15 December 2021

Movie Review: House of Gucci (2021)

"I don't consider myself to be a particularly ethical person, but I am fair."

Gucci salah satu fashion house yang mendefinisikan the high-flying luxury, sejak didirikan pada tahun 1921 oleh Italian businessman and fashion designer yang kala itu masih sebatas berjualan koper kulit impor di kota Florence, Italia, di balik kesuksesan menjadi simbol wealth, style, and power saat ini, dulu Gucci pernah mengalami masalah bahkan di tahun 1991 hingga tahun 1993 keuangan mereka dalam kondisi buruk, dan jika ditarik lebih jauh kebelakang mereka pernah punya masalah internal dalam bentuk perselisihan antar anggota keluarga dari tahun 1981 hingga 1987. Dua permasalahan tersebut menjadi akar konflik film ini: persaingan, perang keluarga, dan tragedi. House of Gucci’ : an 158 minutes of chaos and when it shines, it shines.


Pertemuannya dengan law student bernama Maurizio Gucci (Adam Driver) mungkin menjadi momen bersejarah bagi Patrizia Reggiani (Lady Gaga), anak tiri pengusaha kaya yang tidak mau kehilangan kesempatan dan secara agresif wanita yang bekerja sebagai manajer di perusahaan sang Ayah itu mengejar dan membuat Maurizio jatuh cinta padanya. Maurizio bukan pria muda sembarangan, ia adalah anak dari Rodolfo Gucci (Jeremy Irons) dan pewaris 50% saham di rumah mode milik sang Ayah, Gucci. Rodolfo tidak setuju dengan hubungan anak itu karena yakin Patrizia merupakan seorang gold digger dan social climber yang hanya menginginkan harta keluarganya. Meski demikian Maurizio dan Patrizia menikah, mereka pindah ke New York City.

Maurizio memilih Patrizia, meninggalkan keluarganya dan tidak takut pada ancaman sang Ayah yang akan mencabut hak waris Maurizio. Tapi faktanya penilaian Rodolfo pada Patrizia benar, tidak heran kehamilannya Patrizia pakai untuk merekonsiliasi hubungannya dengan keluarga Gucci. Cara yang ia pakai adalah dengan meraih hati paman Maurizio, Aldo (Al Pacino) yang pasca mengetahui kabar kehamilan Patrizia mendukung hubungan keponakannya itu. Patrizia juga berteman dengan anak Aldo yang kurang pintar, Paolo (Jared Leto), dan perlahan rencananya tadi mulai berhasil, hubungan Maurizio dengan keluarganya perlahan membaik. Tapi tentu saja rencana Patrizia tidak sebatas meraih hati Rodolfo, ia ingin “memiliki” Keluarga Gucci.

Tahun 2017 yang lalu Sutradara Ridley Scott merilis dua buah film sekaligus, ‘Alien: Covenant’ kemudian disusul ‘All the Money in the World’ dan selang empat tahun kemudian juga merilis dua film, yakni ‘The Last Duel’ dan film ini. Menariknya ada satu kesamaan di antara tiga film terakhir Ridley Scott yaitu mengambil cerita dari buku yang berkisah tentang tokoh “sejarah”, historical material yang bahkan terus berlanjut on his next project, a biopic of Napoleon Bonaparte berjudul ‘Kitbag’ yang mungkin akan kembali menaruh fokus serupa, yakni violent conflicts. Kali ini Ridley Scott bermain dengan nama yang lebih gemerlap, potret keluarga rumah mode Italia ternama yang lantas ia gunakan untuk bercerita tentang banyak hal, dari glamor dan keserakahan hingga kegilaan dan pembunuhan yang dikemas secara glossy.


Di House of Gucci kamu akan dibawa masuk oleh Ridley Scott bertemu konflik yang berurusan dengan kejahatan di dunia orang-orang super kaya, mencoba menginfeksi penonton dengan kehidupan glamor berkilauan ala the Gucci Gang. Memang tetap ada pakaian atau kostum menggugah dan memanjakan mata karya costume designer Janty Yates di sini tapi konflik terkait manajemen dan intrik bisnis hanya menjadi topik yang terasa kering. Posisi terdepan justru diisi oleh crime drama, bahkan juga thriller, impresi yang terasa kuat di awal tapi sayang semakin jauh narasi berjalan semakin blur pula fokus utamanya, ingin menjadi apa sebenarnya film ini? Potret sebuah keluarga mode yang disfungsional exist sebagai pusat cerita tapi perputaran konflik bertendensi sebatas hanya ingin bermain santai. Like, nothing serious, just fun. 

