22 February 2017

Movie Review: La La Land (2016)


“City of stars, are you shining just for me?”

Drama, comedy, action, horror, romance, thriller, sci-fi, mungkin jika dibandingkan dengan genre-genre tadi musical dapat dikatakan tertinggal jauh dalam hal popularitas. Meskipun pernah berada di golden age kini musical genre lebih identik dengan film animasi, tetap berada di kategori “less mainstream” meskipun telah memiliki film-film seperti Moulin Rouge!, Chicago, Sweeney Todd: The Demon Barber of Fleet Street, Nine, dan Les Misérables sebagai anggotanya. Dapatkah musical genre mencuri atensi dalam skala besar? Of course, here's to the ones who dream, perpaduan contemporary, modern, fantasy, and reality bersama sweet tunes plus catchy dances. La La Land: a joyful ode to love and life, dreams and imagination.

Terjebak di kemacetan Los Angeles highway yang sangat crowded wanita muda bernama Mia Dolan (Emma Stone) sedang berusaha keras untuk menghafal dialog yang akan ia perankan pada sebuah audisi. Bekerja sebagai barista Mia memiliki mimpi dan tekad yang sangat besar untuk dapat menjadi seorang aktris dan memiliki kehidupan yang glossy di tanah Hollywood. Sayangnya usaha untuk meraih impian tersebut berulang kali mempertemukan Mia dengan berbagai “rintangan” dan menariknya suatu ketika “rintangan” tersebut justru datang dari seorang pria bernama Sebastian Wilder (Ryan Gosling).

Sebastian merupakan sosok yang mulanya merupakan stranger namun perlahan menjadi sosok penting di dalam Mia, seorang jazz pianist yang punya ambisi untuk mendirikan his own jazz club dan sama seperti Mia juga sedang menjalani kehidupan yang struggling. Sebuah improvisasi piano berhasil mempertemukan Sebastian dengan Mia dan setelah sebuah pesta di the Hollywood Hills mereka mulai menjalin hubungan yang lebih “serius”. Saling mendukung satu sama lain ketika berjuang bersama harapan dan impian masing-masing sayangnya “jalan” yang ada di hadapan Mia dan Sebastian tidak selalu sama.  


Romance merupakan genre yang identik dengan kata “corny”, sebuah kisah yang berisikan cinta sebagai amunisi utamanya dan jika tidak ditata dengan baik kerap dengan mudah akan terasa pale and shallow. Itu tidak serta merta menjadi satu-satunya “rintangan” bagi ‘La La Land’ karena film ini di sisi lain juga mencoba menghadirkan kisah cinta berbalut komedi tadi dengan ditemani unsur musikal di dalamnya. Sebenarnya itu merupakan kombinasi yang menarik namun film dengan kata “musical” di dalamnya harus diakui tidak semudah genre lain dalam membuat penonton merasa yakin untuk menaruh ekspektasi yang tinggi padanya. Dahulu sempat memiliki golden age kini musical telah menjadi genre yang less mainstream, ia bahkan kini perlahan identik sebagai genre yang lebih populer bagi children spectator.

Mengapa kita berbicara tentang “rintangan” yang dimiliki oleh musical? Karena hal tersebut berhasil diatasi dengan sangat baik oleh Damian Chazelle di film ini. Pada major feature film keduanya ini Damian Chazelle membuktikan bahwa apa yang ia lakukan di ‘Whiplash’ bukan sebuah “luck” belaka, di sini ia berhasil membentuk sebuah sajian romance corny namun charming berpadu dengan manis bersama sentuhan musical sebagai pendamping utamanya. Di sini Chazelle menggunakan elemen klasik yang dimiliki oleh Hollywood dan juga jazz untuk menyajikan sebuah ode to dreams, menggabungkan drama, komedi, romance, dan musical menjadi sebuah tim yang mencoba bercerita tentang love and life. Hal yang membuat tim tersebut terasa begitu berkesan adalah keputusan Damian Chazelle untuk menghadirkan mereka layaknya musik jazz itu sendiri. 


Kekuatan utama ‘La La Land’ terletak pada kualitas pengarahan Damien Chazelle terhadap setiap komponen pembentuk film. Chazelle seperti memiliki sebuah “peta” yang berhasil ia rancang sedemikian rapi dan manisnya sehingga masing-masing dari komponen tersebut punya kesempatan untuk bersinar namun tidak lupa untuk saling melengkapi satu sama lain. Ibarat musik jazz terdapat begitu banyak “clash” yang terjadi di dalam ‘La La Land’, tidak hanya pada sektor cerita yang menggabungkan berbagai isu seperti mimpi, kehidupan, dan juga cinta namun juga pada elemen teknis contohnya seperti pada cinematography, score, hingga song. Seperti yang dikatakan oleh Sebastian, “it's conflict and it's compromise”, dari opening scene yang ambisius hingga final sequence dalam bentuk backwards yang terasa cantik itu berbagai elemen di dalam ‘La La Land’ tadi seperti bergembira sesuai keinginan mereka masing-masing namun tetap padu sebagai sebuah tim.

Hal tersebut tadi semakin terasa impresif karena sukses Chazelle hasilkan dengan kualitas dan konsistensi yang sangat mumpuni sejak awal hingga akhir. Screenplay yang ia ciptakan memang bukan merupakan elemen yang sangat menonjol di film ini namun narasi berhasil menciptakan “jalan” yang terasa halus bagi kisah Mia dan Sebastian untuk terus tumbuh berkembang. Mereka mengalir dengan manis ketika mencoba “berbicara” atau menunjukkan kepada penonton berbagai isu yang terkandung di dalam cerita, namun di sisi lain Chazelle bentuk itu tanpa mencoba mengemis atensi, emosi, empati, dan juga simpati layaknya crybaby.La La Land’ adalah penggambaran dari sebuah dream factory yang merupakan gabungan klasik dan modern, namun ketimbang tampil preachy seperti contohnya ketika menunjukkan life ironic terkait bagaimana cinta tidak “semudah” dan “seindah” yang anda kira Chazelle sajikan hal-hal tersebut bersama dengan swing and joy. 


