28 October 2021

Movie Review: The Night House (2021)

“Do you guys believe in ghosts?”

Cukup sekitar tujuh menit buat film ini untuk membuat penontonnya merasa seperti akan terjadi suatu peristiwa aneh terhadap karakter utama, menempatkan kamu di dalam situasi hening yang dimainkan dengan manis temponya untuk kemudian disusul dengan bunyi ketukan yang menghentak dan memacu adrenalin. Saya rasa hal-hal seperti itu merupakan salah satu bagian penting dari sebuah sajian film horor dan di sini menjadi senjata yang baik untuk menggedor paranoia penontonnya yang dituntun ke dalam sebuah psychological struggle menarik yang sedang dihadapi karakter utama. The Night House’ : astounding psychological horror.


Wanita bernama Beth (Rebecca Hall) baru saja kehilangan suaminya yang sangat ia cintai, Owen (Evan Jonigkeit), dan kembali ke rumah mereka di tepian sebuah danau dengan perasaan hancur. Salah satu penyebabnya adalah Beth ditinggalkan dengan perasaan bertanya apa salah yang pernah ia lakukan sehingga Owen memutuskan untuk mengakhiri hidupnya menggunakan sebuah pistol di atas perahu yang sedang mengapung di danau? Padahal rumah tersebut Owen bangun sendiri tanpa bantuan orang lain, dan pernikahan mereka telah berjalan selama 14 tahun.

Mendapat dukungan moril dari sahabatnya Claire (Sarah Goldberg) dan tetangganya Mel (Vondie Curtis-Hall), Beth terus berusaha agar emosi dan ekspresinya terlihat stabil dan terkendali, Sayangnya tidak berlangsung lama apalagi setelah ia kembali teringat dengan pesan terakhir Owen untuknya, amplop berwarna putih berisikan secarik kertas dengan empat kalimat sederhana, "You were right. There is nothing. Nothing is after you. You're safe now”. Beth mulai mengalami kejadian supernatural di malam hari dan ia juga menemukan reversed floor plan yang aneh dari rumah tersebut.

Well, setelah tujuh menit yang dengan cepat langsung mengikat atensi itu cerita yang ditulis Ben Collins bersama Luke Piotrowski sedikit dikembangkan terlebih dahulu Sutradara David Bruckner. Penonton langsung diberi jawaban mengapa wajah Beth di awal tampak seperti perpaduan antara sedih dan amarah, seperti berusaha untuk menunjukkan bahwa ia berada dalam kondisi baik-baik saja sementara di sisi lainnya kita juga lihat ia seperti merindukan sesuatu. Titik awalnya ada di momen saat salah satu orangtua murid yang Beth bimbing datang, momen yang membuka pintu masuk bagi “setan” untuk mengusik emosi dan mental Beth yang sedang rapuh itu. Tentu saja sejak awal penonton sudah menantikan itu, tapi sayangnya butuh waktu.


David Bruckner tidak mencoba langsung membombardir penonton dengan “kejutan” sejak kita tahu tragedi yang dialami oleh Beth, ia tetap dengan pola yang sejak awal langsung berhasil membuat penonton seperti terikat di dalam rumah itu dan muncul opini ganjil dari dalam pikiran mereka. Tempo dimainkan dengan baik oleh Bruckner sedangkan permainan atmosfir terutama mood gloomy yang menyelimuti pikiran Beth juga disinkronisasikan secara manis dengan berbagai hal serta pemandangan ganjil menggunakan rumah di tepi danau itu. Saya merasa hanyut di dalam suasana yang dibangun David Bruckner tapi juga tidak akan merasa heran jika kemudian ada dari penonton yang merasa momen itu membuat excitement yang terasa tinggi di awal tadi langsung turun seketika. Wajar, tapi hanya eksis hingga kejutan lain tiba.

