07 September 2013

Movie Review: The East (2013)


"Poison our habitat, we'll poison yours."

Sebenarnya apa makna dari kata adil? Apakah penggambaran dari kondisi sama rata yang pada akhirnya menjadikan kejahatan harus di balas pula dengan kejahatan? Bukannya dengan menyakiti orang yang telah menyakiti banyak orang hanya justru menjadikan kita sama buruknya dengan mereka? Pertanyaan tadi digunakan sebagai pondasi oleh Zal Batmanglij dan Brit Marling pada kolaborasi kedua mereka, The East, sebuah thriller yang mumpuni. Ya, mumpuni.

Sarah Moss (Brit Marling), mantan agent FBI, kini bekerja di perusahaan intelijen swasta bernama Hiller Brood, yang dipimpin oleh Sharon (Patricia Clarkson). Suatu ketika Sarah ditugaskan untuk menjadi mata-mata, menyamar menjadi seorang traveler dalam upaya untuk masuk kedalam sebuah perkumpulan bernama The East, sebuah kelompok yang di cap teroris dan belakangan menjadi perhatian publik lewat aksi mereka yang menaruh perhatian sangat besar terhadap bencana lingkungan, sumber rasa cemas yang dialami oleh Sharon yang hendak berupaya untuk melindungi klien-kliennya.

Berawal dari sebuah aksi melibatkan polisi, Sarah bertemu dengan Luca (Shiloh Fernandez), yang kemudian menuntunnya dalam kondisi mata tertutup menuju sebuah hutan terpencil tempat The East berada. Cukup mengejutkan karena Benji (Alexander Skarsgård) pemimpin The East, Doc (Toby Kebbell), seorang dokter yang gagal, serta Izzy (Ellen Page) dan beberapa anggota lainnya tidak menolak kedatangan Sarah. Sayangnya, perlahan Sarah mulai lupa dengan pesan Sharon, “getting attached to them is all right, but do not get soft,” yang kemudian menimbulkan rasa ragu pada diri Sarah, apa statusnya dalam kasus ini, protagonist atau antagonis?


Meskipun tidak masuk dalam A-list, The East tetap merupakan film yang berada didalam radar saya, dengan alasan utama yang tidak lain adalah kombinasi dari Brit Marling dan Zal Batmanglij yang tahun lalu pernah menjadikan saya terjebak dalam pertanyaan penuh ambiguitas tentang siapa sebenarnya sosok Maggie di dalam Sound of My Voice. Anda tidak akan kecewa jika ekspektasi awal anda pada The East adalah memperoleh sebuah sajian thriller dengan misteri yang kuat, karena Batmanglij dan Marling kembali sukses menghadirkan elemen tersebut.

Warnanya masih sama dengan Sound of My Voice, bahkan sampai hal teknis sekalipun semacam cinematography hingga editing. Yang menjadikan The East berbeda adalah plot utama yang kali ini memasukkan Brit Marling kedalam karakter yang berlawanan dengan apa yang pernah ia lakukan tahun lalu, masih menggunakan formula yang sama dengan pergantian minor dari sekte agama menjadi konflik berbasis kelestarian lingkungan, tetap bermain bersama kelompok yang tertutup, serta menggunakan operasi terselubung yang kemudian ditemani aksi spionase.

Memang secara garis besar terasa kurang begitu segar, namun keberhasilan Batmanglij dan Marling menciptakan kembali misteri penuh pertanyaan yang kuat patut mendapatkan apresiasi. Yap, apalagi jika melihat keterkaitan konflik dengan misi yang mereka usung dengan tema lingkungan, cara mereka mencampur sisi humanisme dengan kritik terhadap budaya kapitalisme, script manipulatif yang terstruktur dengan baik bersama kompleksitas yang menitik beratkan pada permasalahan moral, ini rapi dan intens. Pertanyaannya apakah semua yang The East berikan tampil memuaskan?


Jawabnya adalah tidak. Harapan utama pada film ini adalah menjadi Sound of My Voice yang lebih luas, lebih besar, dan lebih menarik. The East berhasil dalam dua hal pertama, namun tidak dalam upaya untuk tampil lebih menarik. Ia memang lebih serius, lebih matang, namun tidak total. Permasalahannya bukan terletak pada karakter yang justru tampak dikembangkan dengan baik terutama karakter Sarah yang menjadi pusat cerita, namun pada eksekusi dari ide potensial yang ia miliki. Tidak bodoh, malah terasa cerdas, namun Zal Batmanglij seperti menopang beban yang lebih berat dari yang ia peroleh sebelumnya, mempersempit ruang gerak dalam hal kebebasan, dan menjadikan alur cerita tampak kaku, hampir dominan malah.

Betul, beban pada tiga harapan utama tadi menjadikan pergerakan film ini terasa kaku, yang seharusnya tidak boleh terjadi karena salah satu letak keunggulan Zal Batmanglij yang berhasil menjadikan banyak orang kagum padanya adalah kemampuannya membangun kisah yang intens, namun juga intim. Ruang untuk permainan imajinasi itu tidak lagi menyenangkan, ia tampak sangat fokus membangun konflik utama, yang bahkan kerap kali menjadikan materi kecil lainnya kurang terbangun dengan baik, sebut saja pertanyaan provokatif yang ditinggal begitu saja. Masih intens, namun The East kerap kali kehilangan momentum dan tensi, baik dari cerita dan daya tarik.

Dari divisi akting, Brit Marling masih tampil dengan standard yang ia punya, permainan ekspresi wajah yang datar dan mengganggu, bersama suara yang menciptakan kondisi ambigu pada karakternya. Sedangkan Alexander Skarsgaard memang punya karisma, namun tidak memiliki power yang cukup besar untuk menimbulkan tekanan yang menakutkan. Sedangkan Ellen Page mampu bermain sebagai sosok yang menjaga api ambisi yang diusung kelompok tetap hadir dalam cerita.


Overall, The East adalah film yang cukup memuaskan. Sejak awal sudah mampu untuk menarik perhatian penontonnya, menghadirkan misteri yang kuat ditemani pertanyaan yang mengundang ambiguitas, sayangnya punya pergerakan cerita yang kurang bebas dan menggerus daya tarik, walaupun dikemas dengan rapi dan intens. Dibandingkan dengan Sound of My Voice, ini lebih besar, lebih matang tentunya, namun tidak lebih menarik.



2 comments :

  1. Kak rorypnm review I origins, dibintangi brit marling juga. Kayaknya gue udah mulai suka dech ama dia, ditunggu yaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sulit, karena I Origins sudah pernah saya tonton, dan itu sudah lama banget, sudah lupa plus dan minus film tersebut. :)

      Delete