20 November 2021

Movie Review: Passing (2021)

"I'm beginning to believe that no one is ever completely happy, free, or safe."

Bagian pembuka sebuah film, tentunya di luar opening credits yang berisikan daftar production companies dan anggota penting lain, merupakan “kata pengantar” film tersebut, bagian yang harus digunakan sebaik mungkin agar dapat meraih perhatian serta membuat penonton merasa tertarik, lalu ingin tahu dan penasaran seperti apa kelanjutan dari bagian pembuka tersebut. Film yang diproduksi dalam kurun waktu kurang dari satu bulan ini dapat dikatakan merupakan salah satu film di tahun 2021 dengan bagian pembuka paling menarik yang telah saya tonton sejauh ini, kemudian bergulir menjadi drama yang mempertahankan kesederhanaannya ketika berbicara tentang sesuatu yang tidak sederhana. Passing’ : an agile presentation about identity acceptance.


Irene Redfield (Tessa Thompson) dan Clare Kendry (Ruth Negga) saling kenal satu sama lain ketika masih kecil, namun kemudian terpisah. Sebagai wanita dewasa kini mereka dipertemukan kembali secara tidak sengaja, membawa kembali pula situasi canggung yang dulu tampak telah eksis di antara mereka, semakin kuat ketika Irene yang merupakan seorang light-skinned black woman living in Harlem mengetahui bahwa Clare yang “sama” dengannya ternyata telah mengajukan diri dan dianggap layak (pass) diterima di kelompok masyarakat kulit putih. Clare yang telah menikah dengan pria kulit putih, John Bellew (Alexander Skarsgård), memiliki ambisi besar dalam hidupnya dan akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya, bahkan jika itu terpaksa harus menyakiti orang lain.

Impresi awal Irene terhadap John tidak positif setelah pria tersebut secara terbuka merendahkan kaum African-Americans, yang merupakan latar belakang ras Istrinya sendiri. Clare sadar pertemuan itu berakhir canggung dan tidak ingin hubungannya dengan Irene kembali terputus, mencoba untuk memperbaiki persahabatan dengan Istri dari Dokter berkulit hitam bernama Brian Redfield (André Holland). Clare juga kemudian mengakui pada Irene bahwa ia sebenarnya rindu dengan latar belakang African-American miliknya, hal yang membuat Irene mengundang Clare ke sebuah jazz club bersama Brian dan teman mereka, Hugh Wentworth (Bill Camp). Tapi acara tersebut menjadi titik awal Irene menjadi paranoid setelah ia melihat ada chemistry yang ganjil di antara Clare dan Brian.

Tentu ada pertanyaan menarik tiap kali seorang aktor atau aktris kemudian mencoba masuk ke dalam kategori yang bukan keahlian utamanya, yakni menjadi Sutradara. Genre apa yang akan ia sajikan? Bagaimana hasil akhir debut penyutradaraannya? Satu dari beberapa nama di tahun ini yang sukses menarik perhatian dan membuat penasaran adalah Rebecca Hall, baru membintangi Godzilla vs. Kong dan memberi satu acting performance yang kuat di The Night House, mengejutkan mendapati Rebecca justru memilih untuk mengadaptasi novel berjudul sama karya Nella Larsen ketimbang mencoba mengarahkan orientasinya pada sesuatu yang lebih komersial. Dahi saya semakin mengernyit ketika sadar bahwa isu yang coba disajikan Rebecca Hall di sini adalah tentang ethnic identity.


Lebih spesifik lagi yakni tentang orang keturunan berkulit gelap yang lantas dapat berpindah atau “melewati” batas dan masuk ke dalam kategori yang berbeda dari warna asal kulitnya, dalam hal ini menjadi golongan white people. Jangankan bicara terlalu jauh tentang bagaimana kisah ini merupakan bagian dari Harlem Renaissance tentang penggambaran upaya pencarian identitas, dari kulit luarnya saja film dengan label “tentang black people” mayoritas dikomandoi oleh Sutradara yang berasal dari black people juga. Fakta bahwa seorang white woman mencoba menceritakan kisah dari kategori itu saja sudah terasa sulit sejak awal, tapi ternyata ada alasan menarik di balik keputusan Rebecca Hall memilih subjek yang tidak mudah tersebut.

