21 July 2016

Review: Captain Fantastic (2016)


"We’ve created a paradise."

Saya percaya setiap film maupun karya dalam bentuk apapun punya pesan yang ingin ia sampaikan ketika tampil dan bercerita di hadapan penonton lewat berbagai bentuk, konflik, dan intrik, namun bukan berarti untuk mencapai hal tersebut mereka kemudian tampil “menggurui” dan justru membuat tingkat “kenikmatan” yang dihasilkan terasa biasa bahkan kurang memuaskan. Captain Fantastic berhasil menjadi sebuah drama dan komedi yang memiliki isi menarik, “mengganggu” pikiran penonton, menyampaikan isu heartwarming dan kritis dalam bentuk petualangan yang fun, sebuah satir terhadap kehidupan sosial yang santai tapi serius dan membuat penontonnya teringat pada 'Little Miss Sunshine'. The best captain this year so far.    

Di dalam hutan yang tenang dan indah di Pacific Northwest pria bernama Ben (Viggo Mortensen) hidup bersama enam orang anaknya. Cara hidup mereka tetap berpegang teguh pada nilai-nilai budaya yang kaku sehingga terisolasi dari “dunia” luar yang modern. Suatu ketika istri Ben yang telah lama sakit meninggal dunia, meskipun dilarang oleh mertuanya Jack (Frank Langella) Ben memutuskan untuk menghadiri pemakaman bersama anak-anaknya. Celakanya usaha untuk “menyelamatkan” ibu yang Ben susun bersama anak-anaknya tidak selalu berjalan sesuai dengan rencana, mereka seperti “Tarzan” masuk kota dan mulai “menjelajah” dunia baru.


Datang dengan ekspektasi yang tidak begitu tinggi menjadi alasan mengapa ‘Captain Fantastic’ bisa terasa begitu nikmat. Ben dan anak-anaknya merupakan sebuah keluarga hippie intelektual namun menganut pola sikap terbuka dan saling jujur, sumber dari kemunculan berbagai kejutan. Dari isu sederhana seperti bunuh diri hingga yang lebih besar seperti revolusi ‘Captain Fantastic’ merupakan drama di mana kita mengamati karakter yang tampil blak-blakan namun “menghujam” penonton secara tajam terkait isu sosial, masyarakat yang kini hidup bersama berbagai hal yang “mengikat” mereka. Warna-warni yang hadir di sana terasa oke, dari fisika sampai berburu rusa ide Ben terkait kehidupan perlahan membuat kamu semakin jauh tertarik pada keluarga ini. Berulang kali sentilan yang dihadirkan ‘Captain Fantastic’ berhasil “menangkap” saya, berbagai isu yang ia tampilkan memang klasik tapi dikemas secara tajam dan tetap ringan.



Keluarga ini sedang berduka tapi suasana berduka menghasilkan energi positif terkait hidup dan kasih. Saya suka film ini mendorong berbagai isu tapi tidak takut menjaga kompleksitas pertanyaan, membuat penonton terkadang merasa kurang “nyaman” tapi tetap merangsang kita untuk meresapi apa yang ingin ‘Captain Fantastic’ katakan. Lucu dan “touching”, Matt Ross membuat narasi mondar-mandir antara isu serius dan ringan dengan cara yang santai, dari politik, peradaban, hingga membesarkan anak konflik dihadirkan tanpa manipulasi dan dramatisasi yang berlebihan, dari memberi “contoh” atau menyajikannya secara implisit, hingga membuatnya sengaja “mentah” untuk kemudian penonton masak. Dibantu cinematography yang manis dan musik ala Sigur Ros yang berpadu dengan humor lembut berbagai isu yang ‘Captain Fantastic’ sajikan pada akhirnya menetap lama di dalam pikiran penontonnya.
Hal tersebut tidak lepas dari kemampuan Matt Ross dalam meracik materi, hangout dengan pendekatan yang tidak terlalu rumit serta busur dramatis yang oke membuat penonton merasa seolah menjadi karakter lain di dalam cerita. Isu yang digunakan film ini familiar tapi menarik karena penonton berinvestasi pada karakter dan cerita. Siapa sangka mengamati berbagai isu seperti kekerasan terhadap anak, agama, hingga pendidikan bisa terasa santai seperti ini, dari isu kapitalisme hingga sosialisasi sebagai bagian penting dari proses bertumbuh. Sounds heavy? Ya, itu memang isu yang berat namun ‘Captain Fantastic’ sajikan tanpa terkesan memaksa, ia tidak mencoba tampak megah dan keren tapi hanya ingin membuat penonton tertarik dan kemudian memikirkan benar dan salah dari isu-isu tadi sesuai POV mereka masing-masing. Sederhananya ‘Captain Fantastic’ mengarahkan kamu untuk “ayo buat dunia ini menjadi tempat yang lebih baik dengan menjadi manusia yang lebih baik lagi”, tidak dengan cara “berteriak” keras dan memaksa.


Dengan berbagai hal positif tadi sayangnya in the end bagi saya ‘Captain Fantastic’ bukan sebuah drama keluarga top notch. Tidak memiliki dramatisasi yang terasa mengganggu tapi terkadang saya merasa ini seperti sebuah dongeng terlepas dari begitu manisnya cara isu tentang humanisme ia sampaikan. Meskipun telah merasa terikat serta cerita terus tumbuh menarik tapi pesona ‘Captain Fantastic’ sedikit goyah di babak ketiga. Itu minus kecil dan tidak merusak apalagi dengan kinerja akting yang memikat dari cast. Karakter anak-anak berhasil diperankan dengan baik oleh George MacKay, Samantha Isler, Nicholas Hamilton, Shree Crooks, Annalise Basso, dan Charlie Shotwell, Frank Langella serta Ann Dowd juga mampu mencuri atensi, tapi bintang utamanya adalah Viggo Mortensen. Such a very good captain, pro dan kontra dari filosofi Ben ia tampilkan dengan baik, sinis namun lembut Viggo Mortensen mampu membuat Ben sebagai pria keras kepala namun berhasil menjadi seorang ayah dengan kasih sayang yang menawan.


Bertumpu pada rasa tertarik penonton terhadap karakter dan cerita ‘Captain Fantastic’ berhasil menjadi kombinasi suka dan duka yang menyenangkan untuk diikuti dan diamati. Sebuah “studi” menarik terhadap karakter dan berbagai isu di dalamnya ‘Captain Fantastic’ memang tidak sempurna dengan beberapa rasa melodrama di dalamnya namun di tangan Matt Ross itu tidak merusak wacky trip penuh satir yang menyenangkan di sisi lainnya. Tampil terbuka dan penuh warna ‘Captain Fantastic’ bukan sebuah permata yang luar biasa namun mampu mengangkat isu serius dengan cara santai ini berhasil menjadi sebuah film tentang keluarga yang lucu, hangat, dan memorable. Satu hari menjauh dari Instagram dan iPhone, pergilah camping dan hirup “udara” yang lebih segar. Segmented. 










0 komentar :

Post a Comment