02 October 2015

Movie Review: Sicario (2015)


"You will not survive here. You are not a wolf, and this is a land of wolves now."

Begitu banyak kata yang dapat digunakan untuk secara singkat menggambarkan Sicario, yang memiliki arti Hitman, namun ada satu kata yang sangat tepat untuk memulai semuanya: sick! Ya, sakit, Sicario merupakan sebuah sajian thriller yang sakit, ibarat sebuah taman bermain ia seperti sebuah rumah hantu dengan kualitas yang sangat baik, akan membuat pengunjungnya merasa waspada ketika masuk, mulai merasakan kecemasan yang terus meningkat, semakin terjebak dalam ketegangan hingga akhirnya merasa di hantui ketika telah sampai di garis finish. Sicario: a sick thriller.

Kate Macer (Emily Blunt) mungkin tidak pernah menyangka peristiwa di Arizona itu pada akhirnya membawa ia menembus perbatasan Meksiko untuk terjebak di dalam sebuah misi yang tidak hanya menguras energi namun juga emosi. Berawal dari kesuksesan di Arizona ketika Kate bersama rekannya Reggie Wayne (Daniel Kaluuya) serta tim berhasil menemukan “sesuatu” yang sangat mengejutkan, Kate yang berprofesi sebagai agent FBI Special Weapons and Tactics Teams dipanggil oleh sang boss Dave Jennings (Victor Garber) untuk kemudian bertemu dengan beberapa pria, salah satunya Matt Graver (Josh Brolin), penasihat Departemen Keamanan.

Matt sedang memimpin sebuah misi untuk menemukan seorang pria bernama Manuel Díaz yang ia yakini dapat membawa mereka menuju drug lord bernama Fausto Alarcón (Julio Cedillo), pria yang ia sebut sebagai “a ghost”. Kate dan Matt tidak sendirian di baris depan misi tersebut karena dalam perjalanan menuju El Paso hadir Alejandro Gillick (Benicio del Toro), pria misterius yang sekilas sedang berada dalam masalah. Ternyata Alejandro merupakan clue awal bagi Kate, karena saat dalam perjalanan pulang dari Juárez, Meksiko, Kate sadar bahwa ia telah menjadi seekor bulldog yang terjebak di dalam pertarungan para serigala.


Dia memang berhasil menjadikan Enemy penuh trik dan tanda tanya sehingga ketika selesai misteri yang ia miliki masih terus mengganggu penonton, dia juga berhasil menjadikan Prisoners sebagai drama misteri yang manis hanya dengan menggunakan sebuah problema sederhana, namun for me Sicario merupakan karya terbaik dari Denis Villeneuve setelah Incendies. Sicario seperti menggabungkan Enemy dan Prisoners, misteri berada di level yang sedikit rendah dari Enemy namun tetap hadir dengan taji yang mematikan, dan gabungkan itu bersama thrill serta intensitas cerita sedikit lebih tinggi dari Prisoners. Hasilnya, sebuah crime thriller yang membuat penonton terus waspada hingga akhir dan kemudian meninggalkan mereka dengan rasa horror. 

Pada dasarnya Sicario mengemban misi sederhana, seperti pengandaian yang digunakan tadi script yang di tulis oleh Taylor Sheridan berisikan isu dimana dunia tidak selamanya hitam dan putih, namun cara isu terkait ambiguitas mematikan tersebut di olah menghasilkan “petualangan” yang tidak sederhana. Di awal semuanya tampak normal, sesuatu yang mungkin akan terasa mencurigakan jika anda telah akrab dengan bagaimana cara Villeneuve “bermain” dengan penontonnya, namun setelah itu kita dibawa secara perlahan namun ketat untuk naik menuju level berikutnya secara bertahap, hingga bertemu dengan garis finish yang seperti disebutkan sebelumnya walaupun tampak simple namun sukses meninggalkan kesan horror yang mendalam.


