Setelah tiga tahun lalu memberikan kejutan dengan Carnage, kali ini Roman Polanski kembali dengan stage play yang tidak kalah
terkenalnya, masih dengan menempatkan karakter di dalam sebuah ruangan,
disertai misi awal sederhana yang seiring berjalannya waktu mulai membawa
mereka kedalam percakapan yang lebih jauh, ditemani tingkah sensual childish
dan kekacauan. Venus in Fur, an engaging imaginative and wild fun ambiguous play about how dominance venus against mars. Polanski’s
fifty shades of grey.
Menelusuri jalanan kota Paris ditengah gemericik
hujan, kita akan menuju sebuah teater yang telah berada dalam keadaan sepi.
Sebelumnya telah diadakan audisi di tempat tersebut, namun tidak memperoleh
hasil yang memuaskan, hal yang membuat pusing sang sutradara sekaligus penulis
cerita, Thomas (Mathieu Amalric).
Kondisi dimana pemeran utama wanita belum juga ditentukan itu menjadikan Thomas
kemudian memutuskan untuk segera pulang kerumah dimana sang kekasih telah
menunggunya. Namun rencana itu gagal terwujud.
Tiba-tiba muncul seorang wanita bernama Vanda (Emmanuelle Seigner), mengaku
bahwa namanya tercantum dalam daftar peserta audisi. Uniknya meskipun telah
datang sangat terlambat wanita yang berada dalam kondisi semrawut ini memaksa
Thomas untuk memberinya kesempatan dengan sikap cerewet, dan Thomas yang telah
lelah memutuskan memberikan kesempatan karena hanya itu jalan satu-satunya agar
ia dapat cepat pulang. Tapi dibalik sikap sombongnya Vanda punya apa yang
Thomas cari, dan berhasil merubah kendali dari permainan yang mereka lakukan.
Sejak ia dimulai Venus
in Fur telah mampu menghadirkan apa yang menjadi salah satu hal penting
dari bagian pembuka sebuah film: membuat penonton mungkin mengernyitkan dahi,
kemudian tersenyum kecil, dan bergumam “oh, ini menarik.” Yap, mencengkeram
atensi penonton, lagi dan lagi Roman
Polanski berhasil dalam tahap tersebut, membentuk materi super sempit yang
ia ambil dari play dengan judul sama karya David
Ives itu menjadi pertarungan yang seperti paham bagaimana menciptakan
permainan teatrikal menyenangkan. Terkadang ia lucu, terkadang ia juga serius,
mereka ditemani dengan sisi seksi tanpa mengumbar sensualitas dengan cara
murahan dalam pertarungan memperebutkan dominasi.
Ya, sebenarnya Venus
in Fur adalah penggambaran dari sebuah pertarungan. Dari luar tampak
sempit, dalam ruang tertutup seorang sutradara beradu dialog bersama seorang
aktris, namun ada makna yang lebih luas disini: pria dan wanita. Ini seperti
menyaksikan, atau mungkin meneliti lebih tepatnya, bagaimana dinamika kekuasaan
antara pria dan wanita, hal tersebut ia tinggalkan untuk menjadi patokan utama
dan kemudian membuka ruang imajinasi lebih luas lagi yang dengan terampil
dijaga tingkat kepadatannya. Ini yang menjadikan Venus in Fur menarik, terkesan kurang penting dengan aksi saling
ejek namun justru menyimpan isu menggelitik dibalik dialog-dialog dengan
dominasi pertukaran peran penuh ambiguitas dengan motif tidak jelas itu.
Kekuatan utama Venus
in Fur terletak pada kepiawaian Roman
Polanski membangun konsep minimalis yang ia usung. Terampil, keterbatasan
ruang itu justru ia ubah menjadi sebuah dunia kecil yang menggambarkan
kompleksitas dari berbagai gesekan isu hingga komentar menggelitik, dari awalnya
hanya sebatas antara sutradara dan aktornya, kemudian berkembang hingga posisi
manusia dan eksploitasi wanita dengan menggunakan seksualitas sebagai bumbu
utama. Yang menjadikan ini semakin adalah Venus
in Fur tidak kehilangan nafasnya sebagai sebuah pertunjukan teatrikal,
Polanski tetap mempertahankan keterbatasan yang tersebut tapi dengan cerdik
berhasil menjaga daya tarik cerita dengan berbagai hal menarik lainnnya.
Permainan kamera mungkin menjadi salah satu hal paling
menarik disini, disamping tentu saja haunting score efektif dari Alexandre Desplat yang sepertinya sudah
paham apa yang Polanski inginkan karena pernah bekerja sama di Carnage. Sangat suka bagaimana cara
Polanski dengan bermain-main bersama objek yang terbatas, ada spontanitas yang
kuat disini, kemudian close-up yang kerap membantu mempertahankan fokus cerita,
zoom out shoot seperti Rosemary Baby,
hingga berbagai pergeseran halus dan beberapa cukup sulit yang juga menjadikan
seolah panggung tersebut berisikan lebih dari dua orang. Atmosfer yang
diciptakan tampil menarik, dengan permainan cahaya yang manis menciptakan
banyak gambar minimalis yang justru terkesan berkelas.
Bukan berarti ini tanpa kelemahan memang, karena
ketika permainan kucing dan tikus itu hadir cerita terasa sedikit memperlambat
temponya dan sempat kehilangan irama, namun tidak hanya karena kepiawaian
Polanski memanfaatkan berbagai hal tadi untuk melebarkan ruang cerita, namun
juga kinerja dua aktor yang seolah menjadi panggung tersebut menjadi dunia
mereka berdua berhasil menyelamatkan Venus
in Fur. Emmanuelle Seigner sukses
meyakinkan penonton karakternya punya bakat, sisi menjengkelkannya juga manis,
namun juga sukses menghentak ketika tampil seksi bersama sisi erotisme penuh
intrik. Sedangkan Mathieu Amalric
tampil ekspresif dalam ketenangan yang perlahan dihantui rasa bingung.
Overall, Venus
in Fur adalah film yang memuaskan. Dipenuhi ambigu dan pertukaran peran
yang menyenangkan, Roman Polanski
sekali lagi membuktikan kehandalannya dalam bermain-main bersama cerita dengan
ruang terbatas. Venus in Fur seperti
kumpulan dari berbagi potongan kecil yang masing-masing sukses memberikan
sesuatu yang menarik, dipenuhi dengan sindiran yang pas, tapi juga dapat tampil
seksi, serius, dan lucu dengan sama baiknya berkat permainan gambar dengan
transisi yang halus dan rapi. Kemasan minimalis yang manis. Segmented.
0 komentar :
Post a Comment