20 November 2016

Review: Billy Lynn's Long Halftime Walk (2016)


"It’s really good to have you back, little brother."

Kurang lebih empat tahun lalu Peter Jackson mencoba menciptakan gebrakan baru dengan The Hobbit: An Unexpected Journey yang menggunakan frame rate shooting dan proyeksi 48 fps, teknologi “High Frame Rate” yang juga ingin digunakan oleh James Cameron pada sekuel Avatar. Belum semua bioskop “mampu” mengakomodasi teknologi tersebut sehingga film dikonversi ke 24 fps, namun kemudian muncul Ang Lee yang mencoba melipatkan gandakan pencapaian Peter Jackson tadi dengan Billy Lynn’s Long Halftime Walk yang menggunakan HFR 120 fps in 3D at 4K HD resolution. One day teknologi itu akan menjadi hal yang umum di industri film, but for now? It’s a composed and flashy but flimsy and fake-ish drama.

Billy Lynn (Joe Alwyn) mendadak menjadi populer lewat aksi heroik yang ia lakukan di Irak ketika mencoba menyelamatkan rekan sesama tentara USA, ketika kembali ia bersama anggota pasukan Bravo lainnya dipuji sebagai pahlawan dan melakukan tour keliling negeri. Garis finish tour tersebut berada di half-time Thanksgiving football game di mana mereka akan perform bersama Destiny’s Child. Tapi exposure layaknya celebrity itu tersebut membuat Billy merasa terganggu, ia masih terus berjuang untuk dapat lepas dari kilas balik pada kejadian di Irak terutama terkait tentara bernama Shroom (Vin Diesel). 


Sinopsis di atas sederhana dan jika secara sederhana pula cerita yang berdasarkan novel karya Ben Fountain itu juga sama sederhananya. Script yang ditulis oleh Jean-Christophe Castelli itu digunakan oleh Ang Lee untuk menghadirkan another studi karakter dan kali ini menggunakan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) yang dialami oleh karakter utama. Alur ceritanya sederhana, kamu akan dibawa menyaksikan Billy dan rekan-rekannya berkeliling negeri untuk menjalani tour, dari menghadiri acara NFL hingga proses adaptasi aksi heroic mereka ke dalam bentuk film. Tapi sebenarnya there’s a lot going on in Billy Lynn’s Long Halftime Walk, fokus penonton Ang Lee coba arahkan pada bagaimana Billy bertarung dengan emosi yang ia miliki. Billy sendiri harus diakui merupakan karakter yang menarik, diperankan dengan cukup baik oleh Joe Alwyn di debut layar lebarnya. 


Itu alasan mengapa Ang Lee mencoba menggunakan HFR dengan 120 fps pada film ini, mungkin ia ingin agar pertarungan emosi yang Billy hadapi akan semakin terasa immersive ketika hadir di layar. Saya menonton film ini di AMC Lincoln Square dan satu hal yang dapat saya katakan terhadap penggunaan teknologi tersebut adalah, yes it’s true, in highest resolution and maximum frame rate the picture look astonishingly real. Memang sedikit dipengaruhi rasa kaget saya karena 120 fps merupakan something new for me as a moviegoer namun harus diakui visual terasa impresif, ekspresi wajah terasa sangat detail and sangat clear. Ini seperti menyaksikan film di layar HDTV ukuran jumbo, sebuah cinematic experience dipenuhi gambar yang crisp and depth bahkan tatapan mata yang terasa lebih “menyeramkan” ketimbang presentasi dengan normal fps. 


Ang Lee benar-benar menggunakan dengan baik 120 fps itu untuk memberikan pengalaman menonton yang menawan bagi penonton, di sektor visual. Sharp and vivid mereka terasa sangat flashy contohnya pada halftime show yang terasa sangat memikat. Tapi di sisi lain sama seperti sektor cerita presentasi visual yang Billy Lynn’s Long Halftime Walk berikan lebih dominan terasa tipis terlebih jika dilihat pada hubungan yang ia jalin dengan cerita. Di tangan Ang Lee mereka tersusun dengan baik, terasa composed, tapi tidak konsisten terasa appealing, mereka terasa cukup immersive tapi di sisi lain juga terasa fake-ish. Tidak heran ini terasa seperti panggung sandiwara, bukan sebuah studi karakter dengan emosi yang konsisten appealing dan terasa genuine. Being too real justru membuat kisah Billy tidak konsisten memiliki hubungan yang intim dengan penontonnya, ia tampak seperti boneka ketimbang manusia yang sedang bertarung dengan stress dan gejolak emosi. 


Tidak heran jika kemudian muncul rasa “fantasi” di dalam Billy Lynn’s Long Halftime Walk karena meskipun visual tampak sangat real tapi jiwa di dalam karakter dan juga cerita tidak stabil tampil demikian. Fokus Ang Lee tampak lebih besar pada membuat cinematic feel di sektor visual yang too damn perfect tapi tidak seperti yang ia lakukan di Life of Pi magic dari visual itu tidak selalu bersatu dengan baik bersama cerita yang terasa erratic ketika menampilkan present and past begitupula dengan kombinasi humor dan drama. Dramatisasi terasa cukup lemah di sini, emosi terasa kurang tajam ketika melodrama muncul, terasa lacking dan terlalu minim. Sangat disayangkan karena ini bisa menjadi sebuah social drama dengan menunjukkan bagaimana karakter berhadapan dengan masalah psikologis, tapi sama seperti score Mychael Danna yang minimalis hal tersebut kalah telak bersaing dengan visual ketika memperebutkan atensi penonton. 


Bukan sebuah kejutan ketika Ang Lee menghadirkan karya yang overall tidak sangat impresif, ‘Taking Woodstock hadir setelah Brokeback Mountain dan Lust, Caution, ‘Hulkhadir setelah Crouching Tiger, Hidden Dragon, tapi yang membuat Billy Lynn’s Long Halftime Walk memorable adalah ini merupakan an okay and composed drama dengan blunder pada usaha menciptakan experiment yang terlalu fokus pada teknologi. And funny to say for me ini terasa seperti sebuah film documenter dengan durasi 110 menit. Satu hal yang pasti ini menjadi awal dari sebuah teknologi that could change film history, meskipun tidak langsung catch on namun sangat mengapresiasi Ang Lee yang takes chances. Sama seperti gadget generasi pertama tentu akan bertemu banyak kendala, dari internal maupun dari konsumen yang masih belum “siap”, tapi inovasi akan terus berkembang and one day it’ll be perfected. For now? Admirable effort btw, but nope. Take a note Cameron! Segmented.  













0 komentar :

Post a Comment