namun tersenyum dan mendukungnya saat ia sedang bergembira, also thanks to Toby Wallace yang membentuk dengan baik pesona unik milik Moses. Tapi yang paling unik dan memorable dari divisi akting adalah Essie Davis dan Ben Mendelsohn menjadi orangtua yang “galau” dengan emosi, supporting performances yang sangat subtle terutama untuk nama terakhir.

Overall, ‘Babyteeth’ adalah film yang memuaskan. Sebagai sebuah coming-of-age drama yang bercerita tentang karakter yang mengidap penyakit akut dan mencoba untuk merasakan kembali kebahagiaan, ‘Babyteeth’ adalah sebuah petualangan yang menyenangkan, mengaduk-aduk emosi penonton secara subtle serta bertumpu pada sensitivity yang terbentuk dengan manis baik itu pada script serta kendali Sutradara Shannon Murphy. Dibantu dengan kinerja akting yang mumpuni Shannon Murphy dengan terampil dan bijak mengendalikan tiap elemen agar tampil understated dan tidak berlebihan, dari cerita, karakter, hingga mood bahkan elemen komedi untuk menyajikan sebuah petualangan emosi dalam bentuk perayaan hidup yang terasa authentic. Here my cheers for all women directors. Segmented.







1 comment :