20 November 2021

Movie Review: Beans (2020)

"If you can't feel pain, then no one can hurt you."

Teman akan lebih bermakna dari orangtua bagi seorang anak yang sedang beranjak masuk ke dalam fase pubertas dalam hidupnya, momen ketika rasa ingin tahu untuk mencoba berbagai hal baru seperti meloncat tinggi. Namun karena masih absennya kemampuan untuk memilah apakah yang tampak menyenangkan itu sepenuhnya baik dan tepat kerap muncul gesekan antara si anak dan orangtua, larangan lantas dianggap sebagai sesuatu yang negatif oleh si anak yang kemudian mencoba untuk memberontak. Transisi dari remaja menuju early adulthood kerap dijadikan bahan oleh para filmmaker untuk bercerita, film ini merupakan salah satu dari mereka yang tahu cara mengolahnya. ‘Beans’ : a medium well coming-of-age drama.


Mobil yang dikemudikan wanita bernama Lily (Rainbow Dickerson) sedang menuju ke sebuah sekolah di mana ia akan mengantar anak perempuannya untuk menjalani test atau ujian masuk. Nama remaja perempuan itu Beans (Kiawenti:io Tarbell) dan ia memang telah ditargetkan oleh Lily dan suaminya untuk dapat diterima di salah satu sekolah favorit. Sayangnya ujian hari itu tidak berakhir baik, setelah mencoba “kabur” dari April (Paulina Jewel Alexis), Hank (D’Pharaoh Woon-A-Tai) dan dua remaja lainnya ketika sedang bermain di tepi sungai dengan adiknya Ruby (Violah Beauvais), remaja dengan nama asli Tekahentahkhwa itu kemudian dihadapkan pada situasi sulit dari sang Ayah, Kania’Tariio (Joel Montgrand).

Kania’Tariio bertanya apakah Beans memang benar-benar mau masuk ke sekolah favorit itu atau hanya karena arahan dari Lily? Pertanyaan tersebut ternyata hinggap dan diam di dalam pikiran Beans, yang di sisi lain juga menjadi penasaran dengan rasanya menjalani usia remaja seperti April, Hank, dan anggota kelompok mereka. Beans kemudian mencoba untuk tampil seperti April, menanggalkan kesan “polos” yang ia miliki dan berubah menjadi lebih trendy, ia juga minta bantuan April untuk mengajari agar terlihat keren. Aksi Beans itu membawa rentetan masalah lain tidak hanya bagi Lily yang sedang hamil tapi juga bagi keluarga, karena sedang terjadi pertikaian antara pemerintah Kanada dan komunitas mereka, the Mohawk people.

Sejak pertama kali bertemu dengan Tekahentahkhwa, oke di sini kita sebut dengan nama Beans, ada kombinasi yang menarik di sana, ia tampak gugup ketika kamera menyorotnya dari sisi luar mobil yang sedang melaju namun dia langsung berubah saat wawancara di kandidat sekolahnya itu. Kegagalan di awal itu langsung ditunjuk oleh Sutradara Tracey Deer sebagai clue pertama bagaimana karakteristik dari Beans yang meminta maaf namun sang Ibu justru menganggap bahwa anak perempuannya itu gagal karena kurang dilatih olehnya. Beans adalah seorang anak perempuan usia remaja yang masih “mentah” baik secara mental maupun emosi, sikap canggungnya saat bersosialisasi dengan teman-teman merupakan dampak dari sistem yang telah diterapkan oleh kedua orangtuanya.


Tapi bukan itu yang coba didorong oleh Tracey Deer dalam script ia tulis bersama Meredith Vuchnich, sistem mendidik anak yang digunakan oleh Lily dan suaminya menjadi semacam akar dari munculnya gejolak batin di dalam diri Beans, something yang lantas berkembang dengan cepat dan cenderung liar. Berbagai macam aturan membuat Beans merasa seperti dikekang, sesuatu yang terasa menarik untuk coba dihancurkan oleh para remaja yang sedang masuk atau berada di masa pubertas. Itu dibentuk oleh Tracey Deer agar berjalan berdampingan dengan krisis yang sedang terjadi di kota Oka, Quebec, Kanada, menempatkan Beans dan keluarga serta rekan mereka sesama Mohawk dalam tekanan yang besar. Menempatkan Lily sebagai Ibu yang sedang hamil juga merupakan ide yang sangat baik bagi emosi di dalam cerita.