Find each other and lose each other, sesungguhnya dua hal tersebut ditampilkan oleh Chazelle dalam bentuk standar seperti kisah romance pada umumnya namun di sisi lain ia bungkus bersama imagination yang cantik, tidak hanya terhadap isu cinta saja namun juga tentang dreams and life. Terdapat permainan antara dream dan juga reality di sini tapi menariknya kegembiraan yang mereka hadirkan tidak mengurangi kapasitas dan kualitas yang dimiliki oleh cerita terhadap human sight yang ia punya. Ya, human sight, terdapat rasa fantasi yang tidak kecil di ‘La La Land’ namun Chazelle kontrol mereka dengan baik sehingga penonton tetap dapat melihat Mia dan Sebastian sebagai dua manusia biasa yang sedang kesulitan di dalam hidup mereka. Hasilnya mudah untuk menjalin koneksi dengan apa yang Mia dan Sebastian hadapi, dari difficult times hingga indahnya hidup, mereka dibentuk dengan cantik secara playful dan juga witty.

Dan ketika kata maupun kalimat are not enough, Chazelle gunakan musical numbers sebagai pemoles baik itu bagi karakter dan juga bagi feel yang dimiliki cerita. Lagu, mereka klik dengan manis ke dalam cerita dan meninggalkan kesan natural yang begitu kuat. ‘Another Day of Sun’ sebagai pembuka berhasil menciptakan mood yang sangat oke sebelum kita bertemu dengan Mia dan juga Sebastian, bersama dengan dance steps ‘A Lovely Night’ punya semacam “game” yang berisikan attraction sebagai titik mula hubungan Sebastian dan Mia melangkah lebih jauh. ‘City of Stars’ berhasil memperkokoh happiness dengan cara yang melankolis hingga kita bertemu ‘Audition (The Fools Who Dream)’, sebuah track berisikan sadness yang terasa uplifting. Bersama dengan score gubahan Justin Hurwitz musical numbers tidak sebatas sebagai pelengkap belaka saja, mereka juga menjadi bagian dari “clash” tadi, membantu memperkuat koneksi emosi hingga menjadi pelengkap feast bagi hati, mata, dan juga telinga penontonnya. 


Elemen teknis juga memberikan kontribusi yang besar bagi feel “magical” yang ‘La La Land’ tampilkan. Shot by Linus Sandgren cinematography film ini terasa impresif, dari panorama Los Angeles serta berbagai iconic locations hingga ketika berurusan dengan musical scenes yang menciptakan kesan halus. Mia, Sebastian, dan karakter lainnya berhasil mengeksekusi koreografi dengan baik sehingga terasa dinamis namun camera merupakan the best dancer di ‘La La Land’. Selain cinematography sektor design juga punya andil penting, dari production dan juga costume design yang terasa impresif dalam menciptakan perpaduan klasik dan modern, sound editing yang terasa oke (that tap dance is sweet) hingga sound mixing dan juga editing yang terasa memikat dalam memadupadankan setiap scene and sound, dari score, song, hingga vocal, mereka terasa natural, smooth, and composed.

And last but not least, tentu saja, kinerja akting. Bukan sebuah pekerjaan yang mudah bagi Ryan Gosling dan juga Emma Stone yang di sini seperti memikul sepenuhnya “beban” yang dimiliki cerita, dan di sini mereka melakukan pekerjaan yang baik. Secara kualitas overall apa yang Gosling dan Stone berikan pada masing-masing karakter mereka tidak terasa superb memang namun di sisi lain mereka berhasil menghadirkan hal krusial yang wajib dimiliki oleh Mia dan Sebastian, yaitu pesona. Because once again it’s a romance, it’s corny, namun terdapat energi yang kuat dan memikat dari Mia dan Sebastian sejak awal hingga akhir, dengan cepat mereka telah menjadi iconic romantic couples. Chemistry di antara mereka sangat baik, rhythm dan tik-tok satu sama lain terasa oke baik itu ketika berurusan dengan hal-hal playful termasuk ketika mereka bercanda dan menari hingga terkait hal-hal yang lebih serius dan menuntut kehadiran emosi. 


Overall, La La Land adalah film yang sangat memuaskan. Dari opening number di freeway hingga finale tidak ada momen di dalam ‘La La Land’ yang tampil tanpa charm yang impresif. Dengan script yang understated serta tim berisikan perpaduan musical elements, elemen teknis, dan juga kinerja akting yang terasa impresif Damien Chazelle sukses menyuguhkan sebuah ode bagi mimpi dan imajinasi, sebuah bittersweet namun feel-good story berisikan human sight dan life ironic bersama begitu banyak joy. Sebuah musical romantic comedy-drama film dengan perpaduan klasik dan modern yang terasa sweet ‘La La Land’ mungkin tidak membuat genre musical langsung kembali bertemu pintu masuk ke dalam new golden era namun at least ia sukses menjadi antidote dari “kepunahan” serta menjaga respect kepada genre musical. ‘La La Land’ tidak hanya akan membuat anda jatuh hati pada musical film saja, it’ll make you fall in love with the movies again. Absolutely my tempo.  











0 komentar :

Post a Comment