11 April 2021

Movie Review: Godzilla vs. Kong (2021)

“The myths say that their ancestors fought each other in a great war.”

Setelah ‘Godzilla’, kemudian ‘Kong: Skull Island’ yang lantas disusul oleh ‘Godzilla: King of the Monsters’ yang menarik itu, tidak butuh waktu lama bagi penonton untuk dapat menyaksikan “pertunjukkan utama” yang tentu telah dinantikan sejak berita terbentuknya rencana membangun “MonsterVerse” muncul. Ya, masing-masing telah mendapatkan jatah film mereka sendiri dan kini saatnya mereka bertarung, seperti Batman melawan Superman tapi versi monster. Pertanyaannya ialah, mampukah sajian ini bersikap adil dan seimbang? ‘Godzilla vs. Kong’ : a lovely clash of the titans.


Manusia kini tahu bahwa mereka tidak hidup sendirian di bumi, karena ada makhluk lain berukuran raksasa yang juga eksis di samping mereka. Salah satunya Kong yang kini tinggal di Skull Island di dalam sebuah kubah raksasa, diawasi oleh seorang Antropolog bernama Dr. Ilene Andrews (Rebecca Hall) ditemani anaknya, Jia (Kaylee Hottle). Celakanya tiba-tiba Godzilla menyerang! Semua orang yakin bahwa Godzilla kini kembali menjadi jahat meksipun ada mereka yang menolak teori tersebut, salah satunya Madison Russell (Millie Bobby Brown) yang merasa curiga serangan Godzilla ada kaitannya dengan Apex Cybernetics.

Di sisi lain pemimpin Apex, Walter Simmons (Demián Bichir), memutuskan untuk merekrut Dr. Nathan Lind (Alexander Skarsgård), seorang Geologis untuk memimpin misi pencarian sumber enrgi menuju the Hollow Earth, tempat yang diyakini menjadi rumah dari para monster. Nathan percaya Kong merupakan kunci penting agar misi tersebut dapat berhasil dan karena merasa situasi terkini yang sedang darurat Ilene kemudian mengijinkan Kong untuk ikut di dalam misi tersebut. Celakanya rencana Nathan tidak berjalan lancar karena ada musuh yang di saat bersamaan juga sedang menunggu kesempatan untuk menciptakan kekacauan.

Well, tentu saja tepuk tangan meriah paling layak diberikan untuk tim visual effects karena di bawah komando John "DJ" DesJardin yang bertindak sebagai visual effects supervisor film ini berhasil menjadi sebuah visual treats yang sangat menyenangkan. Sejak awal hingga akhir layar didominasi dengan berbagai macam keindahan yang dimiliki oleh dua karakter utama kita itu, layaknya sebuah banjir besar yang datang dengan kecepatan konstan penonton terus menerus dijejali dengan betapa manisnya kualitas visual yang tampil di hadapan mereka, dari detail masing-masing karakter hingga bagaimana ketika dua monster raksasa itu menyajikan hidangan utama.


Ya, pertarungan antara Godzilla dan Kong. John "DJ" DesJardin bersama dengan timnya sangat berhasil dalam “menerjemahkan” ide dan keinganan baik itu dari Eric Pearson dan Max Borenstein selaku penulis cerita serta Sutradara Adam Wingard. Kerap kali film yang “mengandalkan” visual lalu kemudian terlalu bertumpu pada elemen ini akan merasa kewalahan ketika narasi telah tiba di titik tengah dari total durasinya. Saya senang ‘Godzilla vs. Kong’ tidak mengalami hal tersebut, meskipun memang tidak selalu konstan dalam hal urgensi tapi di bawah komando seorang Adam Wingard ada rasa ingin tahu dan tertarik yang terus eksis hingga akhir.

Mungkin terkesan sepele tapi hal terakhir tadi itu penting terlebih untuk sebuah film yang sedari awal sebenarnya juga tahu dan sadar akan kualitas ceritanya yang tidak terlalu spesial. Konflik yang berkembang dengan menggunakan konsep Hollow Earth itu merupakan sebuah strategi jitu dari duet penulis, lalu kemudian Adam Wingard olah agar ada kondisi dan situasi darurat dengan koneksi yang oke antara rencana jahat manusia dengan kemunculan Godzilla, sosok yang di film sebelumnya justru berhasil menyelamatkan bumi dan manusia. Ada hubungan sebab dan akibat yang memang tidak terlalu kuat tapi lebih dari cukup untuk membuat cerita bergulir.


Hubungan sebab dan akibat itu pula yang kemudian memecah cerita jadi beberapa bagian, hal yang lagi-lagi bagian dari strategi jitu Adam Wingard dan tim. Termasuk tim film editing, bagaimana karakter manusia digunakan sebagai pion, mengemban misi yang memaksa mereka terpisah namun dengan garis finish yang sama. Jujur saja yang mereka lakukan terasa menarik tapi kurang berhasil menjadi sesuatu yang terasa memikat untuk diikuti mengingat porsi mereka sendiri yang memang kecil jika dibandingkan dengan monster utama. Contohnya adalah misi Madison Russell yang fungsinya sangat sederhana yakni menjadi alarm terhadap “posisi” Godzilla.

Satu-satunya karakter manusia yang menarik adalah Jia, ia sangat terbantu dengan ikatan batin antara dirinya dengan Kong. Berkat Jia pula karakter Kong di sini terasa “hangat” di balik aksi buasnya ketika bertarung, ia bukanlah karakter liar yang tidak terkendali melainkan menjadi sosok penting dalam tercapainya rencana karakter manusia “menyelamatkan dunia” dari kehancuran akibat amukan monster. Wingard sepertinya sadar bahwa materi yang ia punya tidak terlalu kuat untuk membuat isu tadi meninggalkan punch yang kuat pula, itu mengapa ia poles dengan sangat baik pesona dari Godzilla dan Kong untuk terus mengikat atensi penonton.


Bukan mengalihkan sebenarnya tapi lebih kepada membuat sedikit kekurangan pada sektor cerita tadi tidak menjadi sesuatu yang “mengganggu” kenikmatan menonton. Adam Wingard benar-benar menggenjot sektor action yang sukses menampilkan apa yang penonton ingin saksikan, pertarungan dua monster yang sangat ikonik sukses menutup minus pada plot cerita serta karakter manusia yang bobotnya terasa terlalu sederhana. Aktor pemeran karakter manusia tidak tampil buruk, seperti Alexander Skarsgård, Millie Bobby Brown, dan Rebecca Hall, mereka tampil oke namun memang “tugas” yang tidak terlalu besar membatasi kesempatan untuk tampak mencolok.

Overall, ‘Godzilla vs. Kong’ adalah film yang memuaskan. Well, saya menemukan fun thrill yang saya harapkan dari film ini, Adam Wingard (You're Next, The Guest, Blair Witch) memborbardir penonton lewat berbagai sajian noisy action sequences yang terasa menyenangkan. Memang cerita punya sedikit kelemahan namun perannya yang sudah dibatasi sejak awal membuat minus tersebut tidak terasa menganggu, pencapaian yang tidak terlepas dari peran Adam Wingard dalam menata ada visual treats yang memikat itu bersanding dengan narasi yang punya pesona menarik serta energik. Such a lovely clash of the titans.





1 comment :

  1. “So if they meet again, who bows to who, is that it?”

    ReplyDelete