08 November 2016

Review: Loving (2016)


"Tell the judge I love my wife."

Sesunguhnya ketidakdilan itu sudah eksis sejak dahulu kala dan dengan perkembangan teknologi yang akan semakin canggih serta semakin menurunnya “kualitas diri” yang dimiliki umat manusia masalah tersebut akan semakin terasa familiar dan umum. Bukankah itu hal yang menakutkan? Ya. Dapatkah hal tersebut kita musnahkan? Ya. Bagaimana caranya? Banyak, dari cara yang cruel and cheap dengan menggunakan kekerasan hingga cara yang lebih elegan yaitu dengan menggunakan kasih sayang. Itu yang coba ditampilkan oleh film ini, ‘Loving’, karya terbaru dari sutradara Take Shelter, Mud, dan Midnight Special yang mencoba bercerita tentang ketidakadilan and the power of love and loving. It’s a defiant and dignified story where love shoot down all of that dumb injustice stuffs.

Virginia, 1958. Richard Loving (Joel Edgerton) dan Mildred Jeter Loving (Ruth Negga) merupakan pasangan suami istri yang baru saja menikah, sedang menantikan anak pertama mereka namun harus mendekam di penjara karena masalah pada pernikahan mereka. Richard dan Mildred merupakan pasangan berbeda ras sehingga harus berhadapan dengan hukum yang menyatakan bahwa interracial marriage merupakan sesuatu yang illegal. Kini menetap di Washington DC Richard dan Mildred ingin kembali ke rumah mereka di Virginia dan dengan bantuan American Civil Liberties Union melanjutkan perjuangan agar pernikahan mereka sah lewat jalur hukum ke Mahkamah Agung. 


Jika membaca sinopsis di atas tentu kamu akan berpikir “yeah, another story about injustice witch racism as the main topic”, faktanya memang demikian tapi di tangan Jeff Nichols usaha yang menjadi salah satu trend untuk dilakukan oleh filmmaker di Hollywood itu berhasil dikemas dengan cara yang segar dan meninggalkan kesan yang mendalam. Interpretasi yang Jeff Nichols gunakan di sini dalam membentuk kasus yang Richard dan Mildred hadapi itu akan mengingatkan kamu pada karya-karyanya sebelumnya, dari Take Shelter, Mud, dan Midnight Special. Konflik yang ‘Loving’ punya sebenarnya bisa saja diasah menjadi presentasi yang tajam ketika mencoba menggambarkan ketidakadilan yang dihadapi pasangan suami istri tersebut tapi menariknya meskipun salah satu bagian penting cerita melibatkan proses hukum tapi ‘Loving’ justru sangat jauh dari kesan mencoba mempermainkan materi agar tampak sensasional. 


Tapi menariknya keputusan untuk tampak “ordinary” itu justru kunci utama yang membuat ‘Loving’ terasa “extraordinary”. Dramatisasi di courtroom ditekan sangat jauh kuantitasnya tapi isu tentang rasicm dan kebencian itu tetap tidak terasa kesulitan “membakar” hati dan emosi penontonnya. Film tipe seperti ini yang mencoba tampil tenang biasanya kerap jatuh menjadi sebuah panggung sandiwara di mana karakter berusaha keras membuat penonton merasa kasihan dan simpati pada kasus yang mereka hadapi, Jeff Nichols mencoba melakukan itu tapi dengan cara yang elegan. Eksekusi Jeff Nichols di sini terasa sangat confident, dengan kesan minimalis dan tidak mencoba “membakar” emosi penonton secara berlebihan mungkin sepintas ‘Loving’ akan terkesan pemalas namun menyaksikan interaksi antara Richard dan Mildred perlahan membuat penonton merasakan pedihnya masalah ketidakdilan akibat perbedaan yang masih terjadi hingga sekarang ini. 


Karakter Richard dan Mildred mendapat berbagai konfrontasi yang “cheap and dumb” dari karakter lain namun Jeff Nichols gunakan itu sebagai bumbu untuk membuat fokus utama cerita semakin manis, yaitu kekuatan cinta antara Richard dan Mildred serta kekuatan yang dimiliki oleh kasih sayang. Ya, kasih adalah fokus utama ‘Loving’ dan menjadi senjata yang sangat ampuh untuk mengalahkan ketidakdilan. Sebuah kalimat sederhana dari Mildred menjadi dasar dari cerita ‘Loving’ secara keseluruhan di mana “we may lose the small battles, but win the big war.” Ruang bagi proses hukum untuk tampil sangat kecil tapi rasa simpati dan empati penonton pada pasangan suami istri itu tidak lantas menjadi stuck, with a bit humor there’s a force yang terus berkembang menjadi besar, dari mention terkait rumah lalu kemudian melebar menjadi sebuah pertarungan yang mengandalkan kasih sayang. 


Hal tersebut tercapai juga berkat performa dari jajaran aktor yang 'Loving' miliki. Elemen teknis menjalankan tugas mereka dengan baik namun performa dari para aktor yang membuat kisah sederhana ini menjadi bersinar terang. Cerita mayoritas digunakan untuk mengamati hubungan antara Richard dan Mildred ketika mencoba mengatasi masalah mereka, Joel Edgerton dan Ruth Negga berhasil membuat dua karakter tersebut menjadi subjek yang konsisten terasa menarik hingga akhir. Mereka tenang tapi terasa compelling, mereka terus ditekan tapi kesan gloomy yang tercipta tidak ada yang terasa hambar dan datar, tensi pada konflik utama terus eksis dengan baik terlebih berkat chemistry keduanya dalam menampilkan the power of love yang mereka punya. Peran mereka memang tidak begitu besar namun Nick Kroll dan Michael Shannon juga mampu mencuri atensi ketika giliran mereka tiba. 


‘Loving’ menjadi bukti terbaru bahwa sutradara bernama Jeff Nichols merupakan seorang “pelukis” yang handal, di sini berhasil menggunakan berbagai warna klasik yang sudah sering digunakan film tipe serupa untuk kemudian menciptakan sebuah lukisan yang terasa segar untuk diamati dan dinikmati. Ketimbang perang dan dipenuhi kehebohan di sini isu injustice itu dikemas dengan mengamati kehidupan sehari-hari dua karakter utama, tanpa mencoba menghadirkan stormy moments namun konsisten dipenuhi dengan stormy emotions. Basically ini mencoba mengangkat isu tentang ketidakadilan dan itu berhasil dicapai namun pendekatan yang terasa steady and warm itu justru membuat isu tersebut tampak seperti pendamping bagi fokus utama ‘Loving’, an understated story about the power of love and loving. Segmented. 










1 comment :