11 August 2015

Review: The Diary of a Teenage Girl (2015)


"I had sex today. Holy shit."

Apakah kamu pernah merasa takut untuk menjadi dewasa? Meninggalkan masa muda kamu yang identik dengan jiwa bebas untuk kemudian melangkah maju ke jenjang yang lebih tinggi dimana kamu akan menemukan tuntutan pada tanggung jawab yang lebih besar pada kehidupan kamu. The Diary of a Teenage Girl ingin menggambarkan hal tersebut, bagaimana coming of age memang menjadi periode atau proses yang tidak akan otomatis berjalan dengan mudah tapi di sana kita akan menentukan siapa diri kita yang sebenarnya, merasakan aksi memberontak, cinta, kecewa, cemas, tanggung jawab, pesta, hingga seks.

Minnie Goetze (Bel Powley) merupakan wanita muda berusia 15 tahun yang dewasa lebih cepat dibanding remaja seusianya. Minnie merasakan gejolak emosi yang begitu besar ketika ia kehilangan keperawanannya, semua yang ia baik itu pada tubuh dan pikiran rasakan tampak berbeda, dan dari sana Minnie mulai memutuskan untuk "menuliskan" rasa takut hingga kecewa pada buku harian miliknya. Tapi karakter sang ibu, Charlotte Worthington (Kristen Wiig), ternyata turun ke Minnie dimana ia mulai menikmati aktifitas seks meskipun obsesi Minnie selalu kembali pada pria yang berhubungan seks dengannya pertama kali tadi, Monroe (Alexander Skarsgård), pacar ibunya.


Berdasarkan novel grafis berjudul The Diary of a Teenage Girl: An Account in Words and Pictures karya Phoebe Gloeckner, The Diary of a Teenage Girl adalah film tentang seks terbaru yang mungkin penonton inginkan lebih banyak lagi eksistensinya. Isu yang ia punya itu memang masih akan sulit di terima beberapa kalangan, bahkan bukan tidak mungkin masih ada yang menganggap itu sebagai sesuatu yang taboo, tapi menariknya di tangan Marielle Heller ini tidak menjadi sesuatu yang mencoba membuat kamu menilai bahwa aktifitas duniawi tersebut merupakan sesuatu yang horror apalagi berbahaya. The Diary of a Teenage Girl mencoba menggambarkan proses tumbuh dengan tanggung jawab dengan cara masuk kedalam pikiran naif dari seorang remaja wanita, ia memadukan sisi nakal dari seks bersama sisi "bijak" dari seks dengan sangat fleksibel.



Iya, fleksibel, ia bisa memainkan dua sisi cerita dengan baik. The Diary of a Teenage Girl tidak mencoba menutup fakta bahwa apa yang dilakukan Minnie itu sebagai sesuatu yang salah tapi disisi lain ia juga akan membuat kamu stick dengan karakter dan mendukung ia untuk mencapai kebahagiaan di akhir cerita. Itu yang menarik, perasaan sulit yang dimiliki karakter Minnie seperti ikut tertular pada penontonnya, script yang lembut akan membawa kamu menyaksikan ledakan yang oke di dua sisi tadi, terkadang kamu di buat sedikit jengkel olehnya karena rasa ingin tahu Minnie yang masih besar pasca kehilangan keperawanannya meskipun ia tahu ia berada dalam kondisi takut dan cemas, tapi menariknya kamu seperti yakin bahwa yang terjadi tadi merupakan proses bagi Minnie untuk menemukan siapa dirinya sebenarnya.



Tunggu dulu, proses pencarian diri disini bukan berarti membuat penonton merelakan Minnie melakukan apa yang ingin ia lakukan untuk kemudian berakhir seperti sang ibu yang berantakan itu, tapi “proses” tadi jadi pembelajaran baginya mana yang baik dan mana yang tidak. Saya suka dengan cara Marielle Heller menyajikan proses tadi, terasa bijak tapi tidak kaku, ia seperti menolak untuk menjadikan cerita seperti sebuah khotbah tentang ajaran moral tapi justru mencoba mengarahkan penonton untuk masuk kedalam pengalaman Minnie lalu setelah itu menilai sendiri apa yang akan terjadi jika batas-batas yang ada itu di langgar. Itu yang menjadi salah satu pesona dari The Diary of a Teenage Girl, ia tidak hanya menjadikan peristiwa yang dialami oleh Minnie sebagai bahan tawa bagi penonton tapi juga ada wawasan yang oke dari sudut pandang seorang remaja.



Hasilnya The Diary of a Teenage Girl akan tinggal lama di pikiran penonton, terlebih jika kamu mengerti kondisi dimana kamu mulai bertemu dengan rasa suka dan penasaran pada apa itu cinta, apalagi disini ia di gambarkan lewat skenario yang sinting. Dan itu tercapai juga berkat penampilan yang sangat oke dari Bel Powley. Ketika Minnie hanyut dalam kegembiraan seksual kamu akan tersenyum baginya, ketika ia masuk ke arah yang salah kamu berharap ia dapat menemukan jalan keluar, perawan penasaran dengan isu percaya diri berhasil dimainkan dengan baik oleh Bel Powley, ia punya pesona yang menjadikan Minnie terasa menyegarkan dalam rasa takur dan nakal, dan sokongan dari Alexander Skarsgård dan Kristen Wiig juga memiliki pengaruh yang oke pada cerita.



The Diary of a Teenage Girl bukan representasi dari kisah horror dimana remaja melakukan sesuatu yang salah dan dianggap tabu, ini justru penggambaran yang positif tentang bagaimana proses ketika remaja tumbuh dan berhadapan dengan masalah lalu mencoba berdamai dengan masalah tersebut dan belajar tentang tanggung jawab menjadi orang dewasa. Materi yang berani bisa saja membawa The Diary of a Teenage Girl ke penilaian buruk dari penontonnya tapi ditangan Marielle Heller ia justru berhasil mengatasi beban tersebut dan menyajikan sebuah perayaan tentang menjadi tumbuh menjadi dewasa dengan lembut dan tajam, mampu menyentuh penonton tanpa harus lupa untuk tampil komikal. Segmented.







0 komentar :

Post a Comment