14 December 2021

Movie Review: Yuni (2021)

“Hidup mana sih yang ngak susah? Semua ada susahnya masing-masing.”

“Dih, anak perempuan ngak perlu sekolah tinggi-tinggi, nanti juga cuma ngurus rumah ajah”, begitulah kira-kira kalimat yang dulu pernah melintas di depan saya ketika kuliah. Dalam hati kala itu ingin mencoba menyanggah kalimat tersebut tapi di sisi lain saya justru tertawa geli di dalam hati, karena pernyataan itu berasal dari seorang wanita kepada keponakannya sendiri. Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, tapi apakah wanita hanya sebatas “pembantu” bagi suaminya dan cukup fokus hanya pada tiga hal penting di rumah: sumur, dapur, dan kasur? Film ini menjadi suara bagi sebuah pemikiran bahwa posisi perempuan tidak lebih rendah dibandingkan laki-laki, to be the beginning of a conversation about the root cause of gender inequality. ‘Yuni’ : a thought-provoking coming-of-age drama. 


Yuni (Arawinda Kirana) merupakan siswi sekolah menengah atas yang pintar, tidak heran jika kemudian ia coba dituntun oleh gurunya yang bernama Bu Lies (Marissa Anita) untuk mempersiapkan diri demi meraih beasiswa. Yuni merasa kesempatan itu sebagai pintu untuk mewujudkan impian terbesarnya, yakni melanjutkan study ke bangku kuliah. Dibandingkan teman-teman seangkatannya seperti Nisa (Vania Aurell) maupun Sarah (Neneng Wulandari), Yuni memang punya visi yang jelas pada masa depannya, ia ingin mencoba banyak hal, tapi rintangan mulai datang silih berganti, tidak hanya berasal dari “penyakit ungu” dan kelemahannya pada pelajaran Bahasa Indonesia saja, yang membuat Yuni dilatih oleh Pak Damar (Dimas Aditya).

Masalah itu datang dari beberapa orang pria yang ternyata menaruh hati pada Yuni, bukan hanya pria pemalu bernama Yoga (Kevin Ardilova) saja, teman masa kecil Yuni penjaga counter handphone, tapi juga dari pria-pria yang “asing” bagi Yuni. Beban seperti mendadak bertumpuk di pundak Yuni, ia menjadi galau untuk menentukan masa depannya. Aksi Yuni menjadi pembicaraan orang-orang di lingkungannya, sang Nenek (Nazla Thoyib) mengingatkan mitos bahwa perempuan pantang menolak dua kali lamaran sementara Ibu (Nova Eliza) dan Ayah (Rukman Rosadi) tidak mau Yuni terbebani akan hal itu. Yuni lebih mementingkan untuk menggapai cita-citanya, tapi tiba-tiba pilihannya tidak lagi menarik dan menjadi beban pikirannya.

Saya yakin kalimat pertama di atas tadi juga pernah kamu dengar dan temukan di kehidupan sehari-hari, mungkin konteks dari pernyataan tersebut akan menjurus ke arah bercanda tapi faktanya masih sangat mudah pula menemukan orangtua yang memutuskan menikahkan anak-anak mereka yang masih berusia muda, kebanyakan adalah anak perempuan. Hal tersebut terjadi di film ini, satu karakter mengatakan “pernikahan itu hal yang baik, masa mau nolak rejeki” dan ketika ditanya nanti akan jadi apa setelah menikah muda opsinya juga banyak, bisa kerja di pabrik, mengajar di PAUD Bu Ida, sedangkan kisah TKW dan Hong Kong juga jadi semacam opsi lain. Gadis remaja potensial terancam kehilangan masa depannya, begitulah situasi Yuni, dia bahkan diingatkan untuk tidak duduk di depan pintu, agar tidak sulit jodoh.

 

Menaruh obsesi pada berbagai hal yang berwarna ungu, Yuni sedang mencari jati dirinya, dia ingin mencoba banyak hal tapi terhalang ekspektasi budaya dan gender di lingkungannya. Bagi keluarga dan teman-temannya pernikahan merupakan pintu masuk ke dalam kehidupan baru yang aman dan terjamin, sebuah berkah, tapi bagi Yuni itu membatasi kebebasannya untuk mengejar mimpi dan ambisinya. Bersama dengan Prima Rusdi di sini Sutradara Kamila Andini menggunakan puisi legendaris dari Sapardi Djoko Damono berjudul "Hujan Bulan Juni" sebagai jangkar yang cantik, hujan jatuh pada musim yang tidak tepat dan Yuni menjadi pengejawantahan itu, seorang gadis remaja yang masih mencari tahu apa yang ingin dia lakukan dengan hidupnya namun justru dipaksa untuk “mekar” di saat yang belum tepat. 

