30 June 2016

Movie Review: The Legend Of Tarzan [2016]


"He is no normal man."

Jika kamu tanya Google berapa banyak film Tarzan yang telah diproduksi maka kamu akan menemukan jumlah yang terhitung besar, dari fitur layar lebar, film animasi, hingga parodi. Pertanyaannya bukan apakah penting atau tidak untuk memproduksi kembali film pahlawan hutan yang dibesarkan oleh para kera yang sudah dilakukan berulang kali namun apakah produk yang dihasilkan tersebut mampu memberikan penonton pengalaman berpetualang bersama Tarzan yang terasa menyenangkan. Ya, sesederhana itu. The Legend of Tarzan, the most recent edition of the apeman adventure with hazy and gloomy swing.

Tumbuh dan berkembang di bawah asuhan Mangani dan para kera lainnya, Tarzan (Alexander Skarsgård) telah lama meninggalkan hutan Afrika dan kini hidup sebagai aristocrat di London dengan nama John Clayton III. Suatu ketika Tarzan diundang kembali Congo Free State sebagai utusan dagang dari House of Commons, namun celakanya Tarzan yang datang bersama istrinya, Jane Porter (Margot Robbie) tidak menyadari bahwa mereka menjadi “alat” dari sebuah rencana jahat yang didalangi oleh koruptor asal Belgia bernama Captain Léon Rom (Christoph Waltz).   



Hal paling impresif di The Legend of Tarzan berasal dari keputusan David Yates dan dua penulis naskah Adam Cozad serta Craig Brewer untuk tidak menaruh fokus terlalu besar pada proses tumbuh dan berkembangnya Tarzan di hutan. Tarzan kini merupakan seorang gentleman yang kemudian harus kembali ke hutan dan menyelesaikan masalah yang menghampirinya. Penyesuaian pada cerita itu menghasilkan narasi yang terasa fresh di awal, alur cerita dibuat standar dan fokus kini diarahkan pada bagaimana agar rasa percaya diri dan tentu saja rasa cinta dari Tarzan dapat menginspirasi penontonnya. The Legend of Tarzan juga seolah membawa banyak misi, dari tragedi, menggambarkan fenomena budaya, menghidupkan fantasi anak-anak, hingga usaha tampil dengan rasa blockbuster. Sayangnya berbagai tujuan tadi tidak menghasilkan kombinasi yang oke.



Setup di bagian awal cukup menarik, keputusan David Yates untuk tidak menghabiskan banyak waktu membentuk kembali dasar cerita asal membuat bagian awal terasa oke. Tapi masalahnya presentasi setelah itu ternyata tidak membawa karakter dan cerita bergerak maju dengan menarik pula. Hampir setengah durasi dihabiskan bagi Tarzan untuk membangun kembali dirinya, mondar-mandir sedikit berlebihan untuk membangun backstory bagi Tarzan. Tidak masalah jika hasilnya oke tapi di sini cerita justru terasa semakin berbelit-belit dan apa yang ingin dicapai oleh The Legend of Tarzan perlahan terasa tidak jelas. Konflik dengan nada politik, peperangan, ketika mereka stuck maka hadirkan hal klise dengan kasus penculikan dan usaha menyelamatkan. Hal-hal yang coba Adam Cozar dan Craig Brewer sampaikan seperti di atas tadi perlahan mati dan menghilang, menjelang masuk ke paruh kedua cerita ketegangan di narasi terasa murung dan suram, yang tersisa hanya Alexander Skarsgård bertelanjang dada.



Dari sana saya mulai sadar mengapa bagian awal terasa oke karena masalah yang berasal dari usaha membangun karakterisasi Tarzan tidak ditumpuk di awal melainkan diurai sepanjang cerita. Alhasil plot terasa sibuk dan sesak, berbagai ide yang ia bawa tadi tidak punya kesempatan untuk mencuri atensi penonton. Seperti sadar dengan hal tersebut David Yates kemudian mencoba mempertahankan nafas  The Legend of Tarzan dengan menggunakan elemen action. Harus diakui beberapa dari elemen action terasa oke, dari peluru hingga aksi akrobat, tapi kehadiran mereka terasa terlambat dan tidak menghasilkan dampak yang besar pada daya tarik cerita yang sudah berubah dari nasi hangat menjadi bubur yang terlalu encer. Akibatnya kombinasi cerita dan elemen action yang tidak banyak yang terasa nendang tadi membuat The Legend of Tarzan terasa menggantung tanpa urgensi.