Ya, emosi. Tracey Deer memang menyelipkan rekaman berita pada saat Oka Crisis atau yang dikenal pula dengan sebutan the Kanesatake Resistance terjadi di tahun 1990, kerasnya gesekan antara group of Mohawk people dengan pemerintah Kanada yang juga mengandung isu rasisme di dalamnya punya andil dalam terciptanya atmosfir mencekam di dalam cerita. Apalagi di sini Tracey Deer memilih untuk all out atau tidak bermain aman dalam penggunaan umpatan, berbagai macam kata-kata kasar kerap berterbangan di dalam narasi yang juga ikut andil membentuk sisi baru dalam diri karakter utama. Namanya sebagai judul film maka jelas spotlight tertuju ke arahnya, Beans adalah proses pertumbuhan emosi seorang Beans sedang ingin tahu tentang banyak hal agar tampak keren dan diterima oleh anak-anak lain seusianya.


Dan events tersebut sama “kasarnya” dengan peristiwa yang juga sedang bergulir di sampingnya, yakni Oka Crisis tadi. Tracey Deer mengemas dengan baik dan tertata rapi proses belajar yang dijalani Beans, di satu sisi ia kehilangan arah sementara di sisi lain nilai penting sebuah keluarga tetap eksis pula sebagai penyeimbang. Di satu momen Beans melihat Lily dan Ruby menangis ketakutan tapi rasa ingin melindungi justru melepas keluar amarah Beans dari kandangnya. Saya berulang kali tersenyum tiap kali Beans bermain tarik dan ulur dengan emosi dan perasaannya itu, layaknya seorang remaja yang sedang beranjak dewasa ada keinginan pembuktian diri yang sangat besar di dalam diri Beans, act tough supaya terlihat keren misal, tapi ia juga tidak lepas dari masih absennya kemampuan untuk mengendalikan diri.

Hal tersebut yang membuat peran Oka Crisis di dalam cerita berjalan dengan baik, tidak hanya sebatas sebagai alat bagi Tracey Deer untuk sedikit berbicara tentang isu rasisme namun juga menjadi arena bagi seorang remaja yang jatuh lalu berjuang untuk kembali utuh. Berbagai macam ciri khas masa puberty juga dibentuk Tracey Deer dengan manis, hadir dalam bentuk tahapan dengan puncaknya sebuah ledakan yang oke, sebuah character study yang konsisten mengarahkan fokus pada konteks utama gejolak emosi Beans, bagaimana ia berubah karena realita keras dan buruknya hidup yang memperkenalkan diri kepadanya. Terasa mudah untuk dinikmati karena meski latar belakang waktu peristiwa terjadi di tahun 1990 namun isu dan konflik masih terasa relevan hingga kini, lengkap dengan isu politisnya.


Seandainya script mampu menyuntikkan kualitas yang lebih baik lagi bagi karakter pendukung mungkin posisi akhir film ini bisa lebih tinggi, karena punch akhir yang dihasilkan tergolong oke baik pada kisah coming-of-age maupun social commentary. Saya terus merasa terikat dengan Beans tapi lebih karena urgensi pada narasi yang dikendalikan dengan baik, sedangkan di sekitarnya bisa terlihat dengan mudah ada beberapa bagian atau elemen yang terasa kurang dipoles dengan baik dan bersumber dari karakter di luar Beans. Karakter utama kita itu sendiri diperankan dengan baik oleh Kiawentiio Tarbell (or Kiawenti:io), sebuah debut akting layar lebar yang tampak menjanjikan dan mungkin menjadi salah satu faktor terpilihnya ia sebagai pemeran Katara in Netflix's upcoming live-action adaptation of Avatar: The Last Airbender.

Overall, ‘Beans adalah film yang memuaskan. Diceritakan dari perspektif seorang yang berasal dari Mohawk family ‘Beans’ menggunakan Oka Crisis secara bijak untuk berkomentar tentang rasisme yang masih eksis di dunia saat ini, namun di sisi lain juga sebagai arena berbagai isu dan pesan menarik lain seperti integritas hingga keluarga, ikut berbicara via proses pencarian jati diri seorang remaja wanita yang masih “mentah” secara mental dan emosi, mencoba memahami nilai-nilai moral dalam kehidupan di tengah situasi mencekam yang memaksanya jatuh dan bangun. Meski tidak menghasilkan punch akhir yang terasa kuat, lebih ke arah tepat sasaran, namun dengan narasi penuh urgensi Tracey Deer telah berhasil menambah panjang daftar film coming-of-age yang manis dan memorable. Segmented.






1 comment :

  1. “This world has one race in it, and that is the human race!”

    ReplyDelete