26 October 2021

Movie Review: Dune (2021)

“Fear is the mind-killer."

Di masa depan pesawat akan bergerak seperti capung, sayapnya tidak lagi kaku tapi dapat bergerak mengepak naik dan turun, sedangkan planet akan berkisar di angka 60° celcius, namun tetap saja aksi perebutan kekuasaan eksis dan membuat manusia saling bunuh satu sama lain. Itu tadi segelintir masalah yang menjadi bahan cerita film ini, sekitar delapan millennium dari sekarang di mana kondisi bumi tidak layak lagi untuk diperbincangkan, planet gurun tercipta di mana lautan tidak bisa tampak di pelupuk mata, yang tampak hanya gersangnya gurun pasir rumah bagi para cacing raksasa. From one of the greatest science fiction novels of all time, comes one of the best cinematic experiences this year so far. ‘Dune’ : an immersive epic sci-fi.


Tahun 10191, Duke Leto Atreides (Oscar Isaac), pemimpin House Atreides, penguasa planet laut bernama Caladan, suatu hari ditunjuk oleh the Emperor untuk mengelola planet gurun Arrakis, yang tentu saja termasuk tambang rempah-rempah yang jadi sumber penghasil obat bernama melange, atau lebih dikenal dengan nama “spice”, zat tak ternilai yang dapat memperpanjang vitalitas manusia serta berperan penting dalam perjalanan antarbintang. Leto melihat penunjukkan itu sebagai kesempatan untuk membangun aliansi dengan penduduk lokal, the Fremen, dan akan menjadi langkah pertama upaya perdamaian antar Houses, mimpi yang telah ia susun serta telah ia siapkan dengan matang, salah satunya Paul Atreides (Timothée Chalamet).

Paul adalah anak laki-laki Leto, ia dilatih oleh Gurney Halleck (Josh Brolin), Duncan Idaho (Jason Momoa), dan Thufir Hawat (Stephen McKinley Henderson) sedangkan sang Ibu, Lady Jessica (Rebecca Ferguson) mengajari Paul disiplin ilmu Bene Gesserit. Tapi Paul menderita gangguan berupa kemampuan melihat visi peristiwa dari masa depan dan salah satu yang selalu muncul di visi itu adalah seorang wanita muda dari the Fremen, Chani (Zendaya). Leto ingin anak laki-lakinya dapat segera berubah menjadi sosok yang tangguh karena ia sadar awan perang raksasa sedang bergerak menuju Arrakis, karena Baron Vladimir Harkonnen (Stellan Skarsgård), pemimpin House Harkonnen, penguasa sebelumnya di planet Arrakis, mulai mengeksekusi rencana jahatnya.

Proses menciptakan “dunia baru” menggunakan Arrakis sebagai basisnya dilakukan dengan sangat baik oleh Sutradara Denis Villeneuve berserta jajaran tim-nya. Tentu saja dengan setting waktu 8000 tahun dari sekarang kita semua sama-sama tidak tahu pasti bagaimana bentuk bumi saat itu, tapi satu hal yang dapat kita sepakati ialah ada beberapa opsi yang mungkin terjadi jika menilik kondisi dunia saat ini. Yang pertama tentu saja teknologi yang semakin canggih, sesuatu yang dieksploitasi dengan manis di sini, ada beberapa hal yang hadir untuk “memudahkan” manusia seperti pakaian serba canggih, air minum, hingga tentu saja satu gadget yang dapat membuat manusia memiliki proteksi ekstra. Tidak eksploitatif memang tapi elemen ini kualitas pesonanya sangat kuat.


Yang lainnya adalah bagaimana Arrakis akan berada dalam kondisi hancur, manusia tidak lagi memiliki kebebasan lebih, dan era akan kembali seperti masa lalu di mana berdiri berbagai kerajaan yang kemudian akan berusaha untuk saling mengalahkan satu sama lain. Hal tersebut juga dieksploitasi dengan manis di sini tapi menariknya dikemas secara perlahan oleh Sutradara Denis Villeneuve. Saya telah membaca novel yang menjadi sumber cerita film ini, dan saya juga sudah mencoba menonton film dengan judul sama karya David Lynch rilisan tahun 1984 (Sean Young manis banget di film ini), sehingga muncul antisipasi pada pendekatan yang akan digunakan oleh Villeneuve di sini. Hal tersebut mengingat materi cerita tidak sedikit. Thank God, he only filmed the first part of Frank Herbert's novel.

Butuh waktu untuk membentuk setting kondisi serta latar waktu yang digunakan, butuh waktu membangun konflik penuh unsur politik, dan dibutuhkan pula ruang bagi karakter Paul untuk berkembang mengingat ada unsur coming-of-age di dalam perjuangannya itu. Tapi rasa waspada saya seketika luntur ketika opening title film ini muncul, ada kata “Dune” di sana namun disertai tulisan kecil di bawahnya, yakni part one. Meskipun disebut menyandang status cult tapi adaptasi David Lynch tahun 1984 yang lalu terasa kurang kuat dari sisi konten cerita, mencuri perhatian berkat penggambaran surealis the desert planet. Senang rasanya Villeneuve mengambil cara pendekatan yang berbeda, lebih berupaya menciptakan pondasi yang kokoh terlebih dahulu dengan mengedepankan aura dark di balik konfilk antar Houses itu.


