12 December 2021

Movie Review: West Side Story (2021)

All the world is only you and me!

Terinspirasi dari kisah Romeo and Juliet, di tahun 1961 film West Side Story’ berhasil memperoleh 11 nominasi Academy Awards dan total 10 buah piala berhasil dibawa pulang, menempatkan adaptasi dari salah satu musical legendaris yang kemudian regarded as one of the greatest musical films of all time itu cuma kalah satu buah piala saja dari film ‘Ben-Hur’ yang kini bersanding dengan film ‘Titanic’ dan ‘The Lord of the Rings: The Return of the King’ for the most Oscars won by a single film in the competitive classes! Pertanyaannya: untuk apa dibuat ulang? Steven Spielberg mencoba dan jangan pernah remehkan ketika dia duduk sebagai Pilot karena hanya ada dua opsi: great or good. Even his "mediocre" films are still good. Boy, boy, crazy boy. ‘West Side Story’ : a dazzling classic rejuvenation. 


Pertarungan sengit antar geng selalu menjadi pemandangan yang mudah ditemukan di sudut kota New York tahun 1950an. Ada pertikaian dengan tensi tinggi di antara kelompok lokal kulit putih “the Jets” dengan kelompok imigran dari Puerto Rico, “the Sharks” yang dipimpin oleh Bernardo (David Alvarez). Menjadi rebutan adalah hak wilayah kekuasaan di the San Juan Hill neighborhood on the Upper West Side, tidak peduli meski telah diingatkan oleh Lieutenant Schrank (Corey Stoll) dan Officer Krupke (Brian d'Arcy James) bahwa lingkungan mereka akan dihancurkan untuk pembangunan Lincoln Center. Pemimpin the Jets, Riff (Mike Faist) bahkan ingin agar diadakan pertarungan di antara kedua kelompok, momen yang Riff anggap dapat ia digunakan untuk membujuk Tony (Ansel Elgort) agar mau kembali ke the Jets.

Tony adalah salah satu pendiri the Jets dan baru bebas dari penjara, ia ingin hidup baru dan fokus membantu wanita tua asal Puerto Rico bernama Valentina (Rita Moreno) mengelola Doc’s general store. Tony semakin menentang ide Riff tadi ketika ia hadir di the ball, acara di mana kawula muda dari penduduk lokal dan juga imigran datang untuk berdansa. Pertikaian di antara the Jets dan the Sharks tetap terjadi di lantai dansa lewat tarian tapi fokus Tony justru tertuju pada wanita berparas manis dalam balutan gaun putih dengan belt warna merah. Namanya Maria (Rachel Zegler), datang ke the ball bersama pria kikuk bernama Chino (Josh Andrés Rivera). Maria adalah adik perempuan Bernardo. Tony dan Maria saling suka, mereka jatuh cinta.

Jika ditarik garis lurus menuju intisari utama cerita maka “West Side Story” pada dasarnya merupakan modifikasi dari Shakespeare's play Romeo and Juliet yang lalu dipindahkan ke the Upper West Side of New York. Hal itu terasa kental di adaptasi tahun 1961 arahan Robert Wise dan Jerome Robbins, kisah cinta Tony dan Maria ada di situasi serupa dengan Romeo dan Juliet namun disokong memorable music oleh Leonard Bernstein berpadu dengan lirik pintar dari Stephen Sondheim. Mudah untuk jatuh cinta pada kisah cinta Tony dan Maria di adaptasi pertama tersebut dan sulit pula untuk melupakannya, tidak heran jika kemudian ia dilabeli sebagai salah satu film musikal terbaik. Lantas apakah film klasik seperti “West Side Story” benar-benar perlu dibuat ulang? Steven Spielberg bersama screenwriter Tony Kushner mau apa?


