21 March 2014

Movie Review: Divergent (2014)


"The future belongs to those who know where they belong."

Tidak dapat dipungkiri bahwa Divergent merupakan sebuah kombinasi dari apa yang pernah eksis di dunia young adult, ada nafas Harry Potter, kemudian The Hunger Games, dan kisah romansa dengan nada Twilight. Namun rasa ragu yang muncul ketika pertama kali membacanya perlahan sirna karena meskipun tidak megah Veronica Roth piawai dalam menciptakan sebuah petualangan menyenangkan berisikan kompleksitas yang menegangkan. But poorly, a movie officially makes Divergent looks like The Hunger Games clone which built up with Twilight system. I’m Divergent btw, a soul with more than one faction, and now I’ll use my Chandor and Dauntless side to telling you this one: a bit boring, and absolute bland.  

Setelah hancur akibat perang, kota Chicago di tahun 2164 sudah terbagi menjadi lima bagian. Mereka dikenal dengan sebutan faksi, ada kaum Amity yang benci peperangan, dan bekerja sebagai petani, Erudite berisikan kaum cerdas yang benci ketidaktahuan, dan berperan dalam pendidikan, Candor yang benci terhadap kepalsuan, namun cinta kejujuran berperan dalam bidang hukum, Abnegation yang tidak egois dan senang membantu sesama berperan di lingkup kepemimpinan pada pemerintahan, dan yang terakhir Dauntless, mereka yang benci rasa takut yang mengambil kendali pada sistem keamanan. Bagi mereka yang telah beranjak dewasa diberikan kesempatan untuk memilih, sekalipun nantinya mungkin akan dilabeli sebagai seorang pengkhianat oleh faksi asalnya.    

Itu yang dialami oleh Beatrice (Shailene Woodley), perempuan asal Abnegation yang memilih untuk masuk Dauntless, sama seperti yang dilakukan oleh abangnya Caleb Prior (Ansel Elgort) yang menyeberang ke Erudite. Yang menjadi masalah adalah bukan tekanan keji dari Eric (Jai Courtney), ataupun persaingan dan bantuan dari orang yang baru ia kenal seperti Peter (Miles Teller), Christina (ZoĆ« Kravitz), ataupun Tobias "Four" Eaton (Theo James), melainkan status Beatrice sebagai seorang Divergent, sebuah kelainan langka dimana seseorang memiliki kemampuan lebih dari satu faksi, sosok yang bukannya menjadi sesuatu yang istimewa namun justru dianggap berbahaya dan harus dimusnahkan.    


Divergent merupakan film yang tergelincir jatuh karena eksekusi penuh kesan hati-hati dan bahkan sedikit rasa takut. Memang tidak dapat dipungkiri tema tempat ia bermain sudah begitu familiar sekarang ini, young adult dengan sentuhan dystopian dan post-apocalyptic, namun pada dasarnya novel Divergent karya Veronica Roth itu sesungguhnya punya potensi yang bukan hanya besar namun sangat besar untuk hadir sebagai kekuatan baru, well meskipun memiliki materi seperti sebuah penggabungan, ya sebut saja ide, dari Harry Potter, Twilight, dan yang sekarang berkuasa, The Hunger Games. Lantas mengapa film ini menjadi boring dan hambar? Ia sangat rusak pada teknik bercerita.

Film ini punya kombinasi minus yang lengkap dari sektor kendali utama, terhimpit dan menjadi bingung. Dari screenplay karya Evan Daugherty dan Vanessa Taylor, kemudian kombinasi bersama sentuhan dari Neil Burger (The Illusionist, Limitless) yang sebenarnya juga menjadi faktor lain yang mempengaruhi tingginya ekspektasi, Divergent tidak terbangun menjadi sebuah upaya pemberontakan yang intens dan menegangkan dibawah pimpinan seorang wanita sebagai pusat utama. Film ini seperti terbebani oleh materi dan mungkin pula ekspektasi tinggi untuk sukses, sehingga berbagai formula coba ia hadirkan yang sayangnya berakhir pada level kurang mumpuni, dari penceritaan dengan gaya yang terlalu tenang, aksi brutal setengah hati, hingga kisah asmara super canggung.


Ini yang menjadi masalah, Divergent tidak mampu lahir menjadi sesuatu yang at least punya keunikan baru, dan secara perlahan menutup pintu bagi segala potensi yang ia punya untuk beraksi. Divergent kurang mampu membuat penontonnya menjadi rooting terhadap mereka, ikut merasakan bahwa pemberontakan dengan permasalahan pada struktur sosial penuh kerumitan itu punya peran penting bagi masa depan Chicago itu sendiri, menginvestasikan emosi dan imajinasi mereka pada cerita yang dapat memberikan sebuah ledakan provokatif. Tidak ada dinamika cerita yang menarik disini, terlalu sederhana malah dan sangat bertolak belakang dengan sensasi yang diberikan oleh sumber utamanya. Sekuat apapun mencoba untuk klik, tetap sulit untuk mengingkari bahwa ini adalah adaptasi yang mengecewakan.

