25 September 2016

Review: Hunt for the Wilderpeople [2016]


"I'm relentless, I'm like the Terminator."

Setiap kali tahun berganti salah satu hal yang saya harapkan dari movie experience di tahun yang baru adalah kembali dapat menemukan dalam jumlah besar film yang mampu “mengejutkan” saya, ibarat menjadi seember air dingin yang berhasil mengguyur saya di teriknya panas matahari di siang hari, sebuah film yang terasa segar di tengah berbagai sekuel, remake, reboot, dan tentu saja film-film superhero. Dari sutradara ‘What We Do in the Shadows’ and the upcoming ‘Thor: Ragnarokplease welcome perpaduan imajinasi, hati, dan anarki berjudul ‘Hunt for the Wilderpeople’, smart and silly drama comedy. One of the best astounding movie this year so far, it’ll adds smile on your face when you walk out of the cinema.

Akibat jiwa pemberontak kelas atas yang ia miliki dan menciptakan masalah bagi banyak orang seorang Maori boy yatim piatu bernama Ricky (Julian Dennison) dibawa oleh Paula (Rachel House) untuk tinggal bersama wanita bernama Bella (Rima Te Wiata) dan suaminya Hec (Sam Neill) di sebuah peternakan terpencil. Usaha auntie Bella untuk membuat Ricky berubah menjadi anak yang lembut berjalan lancar hingga suatu saat Ricky harus hanya berada di bawah pengawasan Hec. Ricky memutuskan untuk melarikan diri ke hutan yang kemudian memaksa Hec untuk mengejarnya. Celakanya goodbye message yang Ricky tulis disalahtafsirkan oleh Paula, hal yang memaksa Ricky dan Hec untuk tetap tinggal di dalam hutan untuk menghindar dari kejaran Paula. 


Taika Waititi membuktikan bahwa kini dia merupakan one of the most exciting filmmakers dengan kembali mampu menggunakan materi sederhana untuk menciptakan film dengan efek setelah menonton yang tidak sederhana. Berdasarkan buku berjudul Wild Pork and Watercress karya Barry Crump, Waititi sukses membuat karakter mencuri perhatian sejak awal, seorang anak dengan gaya hip-hop yang dingin, bibi yang riang, dan paman yang misterius. Mereka karakter normal secara visual tapi ada pesona unik yang membuat mereka terasa likable. Hal tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh Waititi untuk menampilkan coming-of-age story dengan tone ringan, menggabungkan comedic yang cute bersama dengan sedikit tragedy yang sentimental. Tidak, rasa sentimental itu tidak berlebihan di sini tapi seperti hanya menyemarakkan kisah Ricky sehingga punya rasa bittersweet untuk menemani berbagai “kegembiraan” yang sering membuat penonton berada dalam situasi caught off guard itu. 


Secara mendetail film asal New Zealand dengan sedikit rasa 'Up' ini bukan drama comedy yang extremely remarkable tapi bergerak di dalam pace yang cepat beserta gags dan juga one-lines dengan punch yang kuat ini merupakan petualangan yang sangat menyegarkan. Dalam dua kata ini oddly ridiculous, remaja pemberontak membawa senjata tapi sukses menarik penonton untuk merasa terikat dengan perjalanannya yang tidak hanya berisikan aksi konyol saja tapi juga punya emosi dan clarity. Waititi mencampur humor dengan rasa unik bersama emosi yang heartwarming, tetap tampil offbeat dan quirky tapi membawa Ricky perlahan belajar tentang hal sederhana di dalam hidup seperti mengasihi dan mengapresiasi. Pesona terbesar film ini adalah interaksi antara Ricky dengan Hec dan juga Bella, memang kerap berisikan kekonyolan yang mencoba membuat penontonnya tertawa tapi di sisi lain kita merasa hangat menyaksikan interaksi mereka, bersama cinematography dan editing yang manis mengamati mereka berusaha hidup bersama sebagai sebuah keluarga.  


Jika melihat kembali sinopsis di atas tadi mudah untuk mengatakan bahwa ini kisah yang klise dan familiar, tapi di tangan Waititi mereka berhasil tetap terasa menyenangkan untuk diikuti. Tapi bukan berarti film ini tidak punya kelemahan, minus ada tapi bersifat segmented. Contohnya seperti humor yang terkadang memang terasa "silly", di beberapa bagian mereka bahkan hadir di dalam percakapan yang awkward, itu tipe not-for-everyone. Sama halnya dengan sisi drama, irama melankolis dengan beats rasa indie yang begitu kental, mungkin akan terasa ambigu karena meskipun sekilas tampak seperti drama tapi ia juga terasa cukup lucu. Tone cerita yang semacam "ketika drama tampil juga ada komedi, dan ketika komedi tampil juga ada drama" ini yang membuat Hunt for the Wilderpeople´ terasa segmented, tapi jika kamu mudah untuk klik dengan tone seperti itu maka rasa segar yang kamu peroleh akan besar terlebih dengan karakter yang bahkan di dalam diam dan dengan ekspresi wajah sederhana mampu untuk terasa lucu.


Hal itu juga berkat divisi cast yang menampilkan karakter mereka dengan baik. Waititi berhasil mengarahkan cast sehingga mereka mampu mengeluarkan pesona karakter mereka dengan sangat baik. Julian Dennison berhasil membuat Ricky sebagai remaja yang merasa terisolasi tapi lucu dan dapat menampilkan emosi yang ia miliki dengan cara yang menyenangkan. Sam Neill berhasil membuat Hec sebagai “guardian” yang unik bagi Ricky, dalam kondisi dirundung sedih harus “bermain” menjadi sahabat dan musuh bagi anak berjiwa gangsta. Chemistry di antara mereka juga oke, odd couple yang terasa begitu dinamis. Di samping dua pemeran utama tadi Rima Te Wiata juga berhasil mencuri perhatian ketika ia tampil, big-hearted auntie yang penuh kasih dan perhatian dan tampak dapat menjadi partner in crime yang begitu padu bagi Ricky. Rachel House dan Oscar Kightley juga berhasil menjadi sidekick yang hilarious. 


‘Hunt for the Wilderpeople’ mengingatkan saya pada salah satu best astounding movie lainnya di tahun ini, Captain Fantastic, tampil silly namun berhasil menyajikan sebuah hiburan yang menghibur secara overall dengan cara yang smart dan heartwarming. Dari membentuk cerita, memoles karakter dan mendorong mereka untuk semakin bersinar, mengarahkan elemen teknis seperti cinematography, soundtrack, hingga editing, sikap di storytelling baik dari tone dan energi untuk terus mencoba mengejutkan penontonnya, going crazy dengan rasa offbeat tanpa terkesan berlebihan, memang tidak extremely remarkable namun sama seperti yang ia lakukan di What We Do in the Shadows’ Taika Waititi kembali berhasil menghadirkan sebuah kisah sederhana yang extremely freshening. Film ini membuktikan bahwa Marvel melakukan sebuah bisnis yang tepat, mereka berhasil mendapatkan salah satu sutradara yang handal dalam “mewarnai” materi yang dia miliki. Segmented. 










3 comments :

  1. konyol dan unik, itu yg ane tangkep. Interaksi antara Hec dan Ricky bgitu catchy. apalagi endingnya.. ugh ditutup dg adegan ala film s

    ReplyDelete
  2. tiap scene yang di tampilkan sangat memanjakan mata. kayaknya di New Zealand itu begitu damai, tenang, adem.
    film nya keren kocak. dari awal saya udah ketawa.

    ReplyDelete
  3. astounding itu maksudnya outstanding ya min

    ReplyDelete