20 July 2016

Review: The Infiltrator (2016)


“One wrong move and we’re dead!”

Tidak peduli seberapa sederhana atau klasik materi yang ia miliki selalu menarik menyimak kemana hal tersebut akan dibawa oleh sang sutradara dan penulis naskah. Hal wajib yang harus mereka lakukan adalah tidak hanya membuat penonton mengerti intention atau tujuan yang terkandung di dalam cerita tapi juga mengolah cerita tersebut untuk mencapai hasil akhir sesuai atau setidaknya tidak begitu jauh dari potensi maksimal. Hal tersebut merupakan “impresi” paling kuat yang ditinggalkan oleh film ini, menggunakan upaya penyamaran untuk masuk ke dalam sebuah dunia kriminal yang berbahaya ‘The Infiltrator’ is a “mild” crime drama with award-worthy performances.

Tampa, 1980s, seorang agent DEA (The Drug Enforcement Administration) bernama Robert Mazur (Bryan Cranston) yang memiliki opsi untuk pensiun memilih untuk melakukan misi penyamaran dengan target utama gembong narkoba Pablo Escobar. Bersama Emir Abreu (John Leguizamo) dan rookie Kathy Ertz (Diane Kruger), Robert berhasil “mendekat” ke Pablo Escobar lewat bawahannya yang bernama Roberto Alcaino (Benjamin Bratt) sebagai ahli pencucian uang. Namun kondisi di mana Robert  “tenggelam” terlalu dalam lewat koneksi dan persahabatan barunya di dunia kriminal membuat ancaman dan bahaya dari usaha ia dan timnya lakukan untuk menutup aksi illegal tersebut ternyata semakin membesar. 


‘The Infiltrator’ punya konflik utama yang begitu menarik, cara penyampaiannya juga cukup oke di bagian sangat awal. Sinopsis di atas tadi memang bukan sesuatu yang benar-benar baru tapi fokus yang perlahan mulai digeser menuju kondisi di mana karakter utama merasa “bingung” dengan identitas yang ia miliki akibat terlalu menjiwai penyamarannya mampu membuat cerita terasa menarik. Saya suka cara Brad Furman (The Lincoln Lawyer, Runner Runner) meminjam berbagai style seperti ‘The Godfather’ dan Brian De Palma, terasa cukup ketat dan tajam sesekali ‘The Infiltrator’ mampu menampilkan ketegangan yang cukup memikat ketika masih berada di bagian awal. Sayangnya setelah itu tidak semua eksekusi Brad Furman bekerja dengan baik, canggung hingga kerap terasa tidak fokus ‘The Infiltrator’ tidak tumbuh di level yang sama seperti bagian pembuka dan perlahan terasa seperti salah satu episode dari serial televisi.


Yup, seperti episode dari sebuah tv-series. ‘The Infiltrator’ tidak pernah terasa menjengkelkan tapi cara kisah nyata ini dirakit dengan berbagai "rekayasa" di dalamnya perlahan terasa mengapung. Kerap terasa terlalu “dipoles” untuk membuat penonton terpukau ide dan konsep menarik yang tampil oke di bagian awal tidak berhasil mencapai potensinya. Mondar-mandir bukan masalah tapi ketika alur cerita yang bergeser menuju dampak psikologi dari karakter utamanya ‘The Infiltrator’ jadi kehilangan pesona dari tujuan utama proses penyamaran itu dilakukan. Dengan bahaya di sekelilingnya Robert perlahan mulai merasa “tidak rela” ketika ia harus melakukan pengkhianatan, itu menarik karena dengan begitu cerita punya momen berisikan emosi yang oke tapi hal itu “melukai” a bigger idea yang film ini punya sejak awal.


Durasi 127 menit sebenarnya sudah besar tapi tidak cukup untuk menyelesaikan dengan maksimal apa yang ‘The Infiltrator’ mulai. Punya beberapa “tekanan” dengan tensi yang baik di tangan Brad Furman ini masuk kedalam sebuah rutinitas yang menggerus cengkeraman terhadap penontonnya. Motivasi ‘The Infiltrator’ semakin kurang kuat, fokus terhadap psikologis karakter utama tidak dimanfaatkan lebih mendalam dan berbagai isu juga terasa disjointed, editing juga terasa kurang oke. Karakter muncul lalu menghilang namun ketika muncul kembali tidak membawa impresi yang oke, isi cerita menarik tapi alur cerita kurang koheren. Alhasil meskipun memiliki potensi yang oke ‘The Infiltrator’ tidak memiliki “stress” yang sangat memikat di dalam cerita, sebuah drama kejahatan yang memang cukup mampu mempertahankan atensi penonton tapi karena terasa longgar setelah bagian pembuka yang menarik itu hit yang tampil setelahnya terasa so-so.


Untung saja ‘The Infiltrator’ punya Bryan Cranston sebagai pemeran utamanya, another award-worthy performances dari Walter White. Di sini Bryan Cranston sama seperti ketika ia tampil di Breaking Bad, terasa kuat dengan penyampaian dialog yang “tajam” serta mampu membuat karakternya terasa “hidup” di dalam layar. Saya suka kinerja Bryan Cranston di sini ketimbang ketika ia menjadi Dalton Trumbo di ‘Trumbo’ tapi nasibnya ternyata sama yaitu script yang terlalu “ringan” sehingga dia tidak memiliki arena yang lebih baik untuk menghujam penonton dengan emosi yang lebih menawan. Robert Mazur merupakan karakter yang menarik namun sayangnya kurang “menantang.” Pemeran pendukung juga beberapa tampil baik, Diane Kruger dan Benjamin Bratt tampil oke namun yang paling sering mencuri perhatian adalah John Leguizamo. Ketika momen intens hadir terasa oke tapi pesona komikal Emir Abreu selalu mampu Leguizamo tampilkan dengan manis.

Punya potensi yang kuat untuk menjadi sebuah kisah penyamaran bergaya klasik baik di sektor cerita dan karakter sayangnya ‘The Infiltrator’ hanya berakhir menjadi crime drama dengan sedikit bumbu studi karakter yang hanya terasa good enough. Berdasarkan sebuah kisah nyata ini kerap terasa seperti pelajaran sejarah yang kurang mampu membuat berbagai isu dan masalah di dalamnya bersinar terang, terus mengapung dan tidak pernah tampil mencolok. Slow-burn suspense ‘The Infiltrator’ mampu menjaga atensi penonton hingga akhir namun tidak mampu mencengkeram penonton dengan tensi yang maksimal. Itu cukup disayangkan jika menilik potensi dramatis yang ia miliki di awal dan tentu saja kinerja memikat dari Bryan Cranston dan John Leguizamo. Segmented.










0 komentar :

Post a Comment