16 April 2014

Movie Review: Nymphomaniac: Volume I (2014)


"The secret ingredient to sex, is love."

Jika menilik penggunaan judul yang memiliki arti hypersexuality atau orang dengan gairah seks yang sangat tinggi, dan juga berbagai poster yang ia gunakan dari versi simple hingga kumpulan gambar wajah orgasme, pikiran kita pasti akan tertuju pada sebuah pertanyaan: apakah ini film porno? No. Topik yang berani sebagai pusat utama dan dikemas dengan sentuhan yang soft, karya terbaru dari Lars von Trier ini akan menawarkan sebuah petualangan penuh gairah terhadap seks yang ditemani dengan depresi, bagian pertama dari sebuah studi karakter, Nymphomaniac: Volume I, observasi seksualitas yang cukup manis. Do you think you know everything about sex? (Warning: review contains strong language and (probably) image).  

Ditengah gelapnya malam seorang wanita bernama Joe (Charlotte Gainsbourg) terbaring lemah dengan wajah berantakan. Wanita yang sedang berada dalam kondisi dimana ia merasa telah menjadi manusia yang buruk ini anehnya menolak tawaran seorang pria bernama Seligman (Stellan Skarsgård) untuk memanggil bantuan medis, hal yang kemudian memaksa Seligman membawanya menuju apartemen miliknya untuk memenuhi permintaan Joe, secangkir teh hangat. Namun bukannya beristirahat Joe yang telah memperoleh ketenangan justru mulai bercerita perihal bagaimana kronologis sehingga ia terbaring akibat dipukuli tadi.

Semua karena seks. Dimulai dari awal, sejak kecil dengan ibu yang dingin serta ayah (Christian Slater) yang perhatian Joe (Stacy Martin) telah tumbuh menjadi wanita penuh obsesi pada kekuatan seks, dan celakanya ia bergerak aktif untuk memenuhi rasa ingin tahunya itu. Dari bermain di kamar mandi dengan gaya kodok, melepas virginity hanya dengan beberapa penetrasi dari Jerôme Morris (Shia LaBeouf), berpetualang di kereta api dengan melakuan betting pada jumlah hubungan seks yang dilakukan bersama sahabatnya B (Sophie Kennedy Clark), hingga berhadapan dengan seorang wanita bernama Mrs. H (Uma Thurman).


Tepuk tangan mungkin layak diberikan kepada Nymphomaniac, hanya pada cara ia membangun ekspektasi. Ya, sejak awal dapat dikatakan Lars von Trier berhasil menciptakan sebuah kesuksesan besar pada cara ia membangun hype film yang ia sebut kembali menjadi penggambaran dari kehidupan miliknya ini. Dari poster yang sederhana namun penuh makna tajam, mengganti huruf O dengan () yang menyerupai vagina, dan itu ditemani dengan teaser yang ia lemparkan secara bertahap serta terbagi menjadi beberapa chapter, dan kemudian ditutup dengan trailer berani yang berisikan adegan eksplisit. Well, itu belum menghitung durasi yang ia katakan sebesar lima setengah jam untuk versi uncut.

Jadi pertanyaannya adalah apa fokus utama yang ingin Lars von Trier ceritakan dalam durasi selama itu? Simple, dinamika dari kekuatan seks pada kehidupan setiap manusia. Alasan utamanya cukup jelas, berawal dari bagaimana seorang gadis yang dengan berani mengambil sikap untuk tidak percaya dengan ciptaan Tuhan bernama cinta, memilih seks sebagai media untuk membentuk pemberontakan, dan dengan fokus yang bertumpu pada perkembangan karakter dari sana penonton akan diajak masuk kedalam lima chapter. Keputusan untuk memecah cerita menjadi sebuah tahapan juga terasa cukup tepat karena masing-masing dari mereka mampu menggambarkan point menarik yang mereka punya.