Ya, ini mengecewakan. Tidak menjadi masalah memang modifikasi yang dilakukan pada bahan utama, namun yang disayangkan disini adalah justru yang menghilang itu merupakan beberapa elemen yang berperan penting untuk membangun misi utama. Ketimbang bermain-main dengan isu cinta dan keluarga, serta gesekan antar faksi dengan perebutan kekuasaan yang kompleks, elemen menarik yang di novelnya selalu mampu hadir hingga akhir, disini Neil Burger justru berupaya membangun kisah dengan ruang yang terlalu kecil, personal, Beatrice Prior. Akhirnya ini menjadi terlalu sempit, sangat sempit malah, setelah tahu latar belakang dalam lingkup luas kemudian kita harus terperangkap dalam berbagai aksi pelatihan monoton dan datar, bagian yang seharusnya memiliki taruhan nyawa namun justru lebih terlihat seperti sebuah pusat kebugaran bagi para remaja.


Divergent mungkin akan memperoleh sedikit nilai positif dari mereka yang telah membaca novel, mereka setia dalam penggambaran dan harus diakui ada rasa penasaran yang terus hidup dan menanti bagaimana apa yang pernah anda baca hadir dalam bentuk visual. Namun bagi mereka yang bukan termasuk kategori tersebut, maka anda akan diajak bingung bersama, apa yang terjadi, maksudnya apa, tujuannya kok belum jelas, itu tadi beberapa pertanyaan dari seorang bapak yang duduk disebelah saya. Ini terjadi karena Neil Burger terlalu ceroboh di paruh pertama, terlalu banyak makan waktu dan berbelit-belit tanpa membangun point demi point menjadi kuat. Ia kurang mampu mempermainkan perasaan penonton dalam pergerakan cerita yang menarik pada proses menunggu, sehingga ketika babak akhir yang klise dengan formula hafalan itu muncul, boom, semua telah lelah.

Benar, ini melelahkan, terlalu banyak aksi mondar-mandir canggung tanpa urgensi yang bergerak lamban, sehingga walaupun sudah punya durasi 139 menit tapi Neil Burger tetap saja harus kehabisan waktu untuk menterjemahkan cerita kedalam layar. Sebagai pembuka sebuah trilogi bahkan ini terasa kurang kuat, dan menjadi tugas yang berat bagi penerusnya, Insurgent, walaupun sedikit ada rasa optimis jika menilik Akiva Goldsman sebagai screenwriter. Ya, hanya cerita sebenarnya yang menjadi masalah, karena dari divisi akting upaya para pemeran patut mendapat apresiasi, terlebih dengan materi lemah yang mereka punya serta chemistry yang kerap terasa kaku. 

Ini pertama kalinya saya melihat Shailene Woodley tampil standard, kurang dinamis, disaat harus kuat ia justru tampak rapuh, disaat harus rapuh ia justru terlihat terlalu kuat. Dan bukankah ini terasa unik ketika harus melihat Shailene bertarung dengan kekasihnya di The Spectacular Now, Miles Teller, namun justru punya hubungan darah dengan Ansel Elgort, calon kekasihnya The Fault in Our Stars yang akan datang. Owh, awkward. Theo James menjadi kejutan menarik disini, walaupun kurang maksimal namun ada sebuah sisi rentan yang ia hadirkan pada Four. Namun ada dua yang kurang mumpuni, Jai Courtney yang kurang mampu tampil super menjengkelkan, dan juga Kate Winslet, yang lebih dikarenakan kapasitas miliknya yang sangat minim sehingga tidak punya waktu untuk memberikan kesan yang kuat.


Overall, Divergent adalah film yang kurang memuaskan. Sederhananya, Divergent adalah film tentang pemberontakan yang terlalu lembut, kurang bergairah, monoton, dan sedikit membosankan. Divergent tidak punya petualangan dalam gerak cekatan, ini seperti membangun drama dengan bumbu adegan sci-fi dan action, ketimbang menjadi kodratnya sebagai sebuah film sci-fi action dengan dukungan drama. Terlalu lama diparuh pertama, dan kemudian ditutup dengan kesimpulan yang dikemas terlalu klise serta sedikit terburu-buru. Bahkan ada potensi bagi penonton awam yang merasa ini bukan sebuah trilogi, karena tidak ada cliffhanger dengan kekuatan yang menarik di akhir cerita.
            






0 komentar :

Post a Comment