01 January 2022

Movie Review: The French Dispatch (2021)

“All grand beauties withhold their deepest secrets.”

Tidak mudah jika berbicara tentang film karya Sutradara Wes Anderson, beberapa menyukai gaya visual yang telah menjadi ciri khasnya dengan komposisi dan detail yang cantik berpadu bersama karakter yang unik, tapi tidak heran jika di sisi lainnya ada yang tidak suka dengan gaya bercerita Wes Anderson yang terkesan egois serta terlalu mementingkan diri sendiri sehingga menilai apa yang coba ia sajikan terasa sebagai sesuatu yang dangkal. Kali ini Si Pencerita ulung itu mencoba justru semakin jauh mengeksplorasi elemen khas miliknya yang stylish and whimsical, homage yang lebih kompleks dari gaya formulanya selama ini dan punya potensi jauh lebih mudah untuk membuatmu lost in translation di dalam a love letter to journalism and the world. ‘The French Dispatch’ : another cosmos from the puppet-playing maestro.


The French Dispatch merupakan institusi surat kabar di kota kecil Ennui-sur-Blasé, Perancis, yang suatu hari dikejutkan oleh kabar meninggalnya editor mereka Arthur Howitzer Jr. (Bill Murray) akibat serangan jantung. Penerbitan surat kabar terpaksa dihentikan untuk mempersiapkan edisi khusus perpisahan bagi mendiang Arthur. Beberapa buah artikel dipersiapkan bersama dengan obituari, diawali dengan “The Cycling Reporter” di mana travel writer bernama Herbsaint Sazerac (Owen Wilson) menjelaskan beberapa sudut kota Ennui-sur-Blasé, yang kemudian disambung oleh “The Concrete Masterpiece”, diceritakan oleh J.K.L. Berensen (Tilda Swinton), kisah tentang mentally disturbed artist bernama Moses Rosenthaler (Benicio del Toro), ia melukis wanita bernama Simone (Léa Seydoux) dan karyanya menarik perhatian art dealer Julien Cadazio (Adrien Brody).

Kisah selanjutnya adalah tentang revolting couple Zeffirelli (Timothée Chalamet) dan Juliette (Lyna Khoudri), kisah mereka dinarasikan oleh reporter bernama Lucinda Krementz (Frances McDormand), sosok yang mengalami kesulitan dengan integritas junalistiknya dan dikabarkan menjalin hubungan dengan Zeffirelli yang jauh lebih muda darinya. Sedangkan cerita terakhir yang menyusul di belakang Revisions to a Manifestotadi berjudul “The Private Dining Room of the Police Commissioner” yang diceritakan oleh Roebuck Wright (Jeffrey Wright) kepada show host (Liev Schreiber), kisah tentang The Commissaire (Mathieu Amalric) yang anaknya diculik saat sedang private dinner yang disiapkan oleh Chef legendaris Nescaffier (Stephen Park).

Tidak hanya film-film blockbuster saja yang terkena dampak dari corona pandemic namun beberapa sineas yang tidak terlalu lekat dengan image tersebut tadi terpaksa menunda pula jadwal rilis film-film mereka, salah satu di antaranya yang mungkin paling banyak diantisipasi adalah film ini, karya terbaru Sutradara Wes Anderson yang sebenarnya dijadwalkan rilis pada ajang Cannes Film Festival bulan Mei tahun 2020. Film terakhirnya ‘Isle of Dogs’ rilis tahun 2018 yang lalu and his last live-action work adalah The Grand Budapest Hotel di tahun 2014, tujuh tahun lalu. Sejak itu banyak hal terjadi di dunia cinema namun satu hal yang pasti Wes Anderson tetap tidak berubah, ia tetap berpegang teguh pada special formula miliknya dan mencoba mengembangkannya menjadi lebih “gila” lagi.


Tampil sebagai sebuah anthology comedy film dengan judul panjang The French Dispatch of the Liberty, Kansas Evening Sunini harus diakui jauh lebih segmented jika dibandingkan dua judul di atas tadi, bahkan dengan Moonrise Kingdom’ but with all their quirkiness semua elemen di film ini justru berhasil menunjukkan pada penonton bagaimana seorang Wes Anderson telah berhasil menaikkan level miliknya sebagai seorang pencerita. Tampil stylish dan tampak aneh merupakan image yang lekat padanya dan di sini Wes Anderson menciptakan arena bermain yang semakin luas jika dibandingkan dengan apa yang pernah ia ciptakan sebelumnya, arena yang kemudian ia pakai untuk bergembira dalam mendongeng serta untuk menunjukkan keterampilannya dalam menciptakan another cosmos.