Alhasil tidak ada kesan terburu-buru dan juga dipaksakan di semua elemen sehingga lebih mudah menjangkau mainstream audience. Dan bagi saya ini merupakan film di tahun 2021 yang so far berhasil menyelamatkan “cinema” dari ditinggalkan oleh para penontonnya, script yang Villeneuve tulis bersama Jon Spaihts dan Eric Roth sukses menghasilkan sebuah pengalaman menonton layar lebar yang sangat imersif. Score dari Hans Zimmer terasa overwhelming, begitupun dengan cinematography arahan Greig Fraser sehingga terbentuk kombinasi yang sukses memberikan sajian audio visual yang spektakuler bagi penonton, the image, the music, even the noise ketika cacing pasir beraksi, they all gigantic, sama seperti kualitas visual effect menyajikan another unbelievable world from Denis Villeneuve.

Villeneuve memang sangat ahli dalam membangun sebuah dunia yang terasa asing tapi juga familiar di saat bersamaan, namun yang saya suka di sini adalah meskipun memakai epic sebagai pesona utamanya tapi tidak ada kesan berlebihan baik itu dalam komposisi maupun tone. Sejak awal kamu sudah bisa rasakan ada sesuatu yang serius sedang terjadi di Arrakis, “look” yang breathtaking, perpaduan design militer dan tradisional pada costum, production design memanjakan mata dengan cara yang unik, semua dipadupadankan dengan baik untuk mendukung upaya Denis Villeneuve dalam membangkitkan rasa ingin tahu dan penasaran penonton terhadap situasi di tahun 10191 tersebut, terasa approachable dan mudah dipahami serta memahami isu dan pesan yang coba ‘Dune’ usung sejak awal.


Plot-nya sendiri cukup konvensional dan tidak banyak kerumitan yang terjadi, fokus terbagi menjadi beberapa bagian dengan spotlight utama jelas pada perjalanan Paul Atreides sebagai pahlawan muda. Tapi di balik narasi yang kerap menggunakan alur maju mundur lewat clue pada sosok Chani itu tersimpan isu dan pesan yang sangat menarik. Yang paling mencolok tentu saja sebuah kritik terhadap kapitalisme yang hadir lewat aksi kolonialisme antara House Atreides dan House Harkonnen, adapula sentilan manis terhadap isu ekologi di mana para pemimpin tetap mengedepankan prioritas utama berupa profit. Saya juga suka dengan statement pada sikap hormat terhadap budaya yang coba ditampilkan, the Fremen adalah jalannya, hasilnya oke.

Sedikit kekurangan film ini berasal dari kualitas emosi yang sedikit naik dan turun. Menarik memang keputusan untuk menaruh koneksi antara Paul dan Chani sebagai pusat dari perputaran emosi, namun sayangnya di sisi lain Villeneuve juga memilih untuk tidak mengeksploitasi terlalu jauh hubungan tersebut. Alhasil bagi penonton yang belum mengenal ‘Dune’ sebelumnya akan merasa eksistensi Chani itu sebagai misteri yang random, semakin kuat di babak akhir ketika cerita memang dipotong dan tidak sepenuhnya usai. Kalau ada part one seharusnya ada part selanjutnya tapi hingga kini belum ada berita terkait proses produksi bagian selanjutnya itu. Infonya sekuel itu akan mendapat green-lit atau tidak akan tergantung pada pencapaian film ini, antisipasi agar nasibnya tidak seperti David Lynch's Dune yang box-office bomb itu.


Sayang memang jika kisah pahlawan muda dan pasukannya itu tidak berlanjut, di sini dunia itu telah dibentuk dengan baik, lengkap dengan konflik dasar. Dan andai ‘Dune’ part two rilis mungkin rasa penasaran penonton terhadap karakter Chani itu dapat terjawab, yang di sini diperankan secara efektif oleh Zendaya. Divisi akting sendiri punya beberapa performances yang berhasil mencuri perhatian, Timothée Chalamet menyuntikkan pesona yang oke bagi Paul, lalu Oscar Isaac dan Josh Brolin menjalankan peran mereka dengan baik sesuai porsi yang tersedia. Jason Momoa sumber energy booster bagi cerita, Stellan Skarsgård dan Dave Bautista merupakan antagonis yang understated, butuh pengembangan lebih jauh, sedang sebagai Stilgar pressure disajikan Javier Bardem dengan baik. MVP: Rebecca Ferguson, emosinya cantik sebagai Ibu yang bermartabat dan lembut.

Overall, ‘Dune’ adalah film yang sangat memuaskan. Arrival, lalu Blade Runner 2049, dan kini ‘Dune’, sungguh sebuah hat-trick sajian sci-fi yang sangat mengesankan dari Sutradara Denis Villeneuve. Lewat ‘Dune’ ia menghadirkan sebuah pintu masuk bagi kembalinya cinematic experiences di bioskop, sebuah epic sci-fi film yang mencoba tampil artsy tapi sangat easy to eat bagi penonton yang lebih mainstream. Salah satu yang terbaik di tahun ini, top-class cast, narasi rapi dengan script yang padat, penuh percaya diri dalam eksekusi, dan tentu saja exquisite visual and sound yang sangat mudah untuk dikagumi. Pendekatan yang diterapkan memang membuat ada yang dikorbankan di sini, emosi misalnya yang cukup naik dan turun, tapi jelas ada asa agar bagian kedua itu segera diproduksi, saya penasaran bagaimana film lanjutannya itu akan menyempurnakan part pertamanya ini, pondasi sajian sci-fi yang imersif. This is only the beginning. Segmented.






1 comment :

  1. "The mystery of life isn't a problem to solve, but a reality to experience. A process that cannot be understood by stopping it. We must move with the flow of the process. We must join it. We must flow with it."

    ReplyDelete