"Wouldst thou like to live deliciously?"
Bukan berarti apa yang
mereka lakukan merupakan sesuatu yang salah, bahkan dapat dikatakan itu merupakan
tugas mereka yang paling fundamental, tapi mayoritas film horror sekarang ini
seperti hanya mengusung misi untuk menjadi film yang menggoda lalu kemudian
menakut-nakuti penontonnya. Terdapat satu hal lain yang seharusnya wajib
dilakukan oleh film-film horror, ia harus mampu “mengganggu” penontonnya, baik
itu ketika ia hadir di layar maupun ketika ia telah berpisah dengan
penontonnya. Debut dari sutradara remake Nosferatu
ini berhasil melakukan hal tersebut. Not
only an extraordinary exorcism, The Witch is a tense and thought-provoking
horror who could make your blood run cold and satan cry.
New
England, 1630, karena prinsip agama yang ia pegang teguh William (Ralph Ineson) bersama
keluarganya dikucilkan dari perkebunan dan masyarakat. William memilih untuk
pindah ke sebuah pondok terpencil di dalam sebuah hutan, tempat di mana mereka
mulai menemukan berbagai fenomena aneh. Suatu ketika Thomasin (Anya Taylor-Joy) sedang bermain peek-a-boo dengan
adiknya, Samuel, namun ketika ia membuka matanya adiknya itu telah menghilang.
Samuel ternyata menjadi awal dari berbagai “gangguan” yang Williams dan
keluarganya sebut berasal dari seorang penyihir.
Membuat sebuah film
horor tidak sulit, namun membuat film yang horror yang baik dan terus
menghantui penontonnya ketika telah melangkah keluar dari studio bukan
pekerjaan yang mudah. Penonton melompat setelah bertemu dengan suara keras yang
tiba-tiba muncul, itu bukan senjata utama yang digunakan oleh The Witch. Penonton terkejut dan
kemudian waspada akan kemunculan karakter, itu juga tidak digunakan secara
berlebihan oleh The Witch. Alih-alih
memberikan kamu “penjahat” yang terus meneror sang korban di debutnya sebagai
sutradara ini Robert Eggers justru
memilih untuk menerapkan salah satu konsep klasik dari film di genre horror:
apa yang tidak kamu lihat akan lebih mengerikan dari apa yang kamu lihat,
perlahan merayap dan lalu mencoba menguasai pikiran penontonnya.
Pada dasarnya The Witch ini sangat akrab, kamu bertemu
dengan sebuah masalah misterius lalu kemudian mencoba menebak, tapi di sini hal
klasik tadi di rawat dicampur bersama paranoia yang begitu menawan. Penonton
dibiarkan terus bertanya namun di sisi lain posisi kita tidak konsisten berada
di level yang sama. Masalah pertama datang kamu akan mulai bertanya siapa,
masalah kedua muncul pertanyaan berubah menjadi di mana, ketiga menjadi
bagaimana hingga berakhir di posisi puncak dengan kata gila. Didukung dengan score yang menyenangkan serta cinematography dan editing yang sukses
mempertahankan konsistensi atmosfir cerita yang hauntingly indah, Robert Eggers berhasil memadukan upaya
meneror dan menggoda secara bersamaan dengan provokasi yang cantik.
Hal menarik terkait
provokasi adalah durasi 93 menit yang ia punya berhasil dimanfaatkan dengan
baik oleh The Witch untuk memberikan
pengalaman rollercoaster yang solid.
Naik dan turun di sini tidak punya jarak yang besar sehingga thrill dari hal-hal yang semakin buruk
itu terasa sangat manis. Sangat suka pula dengan cara Robert Eggers yang tidak hanya meningkatkan ketegangan atau tensi
semata namun juga meningkatkan rasa “mengganggu” yang dimiliki oleh cerita bersama rasa ambigu.
Misteri terus menemani tapi fokus kita tetap pada keluarga Williams, bagaimana
rasa isolasi, putus asa, penyesalan, hingga ketegangan menghasilkan kekacauan
batin yang membuat mereka mencoba untuk mempertahankan iman, bagaimana caranya
keluarga dengan tingkat ketaatan begitu tinggi pada Tuhan justru diganggu oleh
setan.
Ya, elemen horror
terbesar dari The Witch justru tidak
hadir ketika ia tampil di depan kamu, ia menakut-nakuti penonton setelah
selesai, sama seperti The Babadook
dan It Follows. Robert Eggers melempar sebuah gagasan yang cantik tentang sistem
kepercayaan yang paling fundamental tapi di sisi lain ia cerdik menjaga agar
dua sisi dari penonton tetap bermain sama baik, sisi di mana kamu tidak menilai
sikap taat keluarga Williams sebagai sesuatu yang salah tapi di sisi lain
misteri dari para “penyihir” itu juga tidak membuat kamu memandangnya sebagai
sebuah kejahatan yang harus dikalahkan. Lalu siapa yang jahat di sini? Nah, itu
dia alasan mengapa The Witch terasa
“mengganggu” hingga akhir, tidak hanya karakter yang merasakan terror namun penonton
ikut merasakan paranoia.
Kemampuan karakter
untuk mengangkut penonton masuk ke dalam cerita juga berkat kinerja dari cast
yang memikat. Ralph Ineson sukses
membentuk karakter ayah yang membuat penonton yakin bahwa Tuhan merupakan kunci
satu-satunya bagi mereka untuk menjalani hidup, tidak heran ketika bencana itu
muncul dan mereka mulai goyah kekacauan batin yang tercipta terasa alami. Ya,
terasa alami, sama seperti karakter anak. Namun bintang utama di sini bukan kambing, bukan kelinci, melainkan Anya Taylor-Joy, menjadi penggerak namun
ikut menjadi penyeimbang ketika proses kemunculan terror berjalan secara
perlahan dengan pertanyaan sederhana: di sisi mana wanita muda ini sebenarnya
berdiri?
The
Witch memang punya sinopsis yang begitu familiar di genre
horror dan mudah membuat kamu menilai tidak ada yang special, namun materi
klasik itu berhasil dibangun oleh Robert
Eggers menjadi sebuah sajian horror yang tidak hanya sebatas menggoda dan menakuti
penonton namun melakukan tugas dasarnya yang lain, “mengganggu” penonton.
Visual dengan rasa alami sama seperti cara cerita tumbuh, score yang haunting
sama seperti cara misteri bermain, mengolah isu tentang agama lewat pertanyaan
yang provokatif namun bijaksana, menebar terror dalam keindahan yang tenang, The Witch adalah film horror yang
“berbahaya” karena karena ia mampu meninggalkan penontonnya bersama paranoia. Segmented.
Thanks to: rory pinem
review Muck (2015) dong bang, plis
ReplyDeleteMuck sudah ada di list tonton bulan depan, tapi tidak janji pasti akan direview. :)
Deletehaha yah :( ,, soalnya menurut saya itu unik horor tapi lebih mirip komedi spanjang nonton itu saya sama temen2 yang lagi nonton bareng suka ketawa ngakak kalo ada adegan yang random dan terkesan tidak ngebanyol tapi malah keliatan lucu ah pokoknya tonton dulu deh...
Deletemenurut saya film ini lebih enak di pandang sebagai film thriller mystery krn jujur saya gak terlalu merasakan kengerian di ceritanya disamping arasemen music nya yg lumayan merinding..dari awal penonton sdh di buat pertanya tentang apa yg terjadi dan ending nya mantap juga jadi kejutan gtu. ..
ReplyDelete