Ketika menyaksikan film karya Wes Anderson sangat mudah untuk merasa seperti sedang masuk ke dalam sebuah alam semesta lain, dan meskipun latar tempat film ini dikatakan sebuah kota fiktif di Perancis tapi penonton seperti dibawa melangkah masuk ke sebuah dunia lain, sebuah dunia yang penuh warna dan stylish yang ditata dengan sangat baik. Ada kesan random, kesan unik, tapi mata dan hati dibuat terus bergumam “ah, cantik” ketika narasi yang sesekali menyuntikkan energi random itu melangkah maju ditemani baluran visual dengan komposisi yang menawan. Seperti masuk ke dalam dunia boneka tapi bersama karakter bernyawa, cerita yang mungkin akan tampak sederhana dan dangkal bagi beberapa penonton meskipun sebenarnya merupakan sebuah surat cinta dari Wes Anderson kepada jurnalistik dan dunia.


Harus diakui memang eksposisi di awal tidak terlalu detail, bahwa beberapa great stories coba dikumpulkan oleh mantan anak buah Arthur untuk mengenangnya, tapi cerita tersebut menjadi beberapa episode yang dipakai oleh Wes Anderson bercerita tentang banyak hal menarik di sini, a story that absolutely should be shared with the world. Wes Anderson menaruh dedikasi yang tinggi pada jurnalisme di sini, mereka yang masih mencoba untuk membantu “membuka pintu dunia” bagi para pembaca aksinya dituangkan ke dalam bentuk beberapa sketsa tanpa eksplorasi yang terlalu mendalam. Namun bukan berarti pesonanya jadi dangkal dan pesan serta isu yang hendak disampaikan jadi tumpul dan biasa saja melainkan disusun secara menawan oleh Wes Anderson. Terasa overloaded memang jika dilihat secara global tapi hal itu dampak dari attention to detail milik Wes Anderson.

Seperti yang saya sebutkan di awal tadi bahwa film karya Wes Anderson adalah film yang segmented, begitupun film ini yang punya nafas experimental tidak hanya pada frameworks tapi juga staging yang terkesan static dengan menggabungkan urutan comic-style which will make you wonder hingga tiba di satu pertanyaan, sebenarnya film ini tentang apa? Struktur episodik yang terpotong antar bagian meninggalkan kesan bahwa there is no story here, apalagi jika kamu mencoba menemukan koneksi antar satu konflik dengan konflik yang lain. Namun tiap potongan tadi merupakan bentuk deklarasi Wes Anderson terhadap kecintaannya pada the art of storytelling, ia adalah writer and staff-member of the French Dispatch, dia sedikit "mengorbankan" narasi dan terkesan a bit self-indulgent, but there's the substance beneath it.


Menjelaskan terlalu detail substansi tiap potongan cerita saya rasa akan merusak salah satu kenikmatan film ini tapi dengan permainan vibrant colors yang dibingkai dengan baik oleh Wes Anderson dan tim-nya, baik itu cinematography, score, hingga editing serta production dan costume design, the movie works playing with narrative cohesion full of wit and wonder, a sketchbook about odd people and places menggali rasa ingin tahu penonton pada sisi dan sifat aneh yang terkandung di dalam human relations. Dan banyak hidden detail yang cantik di dalamnya, sama seperti karakter yang masing-masing punya pesona menarik dan diperankan dengan baik oleh para aktor, a showcase of high-profile stars yang menampilkan kinerja terbaik even for the tiniest roles sekalipun, menjadikan karakternya sebagai boneka yang diandalkan oleh Wes Anderson.

Overall, ‘The French Dispatch adalah film yang sangat memuaskan. Film tipikal dari seorang Wes Anderson yang kali ini menciptakan arena bermain yang lebih luas dan nakal lagi untuk mempertunjukkan artistic and narrative staging andalannya dalam bentuk sebuah episode film tentang love to the art of storytelling dengan memakai old-school journalism di dalam misi sebuah newspaper editorial team. Style dan juga hasil akhirnya terasa sangat segmented, sangat mudah untuk tampak seperti sebuah kumpulan sketsa dengan pengisahan dan koneksi yang dangkal di tiap bagian, tapi memang bukan itu yang tampaknya ingin Wes Anderson capai, ia menciptakan dunia lain where every single thing play like a living puppet which he uses to explores the audience's curiosity about the strange side and nature contained in human relations. Segmented.





1 comment :

  1. “You see, people may or may not be mildly threatened by your anger, your hatred, your pride. But love the wrong way and you will find yourself in great jeopardy.”

    ReplyDelete