Kesuksesan terbesar Sicario terletak pada prestasi klasik dari seorang Villeneuve, sukses menjebak penonton lalu kemudian memaku atensi mereka dengan menggunakan misteri yang terasa padat dan asyik untuk di nanti. Hadir kesan ambigu yang oke didalam Sicario, kegelapan yang mengganggu serta menghipnotis anda dengan rasa waspada hadir dari banyak arah, dari cerita, dari karakter, dari visual, hingga berasal dari musik. Semua elemen tadi seolah sudah diberikan sebuah stuktur dimana mereka akan tampil menusuk penontonnya sehingga sejak awal hingga akhir momen dimana penonton merasa tenang cukup minim. Sebut saja score Jóhann Jóhannsson yang sangat haunting itu, tampil konstan dengan suara drum yang mengancam dan terus berputar-putar di kepala penontonnya.

Sama seperti score, sajian visual juga tidak kalah indahnya, dan for me elemen ini merupakan bagian terindah dari Sicario. Dikendalikan oleh Master bernama Roger Deakins (urgh, Academy!) Sicario adalah bukti bagaimana gambar yang di produksi suatu film punya peran yang begitu penting dalam mencapai misi yang mereka emban. Dari gerak sederhana prajurit menuju kegelapan, hingga landscape shoot dari pesawat take-off dengan pergeseran fokus pada bayangannya yang terasa indah, visual begitu banyak membantu Sicario dalam mengikat atensi penonton tanpa meninggalkan kesan menipu, mempermainkan penonton ketika mereka terjebak ambigu dan kebingungan, hingga membawa mereka dekat dengan terror untuk merasakan ketegangan cerita yang menyenangkan.


Hal yang sama juga terjadi di sektor karakter yang di rawat dengan baik oleh Villeneuve. Bagaimana Sicario membawa Kate Macer untuk terbakar secara perlahan dari segi emosi terasa manis dan halus sehingga hal tersebut begitu mudah untuk di rasakan pula oleh penonton. Begitupula dengan cara Villeneuve menjaga ketidaktahuan untuk duduk manis di pusat cerita tapi secara bertahap mencampurnya dengan rasa takut dan rasa jijik pada segala hal yang berputar didalam cerita untuk kemudian mendorong isu moral yang juga tampil ambigu. Ini yang menarik, tiga karakter utama memang tampak misterius namun ketika telah berakhir pada dasarnya mereka di hadirkan tanpa filter, seekor bulldog dan dua ekor serigala, tanpa ada pahlawan.

Mengapa pada akhirnya semua terasa ambigu? Karena logika penonton di permainkan oleh Villeneuve disini dengan berlandaskan berbagai isu sederhana, seperti too greedy misalnya, obsessive, terlalu innocent, semuanya berbahaya jika berlebihan. Sicario memang tidak sempurna, gerak mondar-mandir mungkin dapat menjadi masalah bagi beberapa penonton, namun hal tersebut tidak mengganggu terlebih dengan dengan kinerja cast yang menjalankan tugas mereka dengan baik. Fokus utama adalah Emily Blunt dan ia berhasil menenggelamkan penonton untuk ikut terjebak bersama “penderitaan” Kate Macer. Di sampingnya ada Josh Brolin yang bertugas menjadi sosok penebar ambiguitas, dan melengkapi mereka Benecio Del Toro, sekilas tampak pendamping namun merupakan kejutan manis dari Sicario, membuat darkside dari cerita berputar-putar dengan lembut, dan ketika "boom" ia terasa pas.


Overall, Sicario adalah film yang memuaskan. Denis Villeneuve bukan sutradara yang senang memberikan penontonnya rasa “nyaman” ketika berjalan bersama cerita, ia tidak membuat cerita bergandengan tangan dengan anda, yang ia lakukan adalah melepas anda bersama misteri untuk kemudian tenggelam bersamanya. Itu yang dilakukan oleh Sicario, sebuah crime thriller yang akan menyerang penontonnya dari banyak arah, dari cerita, karakter, visual, hingga music, memutar isu sederhana untuk memberikan petualangan penuh ketegangan yang manis. A sick thriller. (rp)






0 komentar :

Post a Comment