27 April 2021

Movie Review: Sound of Metal (2019)

"Serenity is something you get when you stop wishing for a different past."

Menjadi tuli tentu merupakan bencana bagi seorang musisi. Memang indera yang lain sama pentingnya namun bagaimana caranya seorang musisi dapat menyajikan musik yang ia hasilkan jika ia sendiri tidak dapat merasakan musik tersebut karena tidak bisa mendengar? Karakter utama film ini merupakan seorang drummer grup heavy-metal dan suatu ketika ia bertemu dengan “bencana” tadi di mana ia memiliki dua opsi, berhenti sebagai musisi atau justru mencari cara atau jalan lain agar dapat tetap menikmati hal yang paling ia cintai itu. ‘Sound of Metal’ : when the Lord closes a door, somewhere He opens a window.


Bersama dengan kekasihnya yang bernama Lou Berger (Olivia Cooke), pria bernama Ruben Stone (Riz Ahmed) membentuk sebuah grup heavy-metal Blackgammon yang telah memiliki penggemar. Mereka sedang menggarap album sembari berkeliling tour menggunakan Recreational Vehicle (RV) yang juga mereka gunakan sebagai tempat tinggal. Ruben adalah seorang drummer sehingga ia harus berurusan dengan musik atau suara dengan frekuensi yang sangat tinggi setiap kali Blackgammon manggung.

Suatu ketika Ruben merasa ia kehilangan kemampuan mendengar, suara di sekitar terasa sangat kecil dan membuat Ruben memutuskan untuk pergi ke Dokter. Ruben didiagnosa kehilangan tiga per empat kemampuan mendengar normal miliknya, ia disarankan untuk menjauh dari segala macam bentuk suara keras agar kemampuan pendengarannya tidak semakin buruk. Mereka datang ke Joe (Paul Raci), pria yang juga tuli dan mengelola penampungan pemulihan bagi para pecandu yang tuli.

Satu hal penting yang membuat ‘Sound of Metal’ layak menyandang status sebagai salah satu film terbaik yang rilis tahun lalu adalah karena konsep yang dibawa oleh Sutradara Darius Marder berhasil ia bentuk dengan sangat kokoh. Di sini penonton coba dibawa menyaksikan perjuangan Ruben yang terlihat jelas sangat mencintai musik metal, tidak butuh waktu lama bagi saya untuk merasakan bagaimana metal adalah cinta dan jiwa bagi Ruben. Tidak heran ketika Ruben bertemu dengan gejala awal kehilangan kemampuan pendengaran muncul emosi yang terasa menohok di sana, bencana yang kemudian bergerak cepat dan menciptakan kepanikan.


Nah, situasi panik itu yang menjadi pintu masuk bagi penonton ke dalam experience yang coba disajikan oleh Darius Marder sebagai hidangan utama film ini. Cerita yang ia tulis bersama Abraham Marder dan Derek Cianfrance digunakan dengan sangat baik oleh Darius Marder untuk mendorong karakter Ruben secara bertahap menuju ke dalam kegelapan, dan juga membuat penonton ikut pula “merasakan” kegelapan itu. Rasa sakit yang dialami Ruben tidak hanya dapat dilihat dari ekspresi wajahnya yang menjadi wadah berkumpulnya berbagai macam emosi namun juga penonton dapat rasakan lewat berbagai “siksaan” yang dihasilkan oleh sound design.

Nicolas Becker, Jaime Baksht, Michelle Couttolenc, Carlos Cortés, Phillip Bladh dan Carolina Santana adalah nama-nama di balik sound department film ini yang saya rasa layaknya mendapatkan tepuk tangan sangat meriah bagi hasil karya mereka di film ini. Dari dentuman musik metal yang begitu keras kamu mendadak langsung dibawa ikut merasakan ketika Ruben merasa ada yang tidak beres dengan telinganya, dari sana kemudian satu per satu muncul sound mixing dan sound editing yang sangat cantik. Saya paling suka saat suara sekitarnya dirasakan oleh Ruben dalam kondisi terdistorsi serta momen saat suara yang masuk ke telinga Ruben kehilangan frekuensi tinggi sehingga terasa teredam.


Suara benar-benar “dipermainkan” dengan sangat cantik yang juga dibantu oleh film editing yang oke dari Mikkel E. G. Nielsen. Kerap kali muncul perpindahan antara kondisi di mana suara on dan suara muted, bersama dengan score yang terasa oke ada kombinasi yang terasa halus dan membuat penonton merasa semakin terjebak lebih dalam lagi bersama perjuangan Ruben itu. Ruben sendiri merupakan sosok yang keras tapi kondisi yang ia alami terutama saat melihat bagaimana ia kehilangan “dunia” yang ia cintai, ada simpati dan emosi yang mumpuni di sana. Darius Marder tidak mencoba memeras terlalu keras untuk bagian ini namun menariknya tetap berhasil meninggalkan punch yang kuat bagi penonton.

Terutama terkait pesan pantang menyerah sebelum mencoba. Ada karakter bernama Joe di sini, ia mungkin terkesan pesimistis tapi justru Joe menawarkan opsi paling realistis yang dapat Ruben ambil. Joe pula yang membuat sikap Ruben terasa cantik karena dia tidak ingin menyesal karena tidak pernah mencoba. Itu yang membuat konklusi jadi terasa hangat tapi tetap kuat, ada aura puas di dalam diri Ruben karena akhirnya dia dapat memutuskan pilihannya tanpa harus takut dihantui rasa bersalah akibat belum pernah mencoba untuk “keluar” dari situasi gelap yang harus dihadapi karena sikap tidak bertanggung jawab yang ia terapkan sebelumnya.


Itu adalah pesan lain yang berhasil disajikan dengan manis oleh Darius Marder yakni bagaimana manusia kerap mudah terperangkap di dalam sikap egois yang ia punya untuk sekedar dapat merasakan sensasi atau kenikmatan yang ia suka, padahal di sisi lain ada potensi luka yang berbahaya. Semua itu ada di dalam diri seorang Ruben yang ditampilkan dengan sangat baik oleh Riz Ahmed, a profound and heartbreaking performance. Di sampingnya ada Paul Raci, punya kesempatan tampil tidak banyak tapi tampil lihai dalam menampilkan emosi Joe di setiap momen yang dia punya. Olivia Cooke tidak punya peran besar dan berfungsi oke sebagai supporter.

Overall, ‘Sound of Metal’ adalah film yang sangat memuaskan. Bersama dengan tim miliknya yang kuat baik itu dari kinerja para aktor hingga departemen teknis di mana sound design menjadi yang paling memukau, Sutradara Darius Marder sukses dalam memberikan penontonnya sebuah “experience” yang terasa memorable, ikut masuk ke dalam situasi panik dan kesulitan karakter utama dengan merasakan bagaimana ia bertarung dengan kemampuan pendengaran yang perlahan mulai hilang. Ini juga sebuah alarm yang manis bukan hanya agar penonton aware dengan bahaya yang dapat mengancam pendengaran mereka tapi juga bahaya yang menanti jika kamu tidak mampu bertanggungjawab atas tubuhmu, atas hidupmu. Such an immersive, innovative, and uplifting drama.








1 comment :

  1. “And the hearing that you have lost is not coming back.”

    ReplyDelete