15 April 2013

Movie Review: Promised Land (2012)


Jangan memberikan hadiah ulang tahun yang memiliki nilai terlalu tinggi pada lawan jenis anda jika maksud dan tujuan utama anda hanyalah sebatas sebagai ucapan selamat, karena jika dia salah dalam melakukan persepsi dari apa yang anda berikan hasilnya bisa saja justru akan menjadi boomerang bagi anda. Apa hubungannya dengan Promised Land? Yak, itu yang dialami oleh film ini, sebuah film drama dengan coba menghadirkan sebuah konflik dan pesan yang cukup serius.

Steve Butler (Matt Damon), merupakan salah satu pekerja dengan sejarah pekerjaan yang cukup menjanjikan di sebuah perusahaan energi bernama Global Crosspower Solutions. Bersama Sue Thomason (Frances McDormand), Steve ditugaskan menuju sebuah kota kecil dengan tingkat perekonomian rendah dikawasan Pennsylvania yang menurut hasil riset perusahaan mereka memiliki potensi minyak yang sangat sangat tinggi. Jelas bukan sebuah misi yang mudah di emban oleh Steve dan Sue, karena mereka bukan hanya harus memperoleh ijin dari pihak pemerintahan, namun juga termasuk seluruh penduduk kota.

Semua berawal manis, dengan walikota yang setuju pada penawaran awal yang diberikan oleh Steve. Bencana bermula di pertemuan kota yang mencoba membahas masalah tersebut, dimana seorang pria tua yang berprofesi sebagai guru bernama Frank Yates (Hal Holbrook) tidak setuju dengan rencana tersebut, menyampaikan teori yang akhirnya merubah pandangan warga lain yang pada awalnya setuju dengan penawaran dari Steve. Mereka mengajukan untuk diadakan vote tiga minggu kemudian. Celakanya, esok harinya hadir Dustin Noble (John Krasinski), pria yang mengaku dari komunitas pelindung lingkungan, dengan sebuah fakta lain yang meyakinkan dan menambah beban Steve serta Sue untuk mewujudkan misi mereka.


Film yang menarik, dimana anda akan menemukan karakter utama yang dibangun dengan cukup baik, berhasil meyakinkan anda bahwa tugas yang ia emban mampu memberikan benefit serta profit, namun setelah itu hadir lawan yang juga mampu melakukan hal serupa, meyakinkan penontonnya bahwa apa yang dilakukan karakter utama adalah sebuah bencana. Cerita yang disusun oleh Dave Eggers itu cukup berhasil diterjemahkan kedalam screenplay yang menarik oleh John Krasinski dan Matt Damon. Yap, mereka mampu membuat saya berada di titik kebimbangan sampai film mulai menyentuh durasi satu jam.

Well, pace lambat diawal memang sedikit membosankan, terlebih dengan gagalnya beberapa joke yang ia coba selipkan. Beruntung konflik utama yang ia usung selalu mampu di maintain dengan baik, sehingga kadar daya tarik yang ia punya mampu tampil stabil dan terus bergerak positif. Kekuatan utamanya terletak pada nilai kemanusiaan yang ia usung, dan dipadukan bersama sebuah fakta menggiurkan yang pasti akan mampu menggoyang pendirian banyak orang. Sebuah pertanyaan kuat akan mengiringi penontonnya, pihak mana yang harus anda pilih jika anda menjadi penduduk kota tersebut?

Sayang, semua hal tadi hanya tampil di satu jam durasi, karena setelah sukses membawa permasalahan itu mencapai puncaknya, film ini seperti bingung pada langkah apa yang harus mereka lakukan. Bukan salah Gus Van Sant (Milk), namun bersumber pada cerita yang secara mengejutkan justru menampilkan kebalikan dari apa yang ia hadirkan diawal. Mulai tampak hal-hal lemah yang berdampak pada apa yang telah dibangun diawal menjadi tampak biasa, bahkan bisa saja terlupakan. Tensi persaingan itu mulai turun, dan unsur drama mulai sedikit maju kedepan. Ini adalah salah dari Damon dan Krasinski, yang sejak awal telah melemparkan sebuah konflik menarik yang langsung membuat anda berpikir terlalu serius.

Puncaknya, film ini mulai tampak runyam ketika ia menghadirkan sebuah kejutan pertama, yang bahkan sudah dapat anda prediksi sejak awal, disusul kejutan kedua yang justru menjadikan penantian yang anda bangun terasa useless. Menyebalkan, ia seolah ingin tampak megah, namun celakanya tidak disertai materi yang mampu bekerja dengan efektif, terasa melayang dan tidak memberikan sebuah pukulan yang kuat sehingga anda merasakan betapa menariknya pesan yang mereka bawa.

Promised Land seperti punya dua bagian yang terpisah secara jelas, dibagian awal ia tampil sangat menarik dan menjadikan anda berpikir bahwa ada sesuatu yang menjanjikan yang akan mereka berikan, namun di paruh kedua ia tidak mampu memberikan cerita yang impresif dan terasa terlalu biasa sehingga menjadikan anda yang sudah berharap besar akan merasa kecewa. Bahkan tidak banyak momen memorable yang dimiliki film ini, hanya perdebatan Holbrook dan Damon, serta permainan kisah segitiga yang melibatkan Alice (Rosemarie DeWitt) yang justru menjadi garis awal dimulainya hal menjengkelkan itu. Nilai minus lainnya, saya bahkan tidak menaruh simpati pada Steve, hanya konflik yang ia bawa yang menjadikan ia menarik.


Overall, Promised Land adalah film yang kurang memuaskan. Film ini mungkin dapat menjadi bukti terbaru bahwa untuk menjadi sebuah film yang baik mereka harus mampu menjadikan semua bagian film itu tampak menarik, bukan hanya diawal, atau hanya diakhir, dan tidak melakukan hal-hal yang bahkan mereka sendiri tidak yakin. Van Sant, Damon, dan Krasinski seperti tampak bingung, mencoba tampil serius diawal, namun justru terlalu drama di bagian akhir. Solid diawal, beberapa akting yang bersinar, rusak di akhir. 



0 komentar :

Post a Comment