Tidak hanya dibutuhkan nyali saja untuk menciptakan versi terbaru dari sesuatu yang populer dan “spesial” tapi juga harus punya visi yang kuat. Ya, Steven Spielberg, he aims, he gains, "West Side Story" miliknya penuh dengan kecemerlangan teknis, craftsmanship and a love for the musical art, tetap menaruh hormat pada template yang pernah digunakan namun berhasil pula mendorong its very own identity. Yang paling mencolok mungkin modifikasi pada the order of some of the songs namun fokusnya sendiri memang coba sedikit digeser, tweaked minimally a dramatic love story di versi 1961 bertukar peran dengan social criticism dan kini memegang peran sebagai penggerak narasi kritis yang coba menjangkau berbagai isu, pertarungan underclass versus immigrant dalam balutan fantasi the American dream.

Steven Spielberg dan Tony Kushner mengurangi sedikit porsi kisah cinta dan di sisi  lain memperbanyak kritik sosial, tapi tanpa membuat pesona romance yang telah terbentuk sejak pandangan pertama di pesta dansa pudar apalagi sirna. Ini adalah pemadangan “kehancuran” yang sangat relatable dengan dunia saat ini, underdogs bashing each other's heads with gang rivalry as a pawns to develop the tension. Ada motif kuat di dalam plot yang meski tampak sibuk tapi tertata rapi dengan eksposisi yang kokoh, karena visi dan misi yang jelas sejak awal: the evil of racism portrait staged with the musical yang dieksekusi dengan kepercayaan diri dan sedikit nakal, tidak hanya pada musical numbers yang liriknya berbicara banyak tentang rintangan para karakter tapi juga lewat penggunaan gambar yang kuat. Sangat kuat tepatnya.


Menaruh kisah cinta sebagai nafas terpenting cerita ‘West Side Story’ punya emosi cantik dan manis, saya terpukau karena merasakan itu tidak hanya lewat lirik lagu dan dialog antar karakter saja namun juga visual. Style yang diterapkan Spielberg bersama cinematographer Janusz Kamiński menekankan kontras antara cinta dan benci, bahkan di adegan dance selain tampak dinamis dengan teknik tracking shots penonton juga dapat merasakan ada “gesekan” yang bergetar di dalamnya. Dan ini merupakan salah satu film dengan visual paling memorable dalam beberapa tahun terakhir ini, semua scene dipoles dengan sangat baik. Contohnya adegan balkon yang legendaris itu, dibentuk untuk memanjakan mata, telinga, dan mengaduk-aduk adrenalin penonton, di satu sisi kamu dibawa tenggelam dalam manisnya cinta tapi tetap merasa waspada pada kemunculan Anita.

Atensi saya terus terkunci dan berulang kali saya tersenyum menyadari bagaimana memukaunya Steven Spielberg approaches the material, tetap menghormati heritage dari masa emas musical tapi juga memperluas sajian klasik itu untuk menyuntikkan sentuhan modern in a classic way. Musical harus mampu "meminta" penonton untuk bersedia buy into character, notabene randomly mereka akan bernyanyi dan menari jadi harus ada staging yang dapat membuatnya looks much closer to reality. Di sini a marvel script dari Tony Kushner bekerja sangat manis, tidak hanya mempertajam konteks terkait social and political tapi juga latar belakang karakter sehingga mereka dirasa dekat oleh penonton, dilemma Maria muda dirasa, dapat dipahami mengapa Tony adalah “budak cinta”, lantas egoisme Bernardo dan Riff punya setting yang oke pada ambisi untuk berkuasa.


Setting tersebut banyak membantu Spielberg meraih tujuannya yang sudah dibidik secara jelas sejak awal, bahwa ‘West Side Story’ versinya akan sedikit lebih kompleks ketimbang sebuah kisah cinta yang bernasib sial dalam konflik toleransi budaya. Ini sebuah rekonstruksi yang sangat cantik dengan perubahan yang fit perfectly, tidak hanya sekedar menata ulang lagu secara konteks sehingga bekerja lebih baik tapi memberi pula deeper relationship pada karakter, pada latar belakang sehingga memperkuat tragedi serta menghasilkan emosi yang kuat. Musical numbers penuh tarian dinamis itu memang berhasil “menyapu bersih” kesempatan mereka dan klik masuk ke narasi, tapi yang terasa realistic dan membuat konflik, isu, pesan dan taruhan di dalam cerita terus bergerak naik tidak hanya mereka, tapi juga drama. Sungguh kombinasi yang sangat solid.

