02 February 2022

Movie Review: Being the Ricardos (2021)

“I need you to help me save my marriage.”

Ketika kamera telah diinstruksikan rolling dan kata “action” terucap dari Sutradara, maka seorang aktor atau pemeran harus telah menjadi karakter yang ia mainkan dan mengesampingkan hal lain yang tidak berkaitan dengan lakon yang berlangsung itu. Hal tersebut mungkin terkesan simple namun sebenarnya tidak mudah apa lagi jika “hal lain” tadi berkaitan dengan masalah personal yang di dalamnya emosi serta amarah telah berkuasa. Sama seperti judulnya karakter utama film ini mencoba untuk tetap menjadi karakter yang ia perankan di sebuah television sitcom populer tidak peduli pada fakta bahwa dirinya mengalami guncangan akibat berbagai macam masalah yang seolah sengaja datang bersamaan. Being the Ricardos’: hit cruising altitude at peace.


Di awal tahun 1950-an toko-toko di USA yang selalu buka beberapa jam lebih lama pada hari Senin untuk memungkinkan penduduk yang bekerja berbelanja mendadak harus kehilangan pelanggan. Penyebabnya bukan wabah atau pandemik melainkan sebuah television sitcom berjudul "I Love Lucy" yang mengisi slot prime time di hari senin malam sejak tahun 1951. Banyak penduduk USA kala itu memilih duduk depan televisi mereka di hari senin malam untuk menyaksikan kisah rumah tangga yang berpusat pada pasangan suami istri, Lucy Ricardo (Lucille Ball) dan suaminya Ricky Ricardo (Desi Arnaz) yang merupakan seorang penyanyi.

Di kehidupan nyata Lucille Ball (Nicole Kidman) dan Desi Arnaz (Javier Bardem) juga menjalin hubungan asmara dan salah satu hal istimewa yang mereka miliki adalah baik itu rekan mereka sesama aktor William Frawley (J.K. Simmons) dan Vivian Vance (Nina Arianda), hingga tiga lead writers Jess Oppenheimer (Tony Hale), Madelyn Pugh (Alia Shawkat), dan Bob Carroll Jr. (Jake Lacy) tidak ada satupun yang berani untuk melawan Luci dan Desi, termasuk para petinggi CBS. Pusat masalah ada pada Lucille yang perfeksionis, ia ingin semua ditampilkan sesuai dengan apa yang ada di dalam pikirannya dan apa yang ia rencanakan, termasuk urusan pernikahannya.

Ketika berkaitan dengan penggambaran “keributan” yang terjadi di belakang layar proses sebuah event maka Aaron Sorkin is the grandmaster, ‘The Social Network’, ‘Moneyball’, ‘Steve Jobs’, ‘Molly's Game’ dan ‘The Trial of the Chicago 7’ adalah bukti kepiawaian sosok yang memulai karirnya sebagai playwright itu mengembangkan plot with significant arcs, to the point with enriched detail. Sorkin seolah memiliki sebuah metode yang sudah ia patenkan dan sangat kuat saat merangkai cerita dalam bentuk script, terutama dalam menggabungkan unsur politik dengan personal issue karakter utamanya yang lalu mendorong beberapa pertanyaan yang menarik untuk diperbincangkan. Kadang pertanyaan dan pesan yang diusung tampak tidak rumit dari luar tapi jika ditelisik lebih jauh menjadi materi menarik untuk diskusi.


Formula dan pola tersebut kembali terjadi di karya terbarunya ini, dan juga menjadi film ketiga bagi Aaron Sorkin duduk di bangku Sutradara. Pusat alur cerita kali ini mengambil proses produksi salah satu episode dari television sitcom yang sempat merajai televisi di era tahun 1950-an, yakni I Love Lucy, dari proses table-read hingga tapping penonton dibawa menyaksikan permasalahan yang pada awalnya bertumpu pada ide kreatif. Aaron Sorkin dengan cerdik menyelipkan personal issue karakter berupa kehamilan Lucille Ball, belum bayi itu lahir sudah ada masalah yang lahir dan membuat pusing para petinggi dan sponsor. Dari sana narasi kemudian bergeser ke konflik yang lebih rumit terkait pernikahan dan isu komunis, semuanya dibalut oleh Aaron Sorkin dengan sikap optimis tinggi yang ia lekatkan pada sosok Luci dan Desi.

Being the Ricardos langsung mencuri atensi sejak awal karena itu, karena Sorkin bangun perkenalan karakter dengan baik bertumpu pada karakter seorang Luci yang tampak menginginkan segala sesuatu yang terjadi di panggung saat kamera telah berputar sesuai dengan apa yang ia bayangkan dan inginkan, bahkan untuk posisi duduk karakter lain. Kamu dibuat merasakan tarik dan ulur dengan karakter Luci, ia memang tampak menjengkelkan tapi Sorkin tidak membuat ada celah bagi penonton untuk membenci aksi Luci. Karena di balik sikapnya itu Luci punya pesona seorang wanita yang tahu keinginanny dan bagaimana cara meraihnya, pesona tangguh yang meyakinkan dan membuat penonton merasa tertarik untuk duduk berada di belakangnya, untuk ikut mendukungnya, sama seperti aksi yang ditunjukkan Desi.


