21 February 2016

Review: The Witch (2015)


"Wouldst thou like to live deliciously?"

Bukan berarti apa yang mereka lakukan merupakan sesuatu yang salah, bahkan dapat dikatakan itu merupakan tugas mereka yang paling fundamental, tapi mayoritas film horror sekarang ini seperti hanya mengusung misi untuk menjadi film yang menggoda lalu kemudian menakut-nakuti penontonnya. Terdapat satu hal lain yang seharusnya wajib dilakukan oleh film-film horror, ia harus mampu “mengganggu” penontonnya, baik itu ketika ia hadir di layar maupun ketika ia telah berpisah dengan penontonnya. Debut dari sutradara remake Nosferatu ini berhasil melakukan hal tersebut. Not only an extraordinary exorcism, The Witch is a tense and thought-provoking horror who could make your blood run cold and satan cry.

New England, 1630, karena prinsip agama yang ia pegang teguh William (Ralph Ineson) bersama keluarganya dikucilkan dari perkebunan dan masyarakat. William memilih untuk pindah ke sebuah pondok terpencil di dalam sebuah hutan, tempat di mana mereka mulai menemukan berbagai fenomena aneh. Suatu ketika Thomasin (Anya Taylor-Joy) sedang bermain peek-a-boo dengan adiknya, Samuel, namun ketika ia membuka matanya adiknya itu telah menghilang. Samuel ternyata menjadi awal dari berbagai “gangguan” yang Williams dan keluarganya sebut berasal dari seorang penyihir.



Membuat sebuah film horor tidak sulit, namun membuat film yang horror yang baik dan terus menghantui penontonnya ketika telah melangkah keluar dari studio bukan pekerjaan yang mudah. Penonton melompat setelah bertemu dengan suara keras yang tiba-tiba muncul, itu bukan senjata utama yang digunakan oleh The Witch. Penonton terkejut dan kemudian waspada akan kemunculan karakter, itu juga tidak digunakan secara berlebihan oleh The Witch. Alih-alih memberikan kamu “penjahat” yang terus meneror sang korban di debutnya sebagai sutradara ini Robert Eggers justru memilih untuk menerapkan salah satu konsep klasik dari film di genre horror: apa yang tidak kamu lihat akan lebih mengerikan dari apa yang kamu lihat, perlahan merayap dan lalu mencoba menguasai pikiran penontonnya.



Pada dasarnya The Witch ini sangat akrab, kamu bertemu dengan sebuah masalah misterius lalu kemudian mencoba menebak, tapi di sini hal klasik tadi di rawat dicampur bersama paranoia yang begitu menawan. Penonton dibiarkan terus bertanya namun di sisi lain posisi kita tidak konsisten berada di level yang sama. Masalah pertama datang kamu akan mulai bertanya siapa, masalah kedua muncul pertanyaan berubah menjadi di mana, ketiga menjadi bagaimana hingga berakhir di posisi puncak dengan kata gila. Didukung dengan score yang menyenangkan serta cinematography dan editing yang sukses mempertahankan konsistensi atmosfir cerita yang hauntingly indah, Robert Eggers berhasil memadukan upaya meneror dan menggoda secara bersamaan dengan provokasi yang cantik.



Hal menarik terkait provokasi adalah durasi 93 menit yang ia punya berhasil dimanfaatkan dengan baik oleh The Witch untuk memberikan pengalaman rollercoaster yang solid. Naik dan turun di sini tidak punya jarak yang besar sehingga thrill dari hal-hal yang semakin buruk itu terasa sangat manis. Sangat suka pula dengan cara Robert Eggers yang tidak hanya meningkatkan ketegangan atau tensi semata namun juga meningkatkan rasa “mengganggu” yang dimiliki oleh cerita bersama rasa ambigu. Misteri terus menemani tapi fokus kita tetap pada keluarga Williams, bagaimana rasa isolasi, putus asa, penyesalan, hingga ketegangan menghasilkan kekacauan batin yang membuat mereka mencoba untuk mempertahankan iman, bagaimana caranya keluarga dengan tingkat ketaatan begitu tinggi pada Tuhan justru diganggu oleh setan.



Ya, elemen horror terbesar dari The Witch justru tidak hadir ketika ia tampil di depan kamu, ia menakut-nakuti penonton setelah selesai, sama seperti The Babadook dan It Follows. Robert Eggers melempar sebuah gagasan yang cantik tentang sistem kepercayaan yang paling fundamental tapi di sisi lain ia cerdik menjaga agar dua sisi dari penonton tetap bermain sama baik, sisi di mana kamu tidak menilai sikap taat keluarga Williams sebagai sesuatu yang salah tapi di sisi lain misteri dari para “penyihir” itu juga tidak membuat kamu memandangnya sebagai sebuah kejahatan yang harus dikalahkan. Lalu siapa yang jahat di sini? Nah, itu dia alasan mengapa The Witch terasa “mengganggu” hingga akhir, tidak hanya karakter yang merasakan terror namun penonton ikut merasakan paranoia.



Kemampuan karakter untuk mengangkut penonton masuk ke dalam cerita juga berkat kinerja dari cast yang memikat. Ralph Ineson sukses membentuk karakter ayah yang membuat penonton yakin bahwa Tuhan merupakan kunci satu-satunya bagi mereka untuk menjalani hidup, tidak heran ketika bencana itu muncul dan mereka mulai goyah kekacauan batin yang tercipta terasa alami. Ya, terasa alami, sama seperti karakter anak. Namun bintang utama di sini bukan kambing, bukan kelinci, melainkan Anya Taylor-Joy, menjadi penggerak namun ikut menjadi penyeimbang ketika proses kemunculan terror berjalan secara perlahan dengan pertanyaan sederhana: di sisi mana wanita muda ini sebenarnya berdiri?



The Witch memang punya sinopsis yang begitu familiar di genre horror dan mudah membuat kamu menilai tidak ada yang special, namun materi klasik itu berhasil dibangun oleh Robert Eggers menjadi sebuah sajian horror yang tidak hanya sebatas menggoda dan menakuti penonton namun melakukan tugas dasarnya yang lain, “mengganggu” penonton. Visual dengan rasa alami sama seperti cara cerita tumbuh, score yang haunting sama seperti cara misteri bermain, mengolah isu tentang agama lewat pertanyaan yang provokatif namun bijaksana, menebar terror dalam keindahan yang tenang, The Witch adalah film horror yang “berbahaya” karena karena ia mampu meninggalkan penontonnya bersama paranoia. Segmented. 













Thanks to: rory pinem

4 comments :

  1. review Muck (2015) dong bang, plis

    ReplyDelete
    Replies
    1. Muck sudah ada di list tonton bulan depan, tapi tidak janji pasti akan direview. :)

      Delete
    2. haha yah :( ,, soalnya menurut saya itu unik horor tapi lebih mirip komedi spanjang nonton itu saya sama temen2 yang lagi nonton bareng suka ketawa ngakak kalo ada adegan yang random dan terkesan tidak ngebanyol tapi malah keliatan lucu ah pokoknya tonton dulu deh...

      Delete
  2. menurut saya film ini lebih enak di pandang sebagai film thriller mystery krn jujur saya gak terlalu merasakan kengerian di ceritanya disamping arasemen music nya yg lumayan merinding..dari awal penonton sdh di buat pertanya tentang apa yg terjadi dan ending nya mantap juga jadi kejutan gtu. ..

    ReplyDelete