21 August 2014

Movie Review: Guardians of the Galaxy (2014)


"We're the fricking Guardians of the Galaxy!"

Jika harus memilih studio di industri perfilman yang memiliki rasa percaya diri sangat tinggi sekarang ini, merupakan sebuah kesalahan besar jika tidak memasukkan Marvel Studios di dalamnya, sejak 2008 berhasil menjadikan Iron Man, Thor, dan Captain America begitu digilai oleh penonton tanpa harus kehilangan misi lain pada sisi finansial. Yap, dibawah komando Kevin Feige mereka kini telah menjadi  one to beat di sektor hiburan superhero yang mulai menjamur itu, dan film terbarunya ini kembali membuktikan serta memperkuat status tersebut. From the studio that brought you The Avengers, behold and please welcome, Guardians of the Galaxy, a Groot summer flick.

Ketika sedang menangis di sebuah lapangan hampir tiga dekade lalu akibat kematian ibu tercintanya, Peter Quill (Chris Pratt) secara mengejutkan diculik oleh sebuah pesawat asing milik The Ravagers, space pirates yang dipimpin oleh Yondu Udonta (Michael Rooker). Kini Quill telah tumbuh menjadi seorang pencuri handal, bahkan pria yang mencintai headphone dan walkman berisikan mixtape berjudul Awesome Mix Vol. 1 itu berani menjuluki dirinya sebagai Star Lord. Tapi ketika ia hendak menjual Orb yang baru ia curi ke Xandar, Quill justru harus jatuh ditangan Nova Corps.

Tidak sendiri karena bersamanya ada Gamora (Zoe Saldana), putri tiri Thanos, bounty hunter raccoon bernama Rocket (Bradley Cooper), dan tree-like humanoid yang menyebut dirinya Groot (Vin Diesel). Mereka bertiga adalah penyebab Quill kehilangan kehidupannya yang bebas, namun bersama Drax the Destroyer (Dave Bautista) mereka pula yang menjadi alasan dari upaya Quill untuk merebut kembali Orb yang sangat berharga itu dari tangan Ronan (Lee Pace), seorang Kree yang bekerja untuk Thanos dan berniat membalaskan dendamnya pada the Xandarians.


Seperti yang sebelumnya telah disinggung pada review pertama, saya merupakan salah satu dari mungkin sekian banyak penikmat film yang dulu pada awalnya mempertanyakan keputusan dari Marvel untuk membawa tim superhero ini kedalam Marvel Cinematic Universe, dan kemudian menyandang status tim superhero kedua. Yap, kedua, dan kalimat “untuk apa?” tentu saja sudah memiliki jawaban yang jelas pada sisi finansial, tapi rasa aneh tetap saja muncul ketika menilik tujuan terutama posisi dari tim ini pada “dunia” yang Marvel miliki. Tentu saja itu sebuah kejutan apalagi dengan line-up sosok-sosok populer di bagian pembuka tadi merupakan anggota inti dari tim yang telah mereka miliki, namun ketika film ini berakhir dan mengingat senyum lebar miliknya, I said “damn you Kevin Feige!”

Benar, berengsek tapi dalam konteks positif, tim yang awalnya berpotensi menjadi sebuah “lelucon” ini berhasil memberikan kejutan dengan menampilkan hiburan kelas A yang merupakan huruf awal dari julukan mereka, A-Holes. Guardians of the Galaxy seperti upaya terselubung yang dilakukan oleh Marvel untuk sejenak menyegarkan dunia yang mereka punya, James Gunn tidak membangun kisah yang tulis ulang bersama Nicole Perlman itu dengan identik menggunakan template film superhero, upaya menyelamatkan dunia dari ancaman super besar dengan menerapkan materi ringan seperti lelucon untuk mengambil peran minor. Posisi mereka ditukar, kita tahu Orb itu harus diselamatkan tapi jalan menuju babak final itu kemudian mereka isi menggunakan kekacauan dengan kualitas menyenangkan yang besar.


