12 September 2014

Movie Review: Beauty and the Beast (2014)



“A life for a rose”

Ketika berbicara tentang makna sesungguhnya universal power yang kita kenal dengan sebutan cinta, mungkin Beauty and the Beast dapat menjadi contoh termudah, sebuah kisah tentang love and redemption dimana seorang wanita dengan rupa cantik dan menawan yang bersedia menerima cinta dari makhluk menyerupai monster buas yang buruk rupa. Sayangnya film ini kurang mampu menjadi presentasi terbaru dari hal tadi, Beauty and the Beast (La belle et la bête), visual feast whose forget the fairy tale main charm.

Setelah bangkrut, Le marchand (André Dussollier) terpaksa harus berhadapan dengan hasil dari kehancuran yang dialaminya itu, turun dari level kehidupannya yang mewah dan pindah menuju sebuah rumah sederhana di pedesaan di luar kota bersama enam orang anaknya. Namun suatu ketika ia mendengar sebuah kabar yang membuatnya segera bergegas menuju kota sembari berniat untuk memenuhi keinginan pakaian serta perhiasan yang bagus dari dua putrinya yang masih belum mampu menerima kenyataan pahit tadi, Astrid (Myriam Charleins) dan Clotilde (Sara Giraudeau).

Namun fakta pahit telah menantinya, yang kemudian membawa pria ini terdampar di sebuah kastil tua tak berpenghuni dimana ia berhasil menemukan apa perhiasan dan pakaian bagus itu. Namun celakanya dalam perjalanan pulang ketika hendak menemukan permintaan sederhana dari putrinya, Belle (Léa Seydoux), akan setangkai mawar merah, Le marchand justru membangunkan amarah dari La Bête (Vincent Cassel), yang meminta balasan nyawa atas setangkai mawar tadi, yang uniknya ditebus sendiri oleh Belle.


Adaptasi dari dongeng tradisional milik Gabrielle-Suzanne Barbot de Villeneuve ini dapat dikatakan sebagai sebuah upaya penyegaran yang dual-motivation. Ya, ada dua motivasi disini yang sebenarnya di tahap awal memang berhasil tampil sama baiknya, menceritakan kembali dongeng tua yang ditulis ulang oleh sutradara Christophe Gans bersama dengan Sandra Vo-Anh yang bahkan telah ia tunjukkan ketika membuka petualangan ini dengan seorang ibu yang sedang membacakan cerita untuk dua anak kecil, dan satu lagi adalah kesenangan visual, memanfaatkan teknologi CGI untuk menopang kekuatan fantasi sembari menjadi media yang menghubungkan cerita kepada penontonnya.

Menjanjikan memang, tapi yang menjadi masalah disini adalah ternyata Christophe Gans tidak menaruh kepedulian yang sama besar pada dua aspek tersebut, ia tampak sangat berambisi menjadikan film ini terasa indah bagi mata yang sayangnya menjadikan ia lupa bahwa pada dasarnya ini adalah sebuah kisah cinta yang intim. Anda akan mendapatkan aksi mondar-mandir yang dipersenjatai dengan sinematografi mumpuni, berbagai tindakan dan gambar yang mengesankan bahkan hingga menyentuh hal detail, dunia fantasi hasil kerja komputer yang tidak dapat dipungkiri mayoritas terbentuk dengan manis, tapi sayangnya mereka pula yang menghancurkan pesona dari dongeng yang ia bawa.


Bahkan sedikit bingung penonton mana yang menjadi sasaran hiburan yang hanya halus dan menawan bagi mata ini, penonton dewasa, atau penonton remaja? Ia seperti ingin tampak bijaksana dengan membagi porsi yang sama besar, tapi sayangnya yang muncul justru kesan setengah hati yang hampir saja menjadikan ia terasa sebagai sebuah kekacauan yang canggung dan aneh. Untuk penonton muda ini terlalu berat dan terlalu gelap, dongeng itu dibentuk dengan pendekatan yang sedikit berbeda, terlalu banyak ide yang ia masukkan seperti aksi kilas balik yang merusak kepadatan dan kekuatan pada fokus cerita, ia juga minim humor yang menjadi bagian wajib bagi film tipe seperti ini.

Dan masalah bagi penonton dewasa lebih banyak. Seperti yang disebutkan tadi, ini seharusnya menjadi sebuah kisah cinta, tidak peduli seberapa jauh modifikasi yang diberikan dongeng ini tetaplah tentang jalinan cinta antara wanita dan pria buruk rupa. Film ini tidak punya itu, karakterisasi yang kurang kuat menyebabkan penonton sulit untuk terhubung dengan emosi yang disampaikan oleh karakter, bahkan ketika telah mengubah cara dengan mengamati pergerakan mood dan interaksi implisit diantara mereka, pesona itu tidak juga kunjung tiba. Dramatisasi yang ia miliki terasa miskin, La Bête dan Belle yang seharusnya terus dijaga tampil kuat di panggung utama bersama ikatan romantisme seperti kekurangan perhatian yang membuat intensitas dan intimitas hubungan mereka terasa dangkal.

Andai saja Christophe Gans mau sedikit merelakan ambisinya pada sektor visual, dan kemudian menaruh perhatiannya untuk menggali jauh lebih dalam dan menjadikan romansa dua karakter utamanya tampil lebih subur, tampil lebih menarik, ini dapat menjadi sebuah adaptasi yang menyenangkan, sebuah adaptasi yang bukan hanya menjadi update yang mumpuni dari segi visual, tapi juga update pada pesona romansa dari kisah yang telah menjadi legenda ini, karena ia punya materi yang mumpuni untuk meraih itu, visual oke, bahkan Léa Seydoux dan Vincent Cassel masih punya banyak ruang yang dapat mereka manfaatkan jika diberi kesempatan ketimbang menggambarkan cinta mereka hanya dengan tatapan mata.


Overall, Beauty and the Beast (La belle et la bête) adalah film yang kurang memuaskan. Dongeng yang standard, sederhananya mungkin seperti itu, dimana kisah yang seharusnya menjadi sebuah dramatisasi percintaan yang manis dan intim itu justru dibentuk menjadi sebuah arena show-off visual (yang mampu terus mencuri atensi) yang tanpa disadari turut menjadi penyebab lemahnya fokus pada cerita sehingga menghancurkan pesona dari dua karakter utamanya.





0 komentar :

Post a Comment