David Bruckner pintar dalam memainkan momentum di sini, menarik dan ulur kesan ganjil dan creepy yang membuat penonton terus mengantisipasi kemunculan jump scare. Isi pikiranmu juga ikut dipermainkan, terutama terkait sosok yang sepertinya mencoba untuk menunjukkan “eksistensinya” di dalam rumah itu kepada Beth. Apa yang sebenarnya terjadi di dalam rumah itu, pertanyaan yang kemudian berkembang dan menemani opsi lain, yakni bahwa Beth sebenarnya hanya sedang kesulitan untuk lepas dari situasi berduka. Dengan cerdik sleep paralysis didorong agar menjadi opsi lain, semakin menyemarakkan isi pikirannya yang terus dibuat bertanya-tanya apa benar ada hantu di sana, atau hanya Beth yang sedang terganggu kesehatan jiwanya? Mungkin kamu akan memilih salah satu opsi, tapi sulit untuk 100% yakin.


Sebagai sebuah psychological horror The Night House tidak hanya sekedar bercerita tentang tekanan psikologis karakter utamanya, ia juga mencoba membawa penonton masuk ke dalam sebuah permainan psikologis. Kamu tidak sekedar dibuat menanti saja tapi juga ikut mengantisipasi, something yang tentu menjadi pilar penting dari sebuah sajian horror untuk dapat tampil menyenangkan. Tiap kali Beth menatap ke satu titik momen di mana dia akan menoleh selalu sukses membuat saya merasa waspada, mengantisipasi sesuatu akan muncul di belakang. Cinematography arahan Elisha Christian seolah tahu sudut mana saja yang tidak hanya sekedar menciptakan namun terus memupuk kesan ganjil cerita, terkadang menggunakan close-up namun saat ia menembakkan kamera dari sisi lain danau ada kesan creepy pula di sana.

Sedikit kekurangan film ini terletak di babak akhir, saat David Bruckner mencoba untuk mulai perlahan bergeser menuju konklusi. Jawaban dari beberapa pertanyaan yang dilemparkan sejak awal mungkin akan terasa kurang gamblang atau jelas bagi beberapa penonton, sesuatu yang wajar memang karena di sini ‘The Night House’ sedikit goyah, saat mencoba menampilkan konsep reverse yang sudah coba disajikan lewat clue house number itu misalnya. Meskipun cara pengembangan masalah tetap terasa oke, terutama ketika Madelyne (Stacy Martin) hadir, tapi ada kesan jalan yang harus dilalui narasi terasa kurang kuat ketika isu tekanan dan trauma psikologis mengisi posisi terdepan. Tidak terasa mengganggu memang tapi membuat drama jadi a bit uneven.


Saya yakin konklusi dan cara David Bruckner menata babak akhir merupakan salah satu opsi yang sudah diterka oleh sebagian besar penonton, meskipun hadir kejutan di dalam kamar mandi tapi babak akhir ini sedikit kelabakan pace, tempo, dan juga momentumnya. Untungnya “tali” yang telah mengikat penonton sejak awal itu tidak pernah lepas, sedikit melonggar mungkin iya tapi saya sendiri merasa terus terpaku, dan juga waspada, sepanjang babak akhir. Dan ya, David Bruckner, Screenwriter dan juga para Produser patut bersyukur mereka memilih Rebecca Hall sebagai pemeran utama, di mana air muka Aktris satu ini memang selalu rapi ketika berurusan dengan materi terkait tekanan mental, performa aktingnya di film ‘Christine’ masih sangat sulit untuk saya lupakan.

Overall, ‘The Night House adalah film yang memuaskan. Langsung mencengkeram penonton sejak awal dan menebar berbagai hal ganjil yang membuat mereka merasa penasaran, lalu dengan piawai membangun atmosfir, mood cerita serta memainkan tempo dan momentum, termasuk di dalamnya jump scare serta beberapa kejutan lain, David Bruckner bersama tim berhasil menyajikan sebuah permainan psikologis penuh misteri yang mengikat penontonnya hingga akhir. Memang sedikit goyah di babak akhir namun tidak sampai melukai jawaban yang understated terhadap rasa penasaran penonton dan pertanyaan yang telah hadir sejak awal. One of the best astounding movies this year so far. Segmented. 






1 comment :