16 April 2016

Review: High-Rise [2016]


"The ones who are the real danger are the self-contained types like you."

Bumi kini dihuni oleh 7,4 milyar manusia, dan pada tahun 2020 diprediksi 60% dari populasi di bumi akan menjadi warga urban. Masing-masing akan memperbaiki kualitas diri mereka, masing-masing akan menaikkan ambisi mereka, dan mungkin kekhawatiran peradaban manusia akan jatuh dan “kerusakan” dengan cepat menyebar seperti wabah akan segera terjadi. Potensi dari prediksi tadi coba ditampilkan oleh High-Rise ke dalam gedung setinggi 40 lantai, strata sosial menjadi medan perang yang dikemas dengan rasa Stanley Kubrick. The Towering Inferno meets Snowpiercer. Funny and clever.

Setelah adik perempuannya meninggal dunia seorang ahli fisiologi bernama Dr. Robert Laing (Tom Hiddleston) pindah ke lantai 25 yang berada di bagian tengah sebuah apartemen mewah, High-Rise. The high-rise merupakan kompleks rancangan arsitek Anthony Royal (Jeremy Irons) sebagai upaya menyatukan berbagai kelas masyarakat bersama-sama, memberikan penyewa semua kemudahan dan komoditas kehidupan seperti kolam renang, sekolah, hingga gym dan supermarket. Terisolasi dari dunia luar satu-satu kepentingan penghuni untuk keluar dari high-rise adalah hanya untuk bekerja. Keunikan high-rise tidak hanya sifatnya yang tertutup namun juga penerapan sistem kelas, semakin kaya penghuni semakin tinggi pula posisi lantai yang dapat ia huni, hal yang mengundang lahirnya sifat buas dari penghuninya. 



Impresi awal yang diberikan oleh High-Rise adalah menakutkan, cara Ben Wheatley (Kill List, Sightseers, The ABCs of Death, A Field in England) membentuk konsep tentang stabilitas tatanan sosial sangat mampu mewakili apa yang kini banyak kita temukan di dunia nyata. Kisah yang berdasarkan novel dengan judul sama karya J.G. Ballard ini seperti yang saya sebutkan di awal tadi ingin bercerita tentang jatuhnya peradaban tapi yang menyebabkan High-Rise mudah untuk diterima adalah ia membuat tujuan itu agar tidak menghalangi rasa “free” ketika ia bercerita. Simpati hingga etika yang hilang, kontrol yang tidak lagi kuat dan pertempuran untuk meraih kemenangan, semua itu berhasil dikonversi kedalam gedung-gedung tinggi, isu diarahkan dengan bobot yang pas namun perang antar kelas akan memberimu ledakan-ledakan yang tidak kalah panas. 



Hal paling menarik dari High-Rise sebenarnya bukan terletak di konsep yang sejak sinopsis akan mengingatkan kamu dengan rilisan terbaru Snowpiercer, namun cara ia membuat cerita seperti naik perlahan untuk kemudian pecah di puncak. Ya, build-up adalah hal terbaik dari film ini. Kita punya sindiran terhadap kondisi sosial, dari hak istimewa, materialisme, hingga kegembiraan dan kebiadaban serta aksi anarki, kita juga diberikan argument dasar tentang kesetaraan yang kemudian berkembang ke berbagai arah, tapi ketika disampaikan ke penonton mereka kental dengan kesan sarkasme sehingga tidak terasa frontal dan menggurui malah terasa fun. Kombinasi itu yang menyebabkan sulit untuk meletakkan film ini di satu kelas atau genre, ia sci-fi dengan bumbu drama serta misteri tapi penyampaian isunya ada rasa art-house meskipun tidak mendominasi karena elemen action dan thriller juga tampil sama baiknya.



