30 April 2016

Review: Green Room (2016)


"This’ll be over soon, gentlemen."

Ketika muncul Blue Ruin berhasil meraih begitu banyak pujian dan menjadikannya sebagai a must-watch thriller, sebuah pendekatan minimalis terhadap isu balas dendam yang kokoh namun liar. Dua tahun kemudian sang sutradara, Jeremy Saulnier, mencoba untuk kembali mengulang kesuksesan tersebut, masih dengan konsep minimalis yang kokoh dan juga liar namun kali ini menghadirkan hal tersebut dalam pertempuran Punk vs Nazi berisikan interogasi terhadap subjek ditemani dengan kekerasan ciri khas semangat film eksplotasi klasik. Mencengkeram sejak awal hingga akhir, Green Room adalah sebuah sajian thriller horror yang tidak “biasa”.

Band Rock Punk "The Ain't Rights" yang beranggotakan bassist Pat (Anton Yelchin), gitaris Sam (Alia Shawkat), drummer Reece (Joe Cole), dan vokalis Tiger (Callum Turner) suatu ketika mendapatkan jadwal manggung dadakan di sebuah lokasi terpencil di Portland. The Ain't Rights memilih lagu Nazi Punks Fuck Off sebagai salah satu lagu yang akan mereka tampilkan, namun celakanya tempat tersebut merupakan bar neo-Nazi. Mencoba kabur dari amarah para anggota band menyaksikan pembunuhan brutal di ruang hijau, terperangkap bersama wanita bernama Amber (Imogen Poots) dan berusaha mencari jalan keluar dari tempat yang telah dikelilingi milisi bersenjata di bawah pimpinan Darcy Banker (Patrick Stewart). 


Dengan menggunakan dasar yang begitu kental dari film-film eksploitasi klasik Green Room adalah sebuah kemasan horror thriller yang begitu mencengkeram, dan itu datang dari sebuah plot yang begitu sederhana. Jeremy Saulnier kembali berhasil melakukan apa yang pernah ia lakukan di Blue Ruin, membuat kisah yang tampak sederhana namun memiliki realisme yang begitu memikat sehingga rasa mengerikan yang ingin ditampilkan oleh cerita berhasil tersampaikan dengan baik. Dengan karakter yang terjebak lalu mencoba mencari jalan keluar Green Room menyajikan sebuah lingkaran setan dengan thrill yang menyenangkan untuk diikuti, menyaksikan karakter putus asa dan berjuang mempertahankan hidup mereka ditemani dengan rasa gelap yang mengganggu untuk memperdalam situasi mendesak dari cerita.




Hal terbaik dari Green Room adalah pendekatan dari Saulnier yang mampu membangun karakter dan juga momentum cerita meskipun menggunakan konsep yang sangat fundamental. Dari segi cerita Green Room pada dasarnya adalah kisah tentang sebab dan akibat yang ditemani dengan kekerasan intens yang begitu familiar, dan di tangan yang kurang tepat komposisi tadi sangat mudah untuk jatuh menjadi sebuah thriller yang monoton terlebih jika menggunakan ruang sempit sebagai arena main. Green Room berbeda, Saulnier memang menempatkan setting yang minimalis tapi itu ia gunakan untuk menciptakan shock yang begitu maksimum. Itu unik karena walaupun memiliki beberapa humor yang oke namun Green Room tidak pernah kehilangan cengkeramannya dalam hal mengikat penonton bersama rasa ngeri.




Selain mampu menangani cerita dengan baik Saulnier juga berhasil memanfaatkan karakter dengan cermat. Alasan mengapa Blue Ruin terasa menyegarkan karena penonton dibuat merasa dekat dengan Dwight Evans, dan di sini hal tersebut kembali berhasil Saulnier tampilkan. Di awal kita dibawa untuk merasa dekat dengan karakter, kita memahami dan bersimpati pada situasi yang mereka hadapi, dan dampaknya situasi berbahaya yang sedang terjadi akan membuatmu terus merasa waspada. Saulnier juga pintar dalam mencampur hitam dan putih, kita tahu bahwa karakter melakukan kesalahan lewat hubungan sebab dan akibat tadi tapi rasa frustasi yang bertumpu pada proses negosiasi itu merangkul penonton untuk menginginkan para anggota band dan wanita asing tadi untuk dapat selamat.




Itu satu hal menarik lainnya, Saulnier seperti mempermainkan beberapa isu lain dengan melepas penonton sembari bertanya-tanya meskipun di sisi lain ia tetap mempertahankan sisi intens cerita. Saulnier berhasil memperhitungkan komposisi dari setiap elemen yang ia miliki, sebuah skenario “nightmare” dengan sedikit menggabungkan interogasi terhadap subjek. Hal serupa ia lakukan di bagian akting, semua karakter inti tampak menarik karena diberikan tugas dalam mempertahankan rasa “bahaya” di dalam cerita. Para anggota band seperti sebuah kesatuan yang saling membantu, begitupula dengan para aktor yang berada di sisi lainnya, mereka tampil oke di bawah pimpinan Patrick Stewart. Patrick Stewart adalah bintang utama di sini, ia tampil sebagai pemimpin patriarki yang tampak tenang namun mampu menebar rasa menakutkan, ada kesan kejam di balik ekspresinya yang sendu itu.


Green Room memang tidak membuktikan bahwa Jeremy Saulnier telah menciptakan loncatan yang besar dalam karirnya namun sekali lagi membuktikan bahwa ia merupakan sosok yang begitu ahli dalam mengolah materi dasar yang biasa menjadi sebuah hiburan yang asyik dan terasa segar. Green Room adalah sebuah thriller berbalut horror yang sangat efektif, menggunakan semangat film eksplotasi klasik sembari menyuntikkan beberapa isu tanpa pernah lupa pada tujuan utamanya sejak awal, memberimu sebuah petualangan psikologis yang engaging bersama kekerasan brutal dengan energi dan kekuatan cengkeram yang begitu stabil tampil menarik hingga akhir.






















Thanks to rory pinem

1 comment :