Tiap karakter sendiri dibangun dengan baik sesuai dengan kapasitasnya namun jelas peran Desi Arnaz ada di kelas yang berbeda jika dibandingkan karakter pendukung lainnya, dan ketika pondasi awal yang memanfaatkan spotlight tertuju pada sifat Luci telah terbentuk maka ekposisi mulai bergeser dengan melibatkan Desi semakin jauh. Desi memang kerap mengambil posisi satu langkah di belakang ketika istrinya tersebut sibuk dengan perdebatan bersama production team seperti series creator, producer, and head writer, dan perannya adalah sebagai seorang “yes man” namun ternyata merupakan senjata rahasia yang disimpan oleh Aaron Sorkin. Menyelipkan beberapa anekdot menarik untuk menggambarkan betapa terkenalnya I Love Lucy kala itu, sungguh pintar seorang Aaron Sorkin merangkai build up menuju momen yang terjadi sesaat sebelum shooting episode 68 di tahun 1953 tersebut.

Saat bertemu dengan Luci dan melihat sikapnya saya yang ketika menonton belum tahu sejarah di balik kisah nyatanya dibuat menantikan “ledakan” macam apa yang akan Luci ciptakan. Karena memang gesekan selalu berasal dari rasa tidak puas Luci terhadap beberapa bagian dari proses produksi, apakah ia akan memarahi penulis atau justru memecat Sutradara? Luci punya kuasa jadi tidak heran jika bomb waktu yang tampak berbahaya itu mengarah pada sikap perfeksionisnya. Sorkin hadirkan itu dengan signature miliknya, yakni dialog cepat dipenuhi memorable lines, small talk and banter with whimsical spice. Pacing oke begitupula character development, namun ternyata ada kejutan lain di sana dan saya suka koneksi yang dibangun oleh Aaron Sorkin ternyata merupakan sebuah benang merah yang menggambarkan apa yang terjadi di dalam pikiran dan hati Luci.

 

Memang tidak dieksploitasi terlalu jauh olehnya namun eksekusi yang Sorkin sajikan justru tidak hanya membuat pesona Luci terasa kuat di akhir saja tapi juga menjadi sebuah penutup sederhana yang manis bagi gejolak batin yang selama ini ternyata menggelayuti dirinya tersebut. Ada punch simple tapi kuat di akhir ketika penonton diberi tahu bagaimana kisah itu berakhir di dunia nyata, mengagumi sosok yang di awal lebih condong tampak seperti wanita angkuh dan arogan padahal ternyata dia dan Desi telah memelopori sejumlah metode yang masih digunakan dalam produksi program televisi hingga saat ini, seperti shooting di depan penonton studio langsung dengan lebih dari satu kamera. Sorkin juga berhasil kembali menghindar dari his habit yang kerap membuat naskah berkembang menjadi terlalu berat, meski ada efeknya.

Sejak awal hingga akhir ‘Being The Ricardos’ konsisten tampil menghibur tapi kali ini terulang lagi kondisi di mana Sorkin kesulitan membagi fokus, script konsisten kuat tapi tidak dengan eksposisi. Forces yang dihasilkan narasi berkurang di akhir sedangkan beberapa subplot terasa kurang atraktif, durasinya cukup besar tapi ada beberapa bagian yang terasa kurang tergali terutama pada konflik pusat, pernikahan Luci dan Desi. Seandainya hal terakhir tadi saja bisa diberikan ruang yang lebih luas lagi mungkin final punch akan terasa lebih memukau, sama bersinarnya seperti kinerja akting Nicole Kidman yang membuat Lucille seperti dua orang, ketika kamera telah rolling dan saat kamera berhenti dengan karakterisasi yang kuat dan memikat di kedua sisi, sedangkan Javier Bardem menyuntikkan stage presence yang kuat pada Desi Arnaz setiap kali muncul di layar.

Overall, ‘Being the Ricardos adalah film yang memuaskan. Menggunakan metode andalannya Aaron Sorkin berhasil menyajikan cerita menarik yang menggabungkan unsur politik dengan personal issue karakter dan beberapa pertanyaan yang menarik untuk diperbincangkan, dengan mengambil setting utama proses produksi sebuah television sitcom. Small talk and banter with whimsical spice, narasi penuh dengan gesekan yang hadir dalam dialog cepat serta pacing oke, semakin lengkap karena character development juga sama baiknya dan menunjang kinerja akting para aktor hingga berakhir dengan punch simple namun kuat. Memang bukan film terbaiknya namun jelas 'Being the Ricardos' menjadi entri yang manis bagi upaya Aaron Sorkin yang tampaknya semakin nyaman duduk di bangku Sutradara.







1 comment :

  1. “If I'm gonna die, I would rather die standing up.”

    ReplyDelete