Terdapat tiga hal
menarik dari kesuksesan Deadpool
tidak hanya dalam hal mencuri namun mencengkeram atensi sehingga berhasil
meraih berbagai box office records,
yaitu: ini energik, ini unik, dan ini licik. Ya, Deadpool ibarat oasis di
tengah padang gurun yang gersang di jenis film superhero yang sekarang ini
hanya terbagi dalam dua kelas: satu fun dan aman, satu gelap dan aman. Ini fun,
ini tidak gelap, dan ini juga tidak memilih untuk bermain aman, penuh “gairah”
tampil berani menjadi kemasan superhero yang ia klaim berbeda dengan cita rasa
meta. Not bad. Not smart. Not great.
Wade
Wilson (Ryan Reynolds), mantan tentara pasukan “khusus”
jatuh cinta pada mantan pelacur bernama Vanessa
Carlysle (Morena Baccarin). Wade melamar Vanessa, dan Vanessa menerima,
tapi masalahnya setelah itu Wade tumbang akibat penyakit kanker metastatik.
Wade menerima tawaran dari sebuah program rahasia yang mengatakan bahwa
penyakit tersebut dapat disembuhkan dengan melakukan satu eksperimen. Sebuah
serum yang dirancang untuk membangkitkan gen mutan laten disuntikkan kedalam tubuh Wade, namun bukannya sembuh
Wade terpaksa harus menyembunyikan dirinya sebagai Deadpool. Misi Deadpool berikutnya sederhana: balas dendam.
Sebenarnya saya sendiri
tidak yakin macam apa itu superhero yang biasa dan macam apa superhero yang
tidak biasa, kriteria apa yang membedakan mereka, namun dengan aksi penuh
kekerasan serta tidak pernah takut bermain-main bersama sikap amoral, vulgar, dan kurang ajar, ketika Deadpool berakhir saya berhasil
menemukan jawaban atas rasa bingung tadi. Ya, dengan mengenakan kostum merah
ketat Deadpool berhasil mencapai
salah satu tujuan utamanya, menjadi superhero yang tidak biasa, penuh percaya
diri melempar lelucon setengah matang yang uniknya justru berhasil menciptakan
petualangan yang menghibur bersama antihero yang berhasil membuat penonton
bersenang-senang dengan aksi yang tidak pernah peduli dengan apa namanya itu
keadilan dan kepahlawanan.
Ya, ini salah satu
keunggulan Deadpool, ia berhasil
mengubah formula standar dari sebuah superhero
yang selama ini identik dengan usaha menyelamatkan bumi menjadi aksi
“bernyanyi” yang penuh energi, bergerak cepat dan liar tanpa menyimpang terlalu
jauh dari formula standar yang telah terbukti sukses. Babak pertama mencoba
membangun sinopsis dengan beberapa
penjelasan yang berhasil mencapai target, lalu babak kedua diisi dengan
berbagai aksi bombastis yang bahkan berhasil menarik kamu untuk seolah terlibat
di dalamnya. Saya suka dengan semangat film ini, urgensi tetap terjaga dengan
sangat baik, dan dengan status R-rated
ia tidak ambil pusing pada dampak kekerasan dan pembunuhan lalu dengan cepat
membentuk image sosiopat pembunuh yang lucu dan jenaka ini sehingga mudah untuk
dikagumi.
Nah, ini uniknya Deadpool, dibantu beberapa kilas balik
begitu mudah untuk menilai Deadpool
sebagai sosok yang “manis” meskipun yang ia lakukan adalah aksi
bersenang-senang yang anarkis. Cerita memang mengandung sinisme, sarkasme,
hingga pembunuhan, namun menariknya Tim
Miller berhasil berikan sedikit elemen drama dengan inti emosi yang oke sehingga ada sensitifitas yang menarik simpati penonton pada usaha balas dendam
yang hendak dilakukan oleh Deadpool.
Unik, bagaimana caranya seorang yang berengsek bisa membuat kamu menilainya
sebagai sosok yang punya hati emas, superhero dengan bahasa dewasa, nudity, dan
gore justru tampak normal sehingga terasa tidak masalah bagi penonton di bawah
batas umur.
Itu tadi salah satu
kelicikan Deadpool yang terasa oke,
ia membuat yang biasa tampak tidak biasa sembari terus berusaha meyakinkan kamu
bahwa ia memang superhero yang tidak biasa. Terus tampil dengan naskah tipis di batas yang tipis pula antara superhero dan parodi memudahkan niat Deadpool
tadi, dan itu semakin lengkap karena Tim
Miller juga berhasil menyembunyikan sikap apatis Deadpool dibalik usaha
balas dendam dan rasa putus asa bersama humor seksual penuh lelucon
self-referensial menggunakan superhero lain. Terus bermain samar-samar namun
penuh energi membuat Deadpool terus
terasa menggoda sehingga penonton terjebak di dalam ingar-bingar yang ia
ciptakan, jadi tidak heran jika ada yang tidak peduli kalau Deadpool sebenarnya superhero yang biasa
karena “gimmick” tersebut memang sangat powerful.
Saat ia melempar
penonton dengan materi R-rated Deadpool
seolah melempar pula sebuah kedipan kepada penontonnya, bukti bahwa Deadpool penuh percaya diri dan tahu apa
yang ingin ia lakukan sebagai sebuah “parodi” superhero. Dengan formula klasik superhero diolah bersama darah, seks, hingga humor dewasa dalam lintasan yang nyaman dan energik serta kinerja
memikat dari Ryan Reynolds semakin
melengkapi pesona unik yang mudah membuat penonton kagum, Deadpool berhasil menjadi sajian superhero “tidak biasa” yang
terasa biasa. Ya, tidak buruk, tidak pintar, tidak luar biasa. Segmented.
Thanks to: rory pinem
6.5 / 10...???
ReplyDeletewtf is wrong with You ???
Haha..... ga jelas reviewnya. Suka film mainstream adminnya
ReplyDeletegue udah lihat beberapa review lo trhdp beberapa film dan jujur gue bingung parameter apa yg lo gunain untuk nentuin rating dlm skala angka terhadap film2 tersebut. serius ini ganggu banget sih klo film ini lo kasih rating 6.75 sedangkan di imdb aja ratingnya 8.2. dan bukan di film ini aja, banyak film2 bagus lain cuma lo kasih rating dibawah 8. ini fucked up banget sih menurut gue.
ReplyDeleteSimple dan tidak pakai bingung: karena ada orang yang suka pizza tapi ada orang yang lebih suka spaghetti.
DeleteSalah satu aturan main di rorypnm: jujur bercerita sesuai dengan yang para penulis rasakan terhadap suatu film. Kami tidak "takut" karena menurut kami pengunjung yang datang untuk membaca review sudah berada di level "paham" dengan konsep perbedaan, meskipun kami tahu tidak semuanya telah berada di level tersebut.
Kami tidak punya kepentingan untuk memuaskan "selera" pembaca/pengunjung terhadap suatu film. :)
Gue sangat setuju sama yang satu ini. Gue sampe ketiduran nontonnya :v
ReplyDelete