25 December 2016

Movie Review: Assassin's Creed [2016]



"We work in the dark to serve the light."

Mengadaptasi karya Shakespeare ke cinema bukan sebuah pekerjaan yang mudah untuk dilakukan tapi tahun lalu Justin Kurzel berhasil mengeksekusi 'Macbeth' dengan sangat baik. Kali ini ia kembali mencoba melakukan sebuah proyek yang dapat dikatakan menantang meskipun telah menjadi pemandangan yang familiar belakangan ini yaitu mengadaptasi sebuah video game dan membawanya menuju cinema. Apa yang Justin Kurzel tampilkan di Macbeth tidak serta merta membuat calon penonton merasa sepenuhnya yakin untuk menaruh ekspektasi tinggi pada 'Assassin's Creed' karena ini merupakan adaptasi dari sebuah video game series, something yang hingga kini selalu lebih akrab dengan kata gagal.

Seorang murderer bernama Callum Lynch (Michael Fassbender) yang sedang menunggu eksekusi diselamatkan oleh sebuah company bernama Abstergo Industries. Dia kemudian ditempatkan di bawah kendali scientist bernama Sophia Rikkin (Marion Cotillard). Callum kemudian sadar bahwa dirinya dimanfaatkan oleh perusahaan yang dipimpin CEO Alan Rikkin (Jeremy Irons), misi mereka adalah untuk menemukan apel legendaris dari the Garden of Eden untuk mengendalikan seluruh umat manusia. Namun kemudian dengan bantuan Animus, mesin rancangan Sophia, Callum kemudian “mendengar” memori dari leluhurnya yang bernama Aguilar de Nerha. 


Di awal tadi sedikit disinggung perihal kesuksesan sutradara film ini dalam mengadaptasi karya Shakespeare tapi sebenarnya yang membuat ‘Assassin's Creed’ pada awalnya tampak menjanjikan bukan itu saja. Justin Kurzel ikut memboyong tim inti yang ia punya di film Macbeth, dari cinematographer, composer, hingga tentu saja dua pemeran utamanya yaitu Michael Fassbender dan Marion Cotillard. Tapi ternyata setelah film ini berjalan hingga seperempat durasi totalnya yang sebesar 116 menit itu harus diakui rasa ragu pada ‘Assassin's Creed’ yang sejak awal telah eksis masih belum pudar juga. Hal tersebut bukan hanya karena “curse” yang dimiliki film adaptasi dari video game saja tapi karena eksekusi Kurzel di bagian awal juga terasa kurang meyakinkan. Basically cerita yang ‘Assassin's Creed’ punya terasa suited untuk dibawa ke bentuk script sebuah film, dari parkour hingga shooting with arrow, mereka punya potensi untuk digunakan membentuk sebuah sajian action yang exciting. Tapi hasilnya? Uninspired. 


Dibantu dengan cinematography yang clearly based on the games harus diakui action scenes yang ‘Assassin's Creed’ punya tadi ditambah contohnya close combat terasa menarik, tapi ibarat sedang memukul mereka tidak punya force yang benar-benar kuat dan stabil di dalam cerita. Konsep “dua bagian” pada karakter Callum sebenarnya merupakan sebuah jalan yang sangat bagus tapi di sini justru membuat cerita ‘Assassin's Creed’ seperti terasa melayang-layang. Tidak seperti anak panah yang meluncur dengan cepat menuju sasaran film ini terperangkap di dalam usaha mengajak penonton mengikuti Callum di “dua bagian” tadi. Callum pada dasarnya merupakan karakter yang berhadapan dengan semacam “challenges” menarik baik itu dari past maupun present tapi celakanya cara Justin Kurzel menyajikan dua bagian tadi kurang oke, motive dan alasan yang cerita punya terasa selalu terbuka sehingga tidak ada di antara mereka yang menunjukkan kesan “penting” yang menarik untuk diamati secara lebih jauh.  


‘Assassin's Creed’ tidak terasa membingungkan tapi with too many questions and motives cerita terlihat remains in the dark sehingga aksi yang dilakukan oleh karakter menjadi hardly comprehensible. Kurzel di bagian awal mencoba memperkenalkan kompleksitas yang dimiliki oleh world of the Assassins tapi setelah itu ia justru tidak mencoba menciptakan berbagai punch yang kuat di dalam dunia tersebut sehingga cerita perlahan lose their bearings. Itu sebuah keputusan yang terasa aneh karena dengan mengisi cerita untuk fokus pada characters and subplots Kurzel justru terasa kurang menaruh perhatian yang kuat pada dua hal tersebut. Hasilnya tidak ada development yang menarik tidak hanya pada karakter saja namun juga pada konflik di dalam cerita. Dampak domino dari sana tentu saja excitement yang penonton rasakan dari petualangan ini, berisikan berbagai gejolak yang terasa semakin lelah tanpa menyajikan sebuah adrenaline rush bagi penonton seperti yang gamers rasakan ketika sedang bermain video game. 


Action, action, dan action, mereka dapat dikatakan cukup mendominasi di film ini, dari beaten, tendangan, stabbed, hingga terbunuh, karakter seperti bertarung seperti there’s no more tomorrow. Tapi apa gunanya jika hal tersebut hadir tanpa excitement yang mumpuni? Untung saja bagian teknis memberikan kualitas yang cukup oke untuk menjadi tali yang menarik penonton agar tidak terlelap tidur. The visual is good, tampil dengan fast-paced thrill yang dihasilkan tidak buruk terlebih dengan aksi swinging dengan panorama dan landscapes yang terasa impresif bersama score dan cinematography yang terasa dinamis. Performa akting juga tidak buruk untuk ukuran aktor dan aktris yang tidak didukung oleh script dan pengarahan yang sangat “membantu” mereka, Michael Fassbender menjalankan tugas double role secara credible sedangkan Marion Cotillard mampu menjadi pendamping yang cukup oke. Tapi yang paling memorable dari cast justru adalah Ariane Labed (The Maid di film ‘The Lobster’) yang berperan sebagai Maria, seorang assassin yang terasa powerful dan uncompromising. 


Sebenarnya dengan melihat komposisi tim yang ia punya this one punya potensi besar untuk dapat menghadirkan sebuah pendekatan yang quite fun terhadap video game Assassin's Creed, hal pada sinopsis terkait apple itu memang terasa “silly” namun science hingga politik yang terkandung di dalam cerita quite makes sense. Masalahnya adalah force di bagian tersebut terasa sering absen sejak awal dari screenplay yang weak kemudian masuk ke eksplorasi yang terbatas ‘Assassin's Creed’ perlahan menjadi sebuah action adventure yang terasa “pucat” dan melayang-layang. Terdapat berbagai impressive pictures yang dihadirkan bagian teknis dalam jumlah yang berlimpah namun mereka tetap tidak mampu membuat ‘Assassin's Creed’ terus berlayar dan memberikan penontonnya sajian yang terasa exciting. Uninspired, it’s like a bloodless fighting. Segmented. 














Cowritten with rorypnm

0 komentar :

Post a Comment