05 December 2016

Review: Paterson [2016]


"Without love, what reason is there for anything?"

Terdapat sebuah quote yang menarik dari Misaeng, yaitu “life is an endless repetition, only those who don’t get tired of repetition can be successful.” Pasti ada mereka yang tidak setuju tapi jika dilihat secara luas seperti itulah kehidupan setiap manusia, kamu bangun, mandi, makan, beraktivitas, hingga kembali makan, mandi, lalu tidur. And repeat. Lingkaran tadi itu masih bisa terasa indah tapi dengan syarat harus kamu isi dengan ‘dream’, jika tidak maka kamu akan terjebak dalam rutinitas yang monoton. Setelah bermain dengan para vampire di karya terbarunya ini, Paterson, Jim Jarmusch mencoba bercerita tentang hal tersebut tentu saja masih dengan teknik “dreamy” andalannya. Feels like ‘Room’ meets ‘Moonrise Kingdom’ and a horror for everyday life, it’s an empowering tragicomedy.

Paterson (Adam Driver) merupakan seorang supir bus di sebuah kota dengan jumlah penduduk sekitaran 145.000-an jiwa bernama, Paterson. Rutinitasnya selalu sama baik itu pada saat sedang bekerja lalu kembali pulang untuk bertemu Laura (Golshifteh Farahani), istri tercintanya yang sedang hamil, serta anjing kesayangannya Marvin. Pada malam hari ia berjalan dengan Marvin lalu minum segelas bir, kemudian pulang untuk beristirahat sebelum kembali melakukan aktivitas yang sama keesokan harinya. Laura merupakan kebalikan dari Paterson, mencintai black and white ia gemar mendekorasi apartement mereka, wanita yang suka bermain gitar itu memiliki ambisi yang lebih besar ketimbang sang suami. 


Sepintas sinopsis di atas tadi terasa simple bahkan cukup dangkal tapi di sana justru terdapat semangat yang terasa menarik, semangat tentang kehidupan yang coba ditampilkan oleh Jim Jarmusch. Terdapat silent passion di dalam cerita yang Jim Jarmusch tampilkan secara minimalis. Paterson ditempatkan di posisi sebagai “wrong” di dalam cerita sementara di sisi lain Laura dengan segala ambisinya itu berada di sisi “right”. Kondisi itu jika dinilai secara garis besar saja karena kemudian mereka coba dikombinasikan oleh Jim Jarmusch sebagai tim yang saling melengkapi with poem, mood, and repetition as a key. Saya suka karakter Laura di sini, dia seperti Fabienne for Butch di ‘Pulp Fiction’, Laura memberikan kasih yang tulus untuk sweetened Paterson’s life, menjadi gula dalam kehidupan Paterson yang terasa poetic itu. Paterson sendiri merupakan sosok yang tidak sulit untuk ditemukan di kehidupan nyata, sosok yang sederhananya mencoba menghindar dari dramatic conflict di dalam kesehariannya. 


Hal tadi tidak salah tapi bukankah dengan begitu hidup jadi terasa monoton? Itu yang Jim Jarmusch terus asah di sini tapi tidak dengan narasi yang terasa monoton. Salah satu hal “berbeda” yang Paterson lakukan selain “lingkaran” itu adalah ia gemar menulis puisi, he’s so calm and looks like unshakable, tapi di balik ekspresi yang ia tunjukkan terdapat sebuah kisah yang terasa tragis. Saya tidak mengatakan mereka yang memilih menjalani kehidupan secara aman dan nyaman seperti Paterson ini melakukan kesalahan, but for me hidup harus punya excitement yang membuatnya terasa exciting. Di sini Paterson menunjukkan bahwa dia pria yang harus mencoba melakukan sesuatu radikal karena ia seolah memiliki sebuah kerinduan yang ingin ia lakukan, sebuah mimpi yang belum ia raih meskipun dia tampak bahagia dengan kehidupan yang kini ia jalani. Itu mengapa meskipun ceritanya tragic ‘Paterson’ kerap terasa lucu, Jim Jarmusch membuat ini terasa ambigu, is this supposed to be funny or sad? 


Di sini meskipun berada di sisi “wrong” tapi Paterson tidak dibuat agar tampak seperti losers oleh Jarmusch, dia lebih tepatnya merupakan contoh dari manusia yang mencoba mengejar mimpi mereka but they never realize them. Awalnya ‘Paterson’ harus diakui memang terasa bumpy karena cerita masih terasa sangat simple tapi semakin lama kisah Paterson yang ekspresif tadi semakin terasa powerful, semakin banyak kita tahu tentang cerita semakin kuat impact dari setiap lines yang hadir. Itu dapat tercapai juga berkat staging dari Jim Jarmusch, dreamy and also poetically, secara konstan cerita seperti bertransisi antara kehidupan yang indah dan kehidupan yang ordinary, terkadang terasa dingin, terkadang terasa lucu, dan terkadang terasa annoying tapi manis. Jarmusch generates an utopian harmony here bersama narasi yang terasa slow and gentle who unfolds its own with irresistible charm, sama seperti visual yang relaxed tapi juga ringkas dalam mendukung karakter untuk tampil memikat. 


Selain eksekusi pada cerita dan bagian teknikal Jim Jarmusch juga berhasil membentuk karakter dengan sangat baik. Sebenarnya karakter dapat dikatakan menjadi salah satu kunci penting sehingga ‘Paterson’ dapat meraih target karena cerita yang simple itu meskipun terus mengikat perhatian tapi harus diakui terkadang terasa minim urgensi. Di awal saya menyebut 'Moonrise Kingdom' karena menyaksikan Paterson dan Laura mengingatkan saya ketika menyaksikan Suzy dan Sam, mengandalkan poetic perception yang terasa complicated in its simplicity. Golshifteh Farahani tampil baik sebagai Laura, wanita penuh energi with such a big heart dan mampu menjadi pendamping yang oke buat Paterson. Paterson sendiri diperankan dengan sangat baik oleh Adam Driver yang berperan sebagai driver bernama Paterson di Paterson di film berjudul Paterson. Probably best role yang ia punya hingga kini, Adam mampu membuat Paterson terasa charming di balik passivity, seperti tidak pernah merasakan tekanan hidup tapi secara poetic membuat kisahnya terasa absorbing, he’s lonely but lovely dan perlahan membuat matanya menjadi mata penonton. 


‘Paterson’ terasa seperti sebuah puisi tentang everyday life, sebuah penggambaran dengan rasa surrealisme dan casual dari Jim Jarmusch tentang over-arching beauty di dalam kehidupan manusia. Terasa simple dan juga tenang memang tapi di balik banalitas itu terdapat sebuah character study dengan kombinasi normal dan aneh yang terasa irresistible charming, the more you think about it the more you’ll love it. Berkisah tentang modern man dan kecintaannya pada art, berada di antara komedi aneh dan dreamy melancholy, ‘Paterson’ merupakan emotionally touching homage to poetic perception, an empowering tragicomedy. Sama seperti karakter utamanya film ini terasa complicated in its simplicity, it’s a horror to the people and their everyday life. Segmented. 










0 komentar :

Post a Comment