Ibarat tari ini bukan ballet dengan sentuhan modern dance yang setia dengan pola hafalan, Guardians of the Galaxy seperti street dance yang akan menghanyutkan anda dengan locking, memutar-mutar anda dengan B-boying, dan kemudian menghajar penontonnya dengan krumping energik. Seperti permainan Pinball, bergerak bebas tapi arah utamanya tetap dibawah kendali, proyek dengan resiko tinggi ini mampu mencampur dengan sangat baik budaya pop bersama dengan sentuhan sci-fi klasik, sebuah opera absurd yang ringan, dari soundtrack cantik berisikan lagu pop 70-an hingga 80-an yang tetap mampu bersenandung nikmat pada penonton yang kurang familiar, dialog simple dengan humor perpaduan antara lelucon formulaic dan one-punch, hingga pertempuran yang akan mengingatkan anda dengan Galaga (not Lady Gaga).

Ya, bukan kinerja para desainer produksi yang sesungguhnya tidak perlu diragukan karena sekali lagi mampu menghasilkan visual menyenangkan dan variatif, tapi keputusan untuk tampil santai menjadi alasan mengapa Guardians of the Galaxy berhasil tampil standout dan mudah untuk di sukai. Penyebabnya adalah pilihan mereka untuk menjadi sebuah tim yang tidak rumit, sebuah tim yang tidak menjadikan penontonnya menunggu sembari berharap mereka berhasil meraih kesuksesan dalam misi, tapi sebuah tim yang menjadikan anda seolah berperan sebagai anggota lainnya untuk kemudian ikut bersenang-senang bersama mereka, lebih mengandalkan feel dan pesona yang mereka punya untuk menghibur sembari mendorong maju cerita yang tidak dapat dipungkiri memang terasa standard itu.


Hal seperti ini tentu saja tidak bisa ditinggalkan dalam sebuah penilaian, nilai-nilai minus klasik yang mayoritas berasal dari cerita, mondar-mandir sporadis yang dilakukan semata-mata untuk menutupi plot yang diselimuti dengan inkonsistensi itu. Tapi apakah kehadiran mereka mengganggu? Tidak, kumpulan makhluk aneh itu berhasil menggambarkan dengan baik kisah terkait harapan serta pentingnya persahabatan untuk menjauh dari gangguan minus tadi dengan konsistensi mereka dalam menebar sensasi, menjaga thrill dari menggunakan referensi hingga hal-hal cheeky, hingga sikap tidak takut untuk menonjolkan sisi kartun mereka didalam hiruk-pikuk yang padat dan terus terpompa itu sehingga momen touching mampu memberikan kesan mengejutkan.

Tapi seandainya saya ditanya hal apa yang paling memorable dari Guardians of the Galaxy, jawabannya adalah lima karakter utama. Chemistry dari interaksi antar karakter secara mengejutkan tampil empuk disini, mereka mampu memanfaatkan tiap momen individu dengan baik menggunakan ciri khas mereka, namun ketika bersatu mereka saling mendukung tanpa menutup atensi penonton pada satu atau dua karakter saja, terbagi rata. Chris Pratt menggunakan kemampuan sarkasme miliknya dengan baik, namun kesan kokoh juga tidak hilang, Zoe Saldana bukan sekedar pemanis belaka, dan Dave Bautista tidak menjadikan Drax sebagai pelengkap tanpa guna. And last but not least, Rocket dan Groot, berkat kehidupan yang disuntikkan oleh Bradley Cooper dan Vin Diesel akan dengan sangat mudah menjadikan penonton jatuh hati pada mereka.


Overall, Guardians of the Galaxy adalah film yang memuaskan. Sebuah kemasan tidak tahu malu yang terasa segar, mungkin sederhananya seperti itu, karena dengan tampil santai bahkan terkadang menjurus absurd Marvel Studios membuktikan bahwa mereka yang terdepan dalam kategori superheros saat ini. Sebuah gambling yang berakhir manis, menutup minus kecil dengan konsistensi pada menghadirkan aksi bersenang-senang, dari chemistry yang empuk, visual dan CGI yang oke, kombinasi bersama soundtrack yang manis, humor yang tajam, diselimuti oleh pesona yang tampil stabil, bukan menjadi sesuatu yang aneh jika hadir sebuah senyuman ketika kalimat besar “The Guardians of the Galaxy will return” itu muncul di hadapan penontonnya. What a confident, Marvel!







1 comment :