Hal terakhir tadi disajikan secara cantik oleh Kamila Andini, dalam durasi dua jam berbicara tentang banyak hal dengan bertumpu pada arti menjadi perempuan. Yuni bertemu dan terjebak di dalam berbagai superstisi padahal dia berada di usia yang membutuhkan dukungan saat mencari tahu apa yang ingin dilakukan di masa depan. Sebagai sebuah kisah coming-of-age kita dibawa melihat karakter belajar tentang hidup, bukan lewat kesalahan tapi lebih kepada penyesalan karakter. Yuni sendiri di tempatkan sebagai observer, mengamati plus dan minus dari aksi yang telah diambil oleh orang-orang di sekelilingnya, dan dari sana ia belajar. Temannya yang menikah dan sudah hamil bukan tempelan belaka, menikah muda dan merasakan kekerasan dalam rumah tangga yang dialami Suci merupakan sari pelajaran bagi Yuni.


Itu mengapa sedari awal Kamila Andini membentuk perjuangan Yuni bukan sebagai perjuangan untuk mengubah society secara paksa namun usaha membebaskan diri karakter utama, to put your own liberty more than warisan budaya di dalam suatu komunitas. Memang ada budaya yang patut untuk dilestarikan namun akibat invasi yang jadi bagian dari proses globalisasi wajar jika muncul pergeseran di sana, salah satunya adalah kondisi sosial yang erat dengan tradisi patriarki dan konservatisme agama yang kerap menghalangi remaja wanita untuk menjadi dirinya sendiri. Tidak ada karakter jahat di sini, bahkan para pria yang menyukai Yuni, sedangkan di sisi lain banyak karakter ingin yang terbaik terjadi di dalam hidup Yuni, yang harus Yuni lakukan memenuhi rasa ingin tahunya dan menentukan jati dirinya sendiri.

Itu membuat ‘Yuni’ begitu mudah menyentuh emosi penontonnya karena agendanya bukan untuk mengeksploitasi kondisi society namun mengamati peran gender yang sempit yang di dalam masyarakat dengan merangkul rasa frustrasi Yuni. Penonton memang dibuat terkejut ketika Kamila Andini dibantu Cinematographer Teoh Gay Hian menangkap lekuk tubuh Yuni di bagian awal tapi upaya menunjukkan sikap berani karakter utama itu dilanjutkan dengan pendekatan yang intim dan membuat penonton secara bertahap semakin peduli dengan Yuni. Frustasi Yuni adalah frustasi penontonnya, Kamila Andini sajikan dalam bentuk sebuah proses yang meskipun memang terasa sedikit jumpy di beberapa bagian tapi tetap compact, semua berkat hadirnya sensitifitas yang manis dengan kesan authentic yang cantik.


Dan hal yang membuat saya bergumam “wow” ketika hujan turun membasahi Yuni di bagian akhir meski terlihat sederhana tapi terasa seperti ada teriakan kebebasan di sana, teriakan keras yang bersembunyi di bawah kulit dan tatapan mata seorang wanita muda yang bersatu dengan hujan, anomali penting di dalam cerita yang tidak takut untuk “keluar” meski ia sadar waktunya tidak tepat. Begitupula dengan Yuni, tanpa kekacauan emosional menunjukkan telah dapat menerima hal buruk dan baik di dalam hidupnya, menyadari bahwa setiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, semua ada susahnya masing-masing. Dan Yuni memutuskan untuk menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri, such a lovely message ditemani barisan puisi yang menawan serta bahasa visual yang terasa empowering.

Alasan mengapa begitu mudah rasanya hanyut di dalam perjuangan Yuni karena kita diberi akses yang mudah untuk “masuk” ke dalam kehidupan Yuni. Penonton tidak hanya mengamati tapi juga ikut menjadi Yuni, melihat dunia yang “unik” itu lewat mata Yuni yang dibentuk dengan sangat baik oleh Arawinda Kirana. My God, sejak awal hingga akhir Yuni merupakan sosok dengan magnet emosi yang konsisten kuat, magnificent performance yang Arawinda Kirana tangani dengan penuh percaya diri, membuatnya terlihat mudah padahal Yuni tidak sesederhana itu, kombinasi antara ambisi penuh optimisme dengan gadis polos dan takut mewarnai gejolak batin Yuni dan semuanya ditampilkan oleh Arawinda Kirana dengan berani tanpa terkesan berlebihan. Di sisi lain ada Kevin Ardilova yang tampil oke menunjukkan sikap kikuk Yoga, Marissa Anita adalah guru yang bersahaja, sedangkan Dimas Aditya membuat punch yang hadir dari Pak Damar terasa impactful and memorable.

Overall, ‘Yuniadalah film yang memuaskan. Sebuah coming-of-age yang engaging dan thought-provoking dari Kamila Andini, Yuni adalah hujan bulan Juni yang turun di waktu yang dianggap salah, ia “mekar” di saat yang belum tepat. Bertumpu pada arti menjadi perempuan dilengkapi dengan stigma dan warisan budaya di Indonesia, serta ditunjang dengan kinerja akting mumpuni terutama dari Arawinda Kirana, secara lugas tapi disertai sensitifitas yang manis dengan kesan authentic yang cantik Kamila Andini berhasil menyajikan penggambaran tentang kebebasan perempuan dalam menentukan nasib dirinya sendiri lewat usaha Yuni “membebaskan diri”, memenuhi rasa ingin tahunya dan menentukan jati dirinya. Jangan pernah biarin orang bilang kamu tidak boleh bersuara.






1 comment :

  1. "Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
    Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu."

    ReplyDelete