25 October 2021

Movie Review: Free Guy (2021)

“Don't have a good day, have a great day!”

Merupakan simulasi proses kecerdasan manusia pada mesin atau robot kini Artificial intelligence telah masuk ke ranah fashion, sedangkan ada orangtua yang tidak lagi menyewa guru pribadi tapi pemain game untuk membunuh karakter game milik anak mereka yang sudah terlalu candu game. Dan besar kemungkinan satu dari lima teman kamu saat ini merupakan player open-world video game. Itu beberapa dampak semakin pintarnya teknologi yang tersedia saat ini, coba dieksplorasi oleh film ini dengan mencoba membawamu ke dalam sebuah dunia di mana AI, video games, dan human values menciptakan “kerusuhan” yang menarik. Free Guy’ : a crazy and captivating chaos.


Setiap bangun pagi Guy (Ryan Reynolds) akan menyapa ikan peliharaannya yang ia namai Goldie, lalu memilih baju kerja yang semuanya berwarna biru. Guy merupakan sahabat seorang Security bernama Buddy (Lil Rel Howery) dan bersama karakter lain di sekitarnya merupakan NPC (Non-Player Character) di dalam permainan Free City, kesehariannya selalu berputar di lingkaran identik, Guy akan memesan “medium coffee, cream, two sugars” lalu siap sedia tiap kali perampok beraksi di Bank tempat ia bekerja. Ya, Guy adalah karakter teller di sebuah Bank dan ia selalu mengakhiri transaksi dengan costumer dengan kalimat “Don't have a good day, have a great day!”

Suatu hari Guy merasakan rasa ingin untuk keluar dari lingkaran kegiatannya yang notabene sudah terprogram itu, semua berubah ketika ia berhasil merebut kacamata dari salah satu pemain dan memperoleh kemampuan melihat status bar atau HUD (heads-up display) yang hanya bisa dilihat player. Guy juga mulai dapat merasakan rasa tertarik pada lawan jenisnya, yakni karakter Molotovgirl yang dimainkan oleh Millie Rusk (Jodie Comer). Millie berkeliaran di Free City untuk menemukan source code miliknya dan Walter "Keys" McKey (Joe Keery) yang telah dicuri oleh Antwan Hovachelik (Taika Waititi), kepala developer Soonami Games yang memiliki rencana berbeda terhadap game Free City.

Ketika bermain sebuah permainan di gadget, komputer, atau game console lainnya, kamu biasanya akan diminta untuk memilih karakter yang akan kamu pakai, dulu seperti game Tekken maka hanya karakter tapi sekarang kamu bisa pilih wajah serta aksesoris lainnya seperti baju dan lain sebagainya, sekarang dikenal dengan sebutan skins. Nah, di samping karakter yang bisa dipilih tadi ada pula karakter yang memang peruntukkan sejak awal hanya bertugas sebagai “penyemarak” jalannya permainan, tidak bisa dipilih oleh pemain. Itu dasar dari imajinasi gila yang film ini coba sajikan dalam bentuk action comedy, ketika karakter yang tidak bisa dipilih tersebut justru “mendominasi” jalannya permainan, menunjukkan kepada para pemain bagaimana karakter pendukung juga “layak” mendapatkan perlakuan yang lebih pantas.


Dan saya terkejut menyaksikan isu yang sebenarnya sangat sederhana tadi ternyata dikemas dengan cara yang sangat menyenangkan oleh Sutradara Shawn Levy. Script yang ditulis Matt Lieberman dan Zak Penn memang langsung berhasil mencuri atensi sejak awal tapi saat itu saya menempatkan ekspektasi akan mendapatkan hiburan B movie dari segi cerita, karena berbicara budget tentu 100 – 125 juta Dollar itu tidak berada di kelas tersebut. Tapi semakin jauh narasi bergulir apa yang diawali dengan ringan dan santai itu berkembang menjadi kumpulan isu dan pesan tentang hidup yang disajikan dalam pace cepat nan menyenangkan. Mengejutkan, rasa curiga pada gerak-gerik Guy di bagian awal ternyata mendorong masuk berbagai konflik menarik dengan koneksi dan sinergi antar bagian yang terasa cantik.

Itu adalah mungkin sekitar lima sampai sepuluh menit pertama sebuah film di mana saya seolah merasa seperti sedang terjebak di dalam sebuah ruangan dan dilempari dengan berbagai macam clue menarik. Dibuka dengan aksi Channing Tatum mencuri mobil plus Istri orang lain, kita dibawa bertemu dengan Guy dan yang menarik bukan hanya dirinya saja namun juga setting sebuah “dunia lain” yang berada di luar dunia manusia normal. Matt Lieberman dan Zak Penn mengeksplorasi dan mengeksploitasi dengan baik konsep world making yang kini jadi trend di online games, membawa penonton masuk ke sebuah open-world video game yang menggunakan dunia virtual di mana pemain dapat menjelajahi dan juga meraih tujuan yang mereka ingin secara bebas.


