27 February 2020

Movie Review: Little Women (2019)


“I love it. It’s romantic.”

Bakat bercerita di dalam media film layar lebar yang ia punya sebenarnya sudah terlihat sejak ia menjadi co-writer untuk Noah Baumbach pada film ‘Frances Ha’ yang kemudian naik ke level berikutnya di ‘Mistress America’. Namun ‘Lady Bird’ adalah pembuktian terbesar dari seorang Greta Gerwig yang membawa namanya naik semakin tinggi dan kemudian masuk ke dalam kategori “filmmaker to watch”. Gerwig punya style yang unik, ia membuat semua tampak santai namun terasa tajam, dan itu kembali ia sajikan di film ini. Little Women: compelling and charming, it’s a film that has to be seen.

Ditinggal oleh suaminya, Father March (Bob Odenkirk) yang sedang bertarung di American Civil War, Marmee March (Laura Dern) berjuang seorang diri di rumah untuk mengasuh empat anak perempuan mereka: si sulung berpendirian teguh Josephine "Jo" March (Saoirse Ronan) yang memiliki mimpi untuk menjadi seorang penulis, anak kedua Margaret "Meg" March (Emma Watson) seorang wanita yang lovely dan melindungi, si bungsu pendiam Elizabeth "Beth" March (Eliza Scanlen) dengan bakat musical yang besar, serta si impulsif Amy March (Florence Pugh) yang memiliki jiwa artisitik.

Di bawah panduan dari Marmee empat wanita muda ini hidup di dalam sebuah “circle” yang sangat positif, membantu orang lain yang sedang membutuhkan seperti telah menjadi kegemaran mereka. Hal terakhir tadi terasa unik mengingat mereka bukanlah keluarga yang kaya raya, hal yang sering menjadi bahan sindiran oleh bibi mereka, Aunt March (Meryl Streep). Namun kondisi keluarga mereka tersebut justru membuat tetangga menyukai mereka, seperti Mr. Laurence (Chris Cooper) yang mengagumi Beth serta Theodore "Laurie" Laurence (Timothée Chalamet) yang menaruh hati pada Jo.

Lewat ‘Lady Bird’ yang rilis tahun 2017 yang lalu Greta Gerwig sukses menghadirkan sebuah coming-of-age film di mana karakter utama mulai bertumbuh dewasa dan berhadapan dengan emosi yang “dewasa” pula, ditemani berbagai konflik menggunakan sahabat hingga keluarga. Ceritanya yang sederhana itu terus memaku atensi berkat penceritaan yang terasa dinamis, dan hal tersebut kembali terulang di film ini. Setting cerita di tahun 1868 tidak membuat Greta Gerwig kesulitan, kisah yang dipenuhi karakter dengan berbagai spirit menarik karya Louisa May Alcott itu dibentuk menjadi sebuah dongeng dengan sentuhan modern feminist dalam presentasi klasik yang terasa charming sejak awal hingga akhir.

Hal yang paling mencuri perhatian di sini adalah kemampuan Greta Gerwig menyusun screenplay yang bergerak non-linear. Cerita yang episodik itu membawa penonton menyaksikan proses dari empat saudara tersebut dari remaja beranjak dewasa dengan cara maju dan mundur secara bergantian. Ada dua titik atau bagian di sini, satu yang mencoba menggambarkan ketika mereka merasakan bagian akhir dari masa anak-anak mereka sedangkan satu bagian lainya adalah ketika mereka mulai masuk ke dalam kehidupan dewasa mereka, their adulthood. Present, past, present, past, gerak maju dan mundur pada cerita terasa sangat cantik, diselingi dengan beberapa flashback cerita punya jahitan dan penjajaran antar bagian yang terasa halus dan menyenangkan untuk diikuti.

Meskipun karakter berada di dua “bagian” yang berbeda dari kehidupan mereka namun di tangan Greta Gerwig tidak ada bagian yang terasa disjointed atau terasa kosong. Berbagai perpindahan antara past dan present itu hadir layaknya dua jenis tarian yang kombinasinya terasa menyenangkan disaksikan, terasa menghibur layaknya karakter yang sedari awal memiliki spirit lovable secara implisit juga terus memperbesar pesona mereka tersebut, termasuk pula cerita. Dari karakter, dari cerita, Greta Gerwig tampak setia dengan sumber utama cerita namun ia membentuk kembali materi tersebut secara simple di beberapa bagian sehingga point-point menarik justru lebih bersinar terang.