Ya, The Legend of Tarzan memiliki banyak kekurangan tapi yang paling menjengkelkan dari itu semua adalah bagaimana ia tampil tanpa menghadirkan semangat yang tajam dan mengesankan. Tidak peduli seberapa standar cerita, karakter, dan eksekusi yang penonton inginkan dari Tarzan adalah sebuah petualangan di hutan dengan thrill yang konsisten tampil menyenangkan. Hal penting itu coba ditampilkan oleh David Yates tapi saya lebih suka menghitungnya sebagai absen. Penilaian yang berbeda ada pada elemen teknis, kualitasnya seimbang. Saya suka dengan sinematografi dan score, mereka cukup manis, CGI juga cukup oke. Tidak ada yang benar-benar bombastis di sini tapi film ini punya beberapa eksekusi teknologi motion capture yang oke. Pernah menangani beberapa film ‘Harry Potter’ David Yates oke dalam menciptakan tampilan dan urutan dengan visual effect yang besar meskipun mayoritas dari mereka tidak banyak membantu daya tarik serta pesona dari karakter dan cerita.



Jika menilik kualitas cerita para aktor dan aktris seharusnya mampu untuk setidaknya menjaga rasa antusias penonton pada karakter dan cerita. Ya pada karakter namun tidak pada cerita. Alexander Skarsgård tidak tampil buruk tapi tanpa dibantu dengan urgensi yang menarik pesona dari kesan misterius yang ia bangun bersama sex appeal dengan kesan primitif yang liar tidak bertahan lama sejak cerita berangkat dari sinopsis. Alexander Skarsgård juga sering kecolongan karakter pendukung yang ditampilkan dengan baik oleh para pemerannya. Christoph Waltz adalah ahli dalam memerankan karakter penjahat utama dan meskipun tidak kuat kesan sombong dan creepy dari Léon Rom tidak buruk. Saya tidak punya keluhan terhadap Margot Robbie, sebagai penyeimbang ia membuat Jane sebagai damsel-in-distress yang sensual dan berani, sex appeal miliknya membuat Suicide Squad semakin menarik untuk dinantikan. Yang mengejutkan adalah Samuel L. Jackson (George Washington Williams), mampu menjadi sidekick yang aneh dan menyenangkan.



Kisah Tarzan di dalam hutan seharusnya menjadi sebuah petualangan besar yang mendebarkan. David Yates memang mencoba untuk menghadirkan hal tersebut dengan menampilkan beberapa elemen drama dan mencampur usaha menjadi blockbuster dengan nada cerita yang sedikit serius. Namun meskipun oke dan tampak menjanjikan di bagian awal The Legend of Tarzan tidak tumbuh menjadi petualangan yang semakin menyenangkan justru semakin suram dan tampak kabur. The Legend of Tarzan memang mampu menghadirkan kehebohan tapi kurang mampu untuk terasa benar-benar nendang, ini seperti hanya mengapung di danau tenang bukan bermain arung jeram di sungai dengan track yang menantang. 'The Legend of Tarzan' adalah film Tarzan yang “pincang” tanpa teriakan yang menawan. Dibandingkan dengan The Jungle Book? Sebaiknya jangan.  
















Thanks to rorypnm

11 comments :

  1. Setuju. Harusnya film ini berjudul "The Legend of Tarzan and Friends" soalnya tanpa para "friends", kita akan mati bosan dengan flatnya karakter tarzan. Film ini punya potensi besar mengingat ada margot robbie serta Tarantino's favorites (Chris Waltz dan Samuel Jackson) namun "dibunuh" oleh cerita yang lemah dan karakter tokoh utama yang flat dan suram :(

    ReplyDelete
  2. Film Tarzan emang banyak min. Ada satu yang lupa...film XXX nya juga ada. :D

    ReplyDelete
  3. Wahhh... padahal ekspektasi udh tinggi.. hmmmm semoga nd semengecewakan independence y hohoho

    ReplyDelete
    Replies
    1. Rudy Habibie kalau oke reviewnya hari selasa. :)

      Delete
  4. Review film yg selalu update, sering nonton di bioskop nih kayaknya. Tapi knp gak buat fb page :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masih belum tertarik untuk kembali bermain di sana. :)

      Delete
  5. Tarzan jelekkah.... hadehhh... padahal dah mau buang uang....

    ReplyDelete
    Replies
    1. bagus ko.. bru bs menilai kl sdh nonton sndiri..

      Delete
  6. Penceritaan The Legend of Tarzan mirip dengan Man of Steel dan akhirnya sama kurang gregetnya.
    Padahal adegan aksinya cukup menyenangkan untuk dilihat.

    ReplyDelete