Ketegangan yang terus meningkat jadi kunci penting film ini untuk mengikat penonton, dari dimulai dengan perlahan konflik dibangun dengan cermat tanpa membatasi interpretasi penonton. Tidak heran berbagai isu yang disederhanakan dengan cara membuat beberapa tingkatan yang terpisah itu terus mampu menghadirkan kegelisahan yang menarik, meskipun sering bergantung pada montase cerita tidak pernah stuck dan terus melangkah maju. Cara Ben Wheatley menempatkan penonton seolah sedang mengamati kekacauan juga terasa padat, berbagai kejutan bekerja dengan baik seperti halnya elemen teknis yang juga selalu mampu mencuri atensi. Visual High-Rise menyenangkan, fotografi memiliki komposisi framing yang manis. Desain produksi juga mampu menciptakan “perbedaan” yang terdapat di dalam cerita, dan penggunaan selingan musik juga berhasil klop dengan baik kedalam atmosfir cerita.



Walaupun begitu High-Rise punya kelemahan yang dapat dikatakan punya peluang cukup besar untuk mengganggu. Saya sendiri tidak begitu mempermasalahkan hal ini tapi harus diakui pesona karakter di luar Robert Laing sering hilang dan datang. Pesona karakter sebenarnya memiliki peran penting terhadap kekacauan dan pesta pora yang High-Rise tampilkan karena ini berkaitan dengan eksistensi karakter di dalam cerita. Terkadang sulit untuk merasa peduli terhadap eksistensi dari beberapa karakter di samping karakter kunci Robert Liang. Kesan absurditas juga  punya potensi mengganggu dengan membuat penonton menjadi merasa bingung, jika penonton tidak klik dengan imajinasi yang ingin High-Rise tawarkan bukan tidak mungkin ini akan berakhir sebagai hiburan konyol bagi mereka. Oh, final punch terhadap isu utama juga tidak segila kegilaan yang film ini berikan sebelumnya.



Namun sekali lagi, itu minus minor meskipun besar kemungkinan untuk menjadi sesuatu yang mengganggu bagi beberapa tipe penonton. High-Rise merupakan tipe film ini menuntut penonton untuk mengamati tapi juga “engage” dengan apa yang terjadi di dalam cerita, dan meskipun dari segi cerita ada beberapa lubang seperti tadi tapi kualitas akting tidak menghadirkan hal serupa. Lima pemain utama, Tom Hiddleston, Jeremy Irons, Sienna Miller, Luke Evans, dan Elisabeth Moss, mereka tampil baik. Moss berhasil menjadi ibu rumah tangga yang sedang “terperangkap”, Irons berhasil menjadi “Tuhan” yang mengunci perhatian, Miller selalu berhasil memberikan rasa segar dengan sikap usil karakternya, dan Evans tampil sebagai martir yang begitu meyakinkan dengan tatapan dinginnya. Bintang utamanya tentu saja Tom Hiddleston, tatapan matanya seperti berbicara tentang cinta dan bahaya, Dr. Robert Laing memiliki pesona delusi yang menarik namun tetap terasa karismatik.



Meskipun not for all tastes dan a bit style over substance High-Rise berhasil memberikan sebuah pengalaman menarik menyaksikan kisah tentang “kematian” umat manusia dengan pendekatan layaknya sebuah puisi yang absurd. Ini seperti Snowpiercer di dalam gedung apartemen, sebuah alarm bagi manusia bahwa sumber dari kepunahan yang menanti mereka berasal dari kegagalan yang mereka ciptakan sendiri. Menggunakan pemberontakan antar kelas dengan dipenuhi sindiran sosial, dari harta, tahta, seks, obsesi, ambisi, hingga melahirkan kekacauan, tidak lupa membuat penonton bergembira bersama visual yang manis dan aksi anarkis yang liar, dibantu dengan arahan yang terkendali dari Ben Wheatley serta kinerja cast yang oke, High-Rise berhasil menjadi sebuah film dystopian yang pintar dan lucu. Segmented.





















Thanks to rory pinem

1 comment :