Sutradara Gillian Armstrong pernah menyajikan versi dari ‘Little Women’ miliknya 25 tahun yang lalu, kali ini Greta Gerwig mencoba menghadirkan versi miliknya tentu dengan visi yang menyasar bagi generasi yang lebih baru. Cerita ia buat simple namun dibingkai dengan fokus yang kuat tanpa meninggalkan sentuhan period. Karakter ia eksplorasi dengan tepat sehingga masing-masing terasa kaya sesuai kapasitasnya di dalam cerita, bagaimana tumbuh menjadi dewasa membawa dampak bagi mereka dan juga orang-orang di sekitar mereka. Di sini dialog-dialog “tajam” dari Greta Gerwig bekerja sangat baik, percakapan antar karakter tidak hanya menggerakkan konflik saja namun juga memperkuat ikatan antar karakter.

Tidak heran penonton selalu bertemu dengan gejolak emosi sederhana namun tajam di dalam cerita. Ada energi dari jiwa muda di dalamnya namun ada pula problema dewasa lengkap dengan melancholy dalam komposisi yang cantik, berpusat pada masalah cinta Greta Gerwig menyajikan pengalaman menonton yang penuh warna namun tanpa dramatisasi yang kelewat manja. Koneksi serta hubungan sebab dan akibat antara past dan present ia bentuk dengan sangat baik, berbagai clash muncul namun disertai dengan kegembiraan yang bertumpu pada ikatan antar karakter yang berlandaskan rasa kasih sayang. Greta Gerwig tahu apa yang hendak ia lakukan dan ia capai, dan itu ia eksekusi dengan kontrol yang sangat menawan.

Greta Gerwig menciptakan staging yang sangat cantik di film ini, ia juga dibantu oleh elemen lain di sekitar cerita dan karakter. Dari sisi design, production design dari Jess Gonchor dan Claire Kaufman serta costume design dari Jacqueline Durran sukses menghadirkan nafas klasik bagi cerita. Cinematography yang ditangani Yorick Le Saux's juga oke, tidak hanya sekedar menjadikan gambar-gambar itu menjadi jembatan penghubung antara karakter dan penonton, namun juga menciptakan atmosfir untuk past dan present. Film editing dari Nick Houy juga punya andil besar, berbagai pergeseran waktu di dalam cerita terasa sangat smooth, sama seperti score menawan dari Alexandre Desplat. Namun di atas itu semua tentu saja kinerja akting yang sangat menyenangkan itu.

Setiap karakter di ‘Little Women’ memiliki peran dalam ikatan cerita berkat kemampuan Greta Gerwig memberikan komposisi dan kesempatan bagi masing-masing karakter dan membuat mereka terus terasa dinamis. Ya, interaksi antar karakter terasa dinamis dan secara individual mereka manis. Eliza Scanlen sukses membuat Beth mencuri perhatian dibalik sikapnya yang pendiam, sementara Emma Watson berhasil menjadikan Meg sebagai penyeimbang yang manis bagi The March sisters, keinginan Meg untuk menikah dengan pria yang ditentang oleh bibinya menjadi salah satu isu yang dikemas dengan sangat baik di sini. Sedangkan Laura Dern sukses tampil sebagai seorang ibu yang penyabar, bijaksana, dan penyayang.

Timothée Chalamet sendiri merupakan case yang sedikit unik di sini, karena Laurie merupakan karakter yang “bermain” di antara dua bersaudara di keluarga March, kegigihan yang ia tunjukkan kepada Jo juga ditampilkan dengan baik oleh Timothée. Sementara Tracy Letts, Bob Odenkirk, Meryl Streep, dan Chris Cooper menggunakan kesempatan yang mereka punya untuk bersinar, bintang utamanya di sini ada dua. Pertama, Saorise Ronan, membuat Jo menjadi wanita muda yang gigih dan charming, cara ia mengekplorasi gejolak emosi dari Jo terasa cantik. Dan satu lagi, Florence Pugh. Amy karakter yang tidak mudah, wanita muda yang impulsif namun di sisi lain seorang tender-hearted women. Florence Pugh tampilkan dua sisi itu dengan sangat baik.

Overall, ‘Little Women’ adalah film yang sangat memuaskan. Ini pengalaman menonton yang penuh warna. Greta Gerwig sekali lagi berhasil membuktikan bahwa ia merupakan filmmaker to watch melalui film ini, sebuah coming-of-age period drama film dengan selipan drama, humor, dan emosi yang cantik. Greta Gerwig dengan terampil dan bijaksana berhasil menerjemahkan materi karya Louisa May Alcott itu menjadi sebuah adaptasi yang terasa kaya, kisah tentang sisterhood yang bergerak santai namun mampu mempermainkan emosi penonton dengan cara yang sopan dan tajam, terasa enlightening dan stunning dalam kisah sederhana yang terasa bittersweet itu. I love it. It’s romantic. It’s very moving.











1 comment :