20 February 2016

Review: Tumbledown (2016)


"Turn the page, start a new chapter."

Cinta memang memiliki kekuatan dan kemampuan yang luar biasa, ia tidak hanya mampu membuat kamu menjadi positif dari posisi awal positif, cinta juga mampu mengubah kamu yang awalnya negatif menjadi positif. Fungsi klasik cinta itu yang coba digambarkan oleh film ini, Tumbledown, si wanita terjebak masa lalu, si pria menolong untuk move on, berpadu dengan humor dan hati menjadi sebuah rom-com yang tidak menyengat.

Hannah (Rebecca Hall) merupakan seorang penulis untuk sebuah koran di kota kecil New England yang masih berusaha lepas dari sebuah masa lalu kelam. Hunter Miles, penyanyi folk legendaris dan jenius yang merupakan suami Hannah meninggal dunia beberapa tahun sebelumnya akibat kecelakaan saat hiking. Suatu ketika seorang professor dari Hofstra University bernama Andrew McDonnell (Jason Sudeikis) berniat untuk menulis sebuah buku tentang budaya pop dan memilih kisah dari almarhum suami Hannah sebagai fokus utama, usaha yang kemudian perlahan membawa Hannah dan Andrew menghadapi berbagai kenyataan "pahit". 



Tidak ada yang istimewa dari Tumbledown, dari cerita sampai dengan eksekusi Sean Mewshaw di film debutnya ini adalah tipikal romantic comedy yang akan begitu mudah kamu temukan, so tidak heran jika ia akhirnya berakhir juga tidak di level yang istimewa. Terdapat banyak alasan mengapa Tumbledown terasa begitu biasa, ambil contoh narasi yang seolah mencoba menggoda penonton tapi terus menerus mencoba menciptakan momen lucu sangat standar yang uniknya ia tampilkan dengan rasa kering yang begitu berani. Begitupula dengan fokus utama, sebagai sebuah rom-com Tumbledown justru lebih sering terjebak di elemen drama dengan fokus kematian Hunter yang dikemas dengan nada yang begitu stabil.



Sayangnya film ini punya pesona. Ya, dibalik usaha membawa banyak isu untuk penonton tangkap dari presentasi yang sebenarnya juga sudah begitu predictable itu kisah antara Hannah dan Andrew punya pesona yang akan membuat kamu tertarik untuk mengikutinya. Dari kisah kehilangan cinta hingga proses untuk lepas dan melangkah maju unsur asmara yang bermain di Tumbledown cukup manis, kesan hangat di antara dua karakter utama terasa oke, goofiness mereka banyak menolong script yang terkadang terasa sedikit berlebihan ketika tampil cengeng. Andrew adalah karakter lucu dan penonton menaruh rasa peduli padanya, mendukung usahanya untuk “menolong” Hannah yang juga kamu inginkan untuk lepas dari masalahnya.



Koneksi antara penonton dengan cerita dan karakter yang terhitung baik itu yang banyak menolong film ini terutama dari masalah di awal tadi, materi yang sejak sinopsis terasa tipis. Sayang memang karena ketukan bercerita yang film ini punya sebenarnya sudah oke, tema memang kurang kuat tapi cara ia berpindah antara lucu dan bijaksana tidak pernah terasa mengganggu, irama klasik berhasil digunakan kembali dengan tepat sehingga hal-hal klise itu tidak terasa menjengkelkan. Namun fokus utama yang terus menggantung menyebabkan hasil akhir Tumbledown kurang membekas, seringkali pula momentum untuk menjadikan narasi naik ke tingkat yang lebih tinggi terbuang sia-sia, sama seperti musik yang justru terasa kurang maksimal dibalik kisah yang menggunakan musik sebagai salah satu elemen utama.



Andrew dan Hannah merupakan individu yang menarik untuk diamati, salah satu nilai positif dari Tumbledown berkat kinerja Rebecca Hall dan Jason Sudeikis dalam mewarnai karakter mereka dengan komposisi pas. Terdapat rasa saling tertarik antara Andrew dan Hannah, hal menarik lain yang akan membuat penonton tertarik untuk duduk mengamati. Sebagai sebuah rom-com film ini punya romance dan komedi yang oke, materi klasik dan klise tidak terasa mengganggu, namun sayangnya di samping elemen drama yang lebih sering mengambil panggung utama cerita Tumbledown terasa sedikit terlalu tenang dan aman, tidak punya banyak percikan yang menyengat. Segmented.












Thanks to: rory pinem

0 komentar :

Post a Comment