Yap, dari sini nilai positif terbesar Nymphomaniac, tiap bagian kecil itu punya sesuatu yang menarik dalam skala besar. Menaklukan lawan jenis, tergila-gila pada lawan jenis, resiko, halusinasi akibat rasa bingung, hingga sistem menggunakan perumpamaan harmoni, uniknya bertolak belakang dengan tags “Forget about love” yang ia usung ada sedikit kekuatan cinta yang terselubung dalam kuantitas minor disini, menemani segala ketelanjangan berani dari payudara, vagina, hingga penis bersama unsimulated sex yang disebutkan menggunakan body doubles. Tapi jika dikemas sederhana hal-hal tadi seperti sebuah ornamen belaka dalam cerita, karena hal yang lebih mengasyikkan hadir dari salah satu kepiawaian Lars von Trier, menghadirkan nafas depresif.


Nymphomaniac: Volume I berhasil menjadi bagian dari Depression Trilogy, sebuah eksplorasi pada sisi kelam seorang manusia. Tidak sekuat Dancer in the Dark memang, bahkan jika dibandingkan dengan dua pendahulunya, Antichrist dan Melancholia (salah satu film favorit saya ditahun 2011), kadar depresif yang dimiliki film ini masih lebih minim. Tapi yang menjadikan Nymphomaniac: Volume I tetap selamat dari jurang kehancuran adalah ketika isolasi itu kini hanya menggunakan sisi kejiwaan dan kemudian disatukan kedalam sebuah petualangan maju dan mundur yang harus diakui berhasil dikemas dengan manis. Ya, ada sebuah pengamatan menyenangkan dibalik cerita yang justru lebih sering terlihat lucu dalam dinamika cerita yang terasa kurang bergairah.

Sedikit terlalu stabil, Nymphomaniac: Volume I hampir jatuh menjadi sebuah dongeng yang datar. Permainan pikiran dan emosi-emosi rumit yang ia tampilkan memang terasa tajam, hal yang sering menambah daya tarik cerita, namun disisi lain Lars von Trier seperti berupaya untuk menciptakan ruang bagi ide-ide miliknya yang sering merusak tempo cerita, bahkan menggerus daya tarik dan sisi erotis serta menekan sisi humor. Ia seperti berupaya untuk mempermainkan cerita namun terlalu liar, memasukkan berbagai hal ilmiah yang sayangnya tidak semua berhasil bekerja dengan baik, dari alam hingga ilmu pengetahuan, bertujuan untuk membantu penggambaran seksual dengan hal-hal seperti fly-fishing, sendok dan garpu, parkir, hingga Fibonacci dan Bach.

Sayang memang karena dinamika cerita yang kurang bergelora itu menutup ruang bagi kualitas emosi dari karakter untuk bersinar. Stacy Martin berhasil menghadirkan ekspresi menggoda, namun ketika dituntut untuk menampilkan emosinya lewat ekspresi ia juga mampu melakukannya dengan cukup baik. Charlotte Gainsbourg dan Stellan Skarsgård mampu menciptakan sebuah diskusi yang cukup baik dalam menggerakkan dan membuka cerita, sedangkan Shia LaBeouf dan Christian Slater at least tidak menjadi tambahan yang merusak. But the winner is Uma Thurman, dan jujur saja ia pula yang merusak film karena dengan menampilkan gejolak batin dalam ketenangan yang fantastis itu ia mencuri simpati penonton pada fokus dan karakter utama.


Overall, Nymphomaniac: Volume I adalah film yang cukup memuaskan. Ini adalah sebuah penggambaran dari salah satu hal kejam yang eksis di dunia, yang tumbuh di dalam tubuh setiap manusia, obsesi pada kenikmatan yang dapat membawa manusia itu menuju sisi kelam yang menjadikan mereka merasa sebagai sosok yang buruk. Sebuah observasi yang menarik, sisi erotis yang tidak berlebihan, emosi yang mumpuni, namun hadir dengan dinamika penceritaan yang kurang bergairah dan terasa terlalu tenang. Sebuah eksplorasi pada hubungan antara seks dan cinta dalam nada depresif dari seorang Lars von Trier. Let’s go see Daddy’s favourite place!







2 comments :

  1. Wanita pecandu seks "nymphomaniac" .. ngeri juga yaah.. Ada gak film yang membahas tentang cara mengobati ejakulasi dini atau yang semacamnya gitu.

    ReplyDelete
  2. Judulnya mungkin terlalu fulgar hahaha... tapi gimana sama isinya yaaa..
    jaga kesehatan selalu yaa obat flu herbal

    ReplyDelete