Passing dikemas oleh Rebecca Hall untuk tidak sekedar mengulik tentang fenomena di masa lalu saja namun juga mempertanyakan apa yang sebenarnya mendefinisikan identitas, the complexity of racial identity. Selama ini lebih mudah menemukan film yang mencoba berbicara isu serupa dengan menempatkan satu pihak sebagai korban sedangkan di sisi lain pihak lain berperan seolah menjadi penindas, tapi di sini hal tersebut tidak mendominasi. Memang ada karakter Brian yang sesekali kita bisa lihat mencoba untuk membangun “doktrin” pada anaknya, cukup oke dalam membakar isu utama serta menyokong gesekan pada konflik utama. Spotlight diarahkan pada bagaimana gejolak batin dan moral dua karakter utama pada keputusan mereka dan dampak yang tercipta dari sana, hal yang membuat narasi jadi menarik.


‘Passing’ pun sukses menjadi sebuah debut penyutradaraan yang mengejutkan, Hall yang mengatakan merasa sangat “terikat” dengan novel Passing setelah mengetahui bahwa her grandfather was African-American and he passed white for most of his life, berhasil menata dengan baik topik utama dengan sensitifitas menarik. Artfully executed, ceritanya terdengar tidak masuk akal memang pada awalnya namun opsi “pindah” sisi menunjukkan bahwa there is not just black and white, dikonstruksi agar tampak seperti opsi bagi mereka yang ingin melindungi diri dan bertahan hidup di dalam society tapi juga menjadi proses to find a place for yourself, with your own happiness. Saya suka karena cerita Hall kembangkan jadi lebih dari sekedar masalah warna kulit saja namun juga tentang opsi, pilihan, resiko, dan kebahagiaan.

Terutama pada cara Rebecca Hall membentuk isu tentang identitas dalam bentuk pertanyaan tentang seberapa besar pengorbanan yang harus dilakukan oleh anggota kelompok minoritas agar dapat menjadi bagian dari masyarakat dalam society yang masih tidak setara itu? Ada pesona intim yang kuat sejak awal dan sukses mengunci atensi penonton, apalagi dengan penggunaan format 4:3 pada visual yang berpadu dengan tampilan hitam dan putih penuh dengan nuansa abu-abu itu, pencahayaan bermain manis di sana dalam membantu terbentuk proses meledaknya emosi para karakter secara perlahan. Mungkin ada pertimbangan artistik di sana terutama pada masalah budget tapi keputusan yang diambil itu justru memberi pesona klasik yang kental serta mempertebal kesan unik yang coba disajikan.


Visual tidak henti menghipnotis hingga akhir tapi sayangnya narasi tidak demikian. Di babak kedua Rebecca Hall mencoba memberi ruang yang lebih luas bagi hubungan antara dua karakter utamanya menjadi lebih personal, itu justru membuat isu dan pesan yang terasa universal di awal jadi terasa sedikit menurun daya tarik dan juga terasa goyah, begitupula dengan konklusinya, sangat tepat sasaran tapi punch yang dihasilkan terasa kurang maksimal. Untung saja kinerja akting dua pemeran utama sangat konsisten hingga akhir, bagaimana mereka menampilkan gejolak batin dan emosi yang dialami oleh karakter masing-masing dengan gesture yang terasa lembut. Irene dan Clare seperti ingin bersuara lantang tentang beban yang mereka rasakan tapi tidak punya self-confident, menjadi sebuah permainan emosi yang ditampilkan dengan baik oleh Tessa Thompson dan Ruth Negga.

Overall, ‘Passing adalah film yang cukup memuaskan. Aktris British berwarna kulit putih mencoba berbicara tentang kehidupan kaum skin colors di USA yang rasis pada tahun 1920an? Dan juga dalam debut penyutradaraanya? Itu sudah lebih dari cukup untuk menciptakan kesan unik yang lantas berkembang menjadi lebih baik lagi saat Rebecca Hall mulai bermain dengan cerita, membawamu bertemu pertanyaan yang tidak asing lagi tapi justru sukses mencuri atensi berkat kesan unik yang dibentuk. Kombinasi antara visual hitam dan putih penuh pesona manis dengan cerita pahit, Rebecca Hall berhasil menyuntikkan excitement ke dalam berbagai pertanyaan klasik tentang race and identity, tentang kerinduan memiliki “tempat” di dalam society. Segmented.






1 comment :