Nah, di sana letak sisi menarik film ini yang jelas membuat cerita jadi tersegmentasi. Sebuah crime drama tentu merupakan ekspektasi awal saya tapi saya tidak pernah menduga narasi film ini akan dimainkan oleh Ridley Scott layaknya sebuah sinetron, a megalomaniac soap opera. Menariknya hal tersebut justru kemudian jadi kekuatan terbesar film ini, mereka yang mampu dan mau untuk ikut berjalan bersama elemen absurd dan mengabaikan pendekatan dengan tone serius akan lebih mudah untuk menikmati kisah yang berpusat di Patrizia dan Maurizio, pasangan kekasih yang di awal tampak bahagia. Apa yang awalnya tampak seperti sebuah eksplorasi terhadap the Gucci dynasty justru perlahan tapi pasti mulai kurang berminat untuk menggali masalah, mereka berputar bebas dengan bumbu dramatisasi yang tidak buruk.


Kamu bisa skip film ini jika niatnya ingin mengetahui sesuatu tentang model bisnis di dalam kerajaan fashion Gucci, karena sejak awal hingga akhir Ridley Scott sangat bertumpu pada proses rekonstruksi kasus pembunuhan, dia bermain di permukaan dan mengandalkan eksploitasi ketimbang eksplorasi. Sebuah keputusan yang sangat disayangkan memang apalagi script yang ditulis Becky Johnston bersama Roberto Bentivegna tampak antara enggan atau malas untuk menjadikan cerita jadi sedikit lebih rumit, justru menjejali cerita dengan opera yang terasa klise. Tapi di sisi lain Ridley Scott jadi punya ruang luas untuk memainkan karakter superstar miliknya di dalam playful madness, menciptakan “chaos” yang absurdly exaggerated but when it shines, it shines. Andai saja bisa diarahkan Ridley Scott lebih stabil dan seimbang lagi. 

Andai saja bisa lebih terkendali mungkin kisah cinta dengan bumbu korupsi dan perselingkuhan ini bisa konsisten pesonanya, tidak naik turun demi mengakomodir hasrat untuk mendramatisir konflik sehingga tiap karakter dapat melakukan yang mereka mereka inginkan. Penonton tidak disajikan ekposisi secara detail dan ketika drama “hilang” karena doesn't go into depth di sana saga perlahan mulai terasa lost and loose, and can be irritated. Saya tidak asing dengan dramatisasi seperti ini dan perputaran konflik faktanya juga memang tidak buruk kualitasnya, tapi di sisi lain terasa sedikit sulit bagi saya untuk merasa “terlibat” di dalam cerita. Dramatisasi tidak buruk, lagi, tapi kuantitasnya terasa sedikit berlebihan sehingga tiap elemen cerita termasuk aksi scheming jadi terasa kurang compact.


Tapi apakah ini membosankan? Tidak, di balik kekurangannya ‘House of Gucci’ tetap punya momen kuat dan bersinar, mayoritas berasal dari acting performances para aktornya. Adam Driver tampil oke sebagai satu-satunya karakter yang bisa dikatakan paling “normal” di antara karakter lain, kinerja akting yang humble di antara chaos di sektor ini. Al Pacino, Salma Hayek, dan Jeremy Irons menjalankan tugas mereka dengan baik sedangkan dibantu make-up memikat Jared Leto mencuri perhatian tiap kali karakter Paolo muncul. Mereka adalah kelompok absurd yang disatukan oleh Lady Gaga, aksennya memang tidak sekuat personanya dalam membentuk aksi licik Patrizia tapi jelas on screen presence darinya terasa sangat kuat, mendominasi layar setiap saat karakternya muncul.

Overall, ‘House of Gucci adalah film yang cukup memuaskan. Ini adalah salah satu film rilisan tahun ini yang meninggalkan saya rasa kesal, bukan karena kualitasnya yang buruk tapi menyayangkan eksplorasi terhadap the Gucci dynasty yang penuh absurdly exaggerated and playful madness ini seharusnya bisa lebih baik lagi andai dapat dikemas secara glossy pula pada cerita dan narasi. Good chaos, lost and loose, kisah keluarga disfungsional ini merupakan sebuah megalomaniac soap opera, sinetron dengan “chaos” yang oke namun terasa kurang seimbang dan compact meski punya momen kuat dan bersinar yang mayoritas berasal dari acting performances para aktornya, terutama Lady Gaga. Not a bad high-end soap opera, not great either. Segmented. 





1 comment :