Tidak seperti beberapa momen dengan lens flares yang mencuri perhatian serta kurang klik dengan situasi, begitupula dengan keputusan Steven Spielberg untuk menghormati bahasa spanish dengan tidak memberi subtitle yang menerjemahkan dialog bahasa tersebut bagi penonton yang tidak fluent. Mengganggu tentu tidak tapi akan lebih mudah bagi penonton untuk semakin “terikat” dengan karakter dan cerita jika dibantu dengan subtitle dialog Spanish, terutama emosi karena untuk sekedar tahu apa yang ingin disampaikan oleh karakter saat berbicara Spanish sebenarnya dapat coba dipahami dari intonasi suara dan bahasa tubuh dari karakter. Namun pertanyaannya apa semua penonton mereka nyaman dengan “syarat” tersebut? Hal ini yang mungkin akan menjadi perdebatan di beberapa kalangan penonton.


Yang tidak perlu diperdebatkan adalah performance dari para aktor, terutama dari Rachel Zegler dan Ariana DeBose. Di debut akting layar lebarnya ini Rachel Zegler langsung menunjukkan alasan mengapa dia terpilih sebagai pemeran utama di film terbaru Snow White, strong presence with sweet and radiant charm yang langsung menancap di mata dan hati, Maria diperankan dengan baik oleh Youtuber berparas manis ini. Superstar masa depan, chemistry Zegler dengan Ansel Elgort juga baik di mana nama terakhir mampu menunjukkan alasan mengapa Maria mudah jatuh hati pada Tony. Tapi yang terkuat di bagian ini jelas Anita, Ariana DeBose menunjukkan kemampuan luar biasa untuk berpindah di antara emosi yang berbeda secara stabil, salah satu kandidat terkuat best supporting actress tahun ini.

Ya, Ariana DeBose punya peluang besar untuk kembali mengantarkan karakter Anita meraih piala Oscars, mengikuti jejak pendahulunya. Original Anita, Rita Moreno, di sini kembali tampil dan menjalankan fungsi karakter barunya dengan baik untuk membuat konflik jadi semakin intim. Ada beberapa karakter pendukung lain yang saya rasa worth to mention pula kinerjanya di sini, seperti Bernardo yang memiliki kesombongan menarik berkat David Alvarez, sama seperti yang dilakukan Mike Faist pada karakter Riff. Peran mereka tidak boleh dianggap sepele karena tidak di semua bagian narasi memutar konflik dengan pusat pada kisah cinta antara Tony dan Maria saja, ada konflik budaya antar kelompok juga menjadi warna yang menarik untuk diamati, persaingan antara the white Jets and the latin Sharks yang terasa energik.

Overall, ‘West Side Story’ adalah film yang sangat memuaskan. Film ini masuk ke dalam kategori Steven Spielberg’s great movies, a triumph in every respect baik dari teknis seperti cinematography, editing, kostum, dan design, lalu koreografi, hingga pengemasan musical. Disokong acting performance yang memikat dari ensemble cast, Steven Spielberg put his own stamp dalam peremajaan musical romantic drama yang telah melewati ujian waktu itu, menyajikan modifikasi yang cantik untuk menghasilkan pertunjukkan yang nakal, energik, tapi tertata rapi, baik itu ketika karakter menari, dramatisasi, dan permainan emosi. Steven Spielberg menunjukkan “this is how you remaking a classic.” Very smart, Spielberg, very smart. 






1 comment :

  1. ♪ Now it begins, now we start:
    One hand, one heart.
    Even death won't part us now. ♪

    ReplyDelete