SimCity, Grand Theft Auto, World of Warcraft, Assassin's Creed, Minecraft, ya kurang lebih seperti itu, cmiiw. Dan di lima sampai sepuluh menit pertama berbagai macam clue hadir ditemani penggambaran cepat bagaimana Free City memang sebuah kota yang bebas, kekacauan penuh ledakan seperti pemandangan biasa saja, pencurian bank bahkan dianggap sebagai event bagi Guy dan Buddy untuk saling berbincang. Setelah setting awal terbentuk semua berkembang menjadi semakin menarik, Shawn Levy pintar memainkan tempo serta membangun momentum, seperti di satu momen ketika semua orang mulai mempertanyakan “Who is this guy?” yang seperti menjadi momen transisi dari babak perkenalan awal. Saya juga suka dengan benang merah cerita, terasa rapi meski narasi secara konstan terus bergerak dalam pace cepat tadi.

Pencapaian yang tidak menimbulkan tanda tanya sama sekali, karena memang yang disajikan di sini satu per satu dibentuk dan kemudian dirangkai secara menarik oleh Shawn Levy. Faktor kasih sayang berupa kekuatan yang tersimpan di balik rasa cinta berhasil digunakan sebagai mesin penggerak yang manis dan senjata ampuh untuk menghasilkan punch yang kuat. Pembahasan tentang coding bersama algorithm di permainan juga terasa dikemas rapi, termasuk menaruh proses menemukan original build sebagai salah satu spotlight. Ada taruhan yang oke, memakai ambisi bisnis karakter villain yang kemudian memaksa para NPC untuk berjuang membantu upaya menyelamatkan “dunia” mereka. Hal yang memberi cukup banyak ruang bagi Guy untuk mempertontonkan aksinya meski ia tidak dilepas sendiri, karakter lain terus menyokongnya dengan pesona mereka masing-masing, termasuk Dude.


Kesuksesan film ini terasa menyenangkan diikuti memang tidak lepas dari pesona masing-masing karakter yang disuntikkan oleh para aktor. Sosok “Blue Shirt Guy” merupakan makanan lezat bagi Ryan Reynolds, dia adalah versi dua tingkat lebih waras dari Deadpool tapi dengan pesona serupa, tidak pernah terasa overdue hingga akhir. Sedangkan Jodie Comer berhasil menggabungkan pesona eksentrik Villanelle di ‘Killing Eve’ dan aura seksi Kate Parks di ‘Doctor Foster’ dengan bumbu baru yakni komedi, baik Millie maupun Molotovgirl punya pesona kuat. Yang mencuri perhatian di sini ada dua, pertama Channing Tatum yang mencoba mengingatkan penonton bahwa dia mantan stripper yang digilai oleh wanita, satu lagi adalah Taika Waititi dengan ekspresi gerak-gerik wajah yang terasa sangat kuat pesonanya. 

Ya, di sini kualitas karakter dan kinerja akting para aktor kontribusinya tidak kecil di balik kesuksesan Free Guy menjadi science fiction action comedy yang mengejutkan itu. Saya tidak akan meragu jika ada yang mengajak untuk menonton lagi, kembali masuk ke dalam simulation system yang dibentuk dengan oke. Contohnya tiap kali melihat Molotovgirl maka kamu akan merasa melihat Millie sedang duduk di depan layar komputer miliknya. Interaksi yang terbentuk juga punya energi yang terasa menyenangkan, mendorong extra dimension untuk menyokong narasi yang terus melaju cepat, begitupula dengan tone yang sudah ditetapkan sejak awal dan berhasil terus dijaga konsisten menemani isu dan pesan mendarat dengan manis itu, tentang ambisi dan mimpi serta semangat untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi, to have a great life, not only just a good life.

Overall, ‘Free Guy adalah film yang sangat memuaskan. The point is, we don't have to be spectators to our own lives, we can be whatever we want. Wow, tidak pernah saya sangka kalimat sederhana namun empowering seperti itu hadir dari sebuah film yang bergembira dengan cara santai dan gila seperti ini, disemarakkan oleh hadirnya Captain America, Hulk, hingga lightsaber bermain dengan cara yang kocak dalam gerak cepat namun tanpa lupa mendorong secara perlahan pula “hati” yang dimiliki cerita, tentang mimpi dan ambisi hingga yang lebih sederhana, yakni cinta yang menjadi bagian penting ending yang romantic itu. So much fun, so darn good. Weird funny, that's totally my speed. And also that was so much better than ice cream. Segmented.






1 comment :