30 January 2021

Movie Review: The Trial of the Chicago 7 (2020)

“The whole world is watching!”

Masa kepimpinan Donald Trump sangat memorable, huh? Slogan kampanye yang ia  gunakan adalah “Make America Great Again” namun banyak orang menilai bahwa di bawah kepimimpinannya kala itu Amerika Serikat justru jatuh ke dalam political and cultural crisis, secara implisit ia menerapkan sistem lèse-majesté sehingga begitu banyak terjadi kerusuhan, bukan tidak mungkin beberapa di antaranya merupakan coup d'état. Tidak ada koneksi langsung memang tapi film ini membuat saya teringat dengan Donald Trump, saat sistem hukum yang eksis justru membuat kamu marah dan tertawa, karena tidak hanya pidana dan perdata saja, juga ada politik di sana. ‘The Trial of the Chicago 7’: this is America, don't catch you slippin' now.


Partai Demokrat memilih kota Chicago sebagai tempat konvensi nasional mereka di tahun 1968 dan salah satu agendanya pencalonan kembali Presiden Lyndon Johnson sebagai kandidat Presiden. Hal tersebut telah diantisipasi oleh banyak orang salah satunya adalah the National Mobilization Committee to End the War in Vietnam (MOBE), yang dikomandoi oleh David Dellinger (John Carroll Lynch) dan membuka kantor mereka di Chicago, dikelola oleh Rennie Davis (Alex Sharp) dan Tom Hayden (Eddie Redmayne). MOBE tidak sendiri karena ada the Yippies di bawah arahan Jerry Rubin (Jeremy Strong) dan Abbie Hoffman (Sacha Baron Cohen).

Counterculture group the Youth International Party juga berencana melakukan hal serupa dan tim itu semakin lengkap dengan bergabungnya John Froines (Daniel Flaherty) serta Lee Weiner (Noah Robbins). Celakanya tujuh orang tersebut dituduh mencoba menghasut dan menciptakan kerusuhan, mereka ditangkap dan menjalani proses pengadilan bersama Bobby Seale (Yahya Abdul-Mateen II), ketua Black Panther Party. Richard Schultz (Joseph Gordon-Levitt) beserta Tom Foran (J. C. MacKenzie) ditunjuk oleh Jaksa Agung sebagai Jaksa Penuntut, sementara itu semua terdakwa, kecuali Seale, diwakili oleh William Kunstler (Mark Rylance) dan Leonard Weinglass (Ben Shenkman).

Ah, saya lupa menyebut satu nama pada sinopsis di atas, nama yang mungkin porsi peran yang ia miliki tidak semencolok karakter lain namun mampu menjadi jangkar yang oke bagi cerita, yakni Judge Julius Hoffman (Frank Langella). Penguasa yang menjadi target dari upaya aksi protes memang tidak mendominasi layar namun kita punya Julius Hoffman sebagai wakil bagi mereka, perwakilan yang saya rasa sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan apa yang ingin Sutradara dan Screenwriter Aaron Sorkin coba sampaikan di sini. Sorkin membentuk ini sebagai sebuah legal drama, lengkap dengan berisikan runtutan dan juga proses persidangan, membawa penonton menyaksikan sebuah bentuk siksaan yang ia bakar secara perlahan.


Dan bertahap. Aaron Sorkin tentu sadar bahwa cerita yang ia tulis mengandung isu menarik tapi dia tidak membuat isu tersebut untuk langsung menarik dengan cepat penonton agar masuk ke dalam “dunia” yang sedang bergejolak tersebut, justru kita berjalan bersama sebuah proses yang diurai dengan baik dan dikembangkan dengan menarik. Salah satu karakter mengatakan bahwa terdapat dua jenis pengadilan, yakni pengadilan perdata di mana hanya berdampak langsung bagi para pihak yang terlibat dan tidak berakibat secara langsung pada kepentingan umum, sedangkan pengadilan pidana mencakup tindak pidana yang berdampak buruk terhadap kesejahteraan, ketentraman, keamanan, dan ketertiban umum di masyarakat.

Dan dari sana api mulai berkobar. Dari awalnya tampak seperti aksi dari beberapa “pejuang keadilan” untuk melakukan aksi protes fokus perlahan mulai bergeser ke arah bagaimana sistem hukum yang kotor merupakan salah satu sumber luka bagi masyarakat. Pengadilan pidana, pengadilan perdata. Apakah ada pengadilan politik? Aaron Sorkin dorong isu tersebut agar menjadi semacam perahu bagi berbagai isu lain untuk ikut bergerak cepat di sungai yang mengalir deras. Mengalir deras menuju titik akhir berupa air terjun di mana semua jatuh dan "hancur." Aaron Sorkin paham bahwa ketika berbicara tentang pemberontakan maka ada rakyat yang telah “bosan” dengan sistem yang ada dan mencoba melakukan perubahan. Ia dorong itu menjadi solar.


Untuk membuat perjuangan meraih keadilan semakin berkobar? Betul, tapi uniknya tanpa membuat dua pihak yang sedang bertarung tampak jelas siapa yang salah dan siapa yang benar. Dengan “keterbatasan” yang ia punya Judge Julius Hoffman akan membuatmu perlahan terbakar amarah, tapi yang ia lakukan di sisi lain merupakan bagian dari sistem hukum. Ya, and now here's where things got weird, ketika para terdakwa yang tampak seperti para pejuang tersebut tadi juga dibentuk ambigu agar membuat penonton tidak sepenuhnya yakin bahwa mereka tidak bersalah. Dari sana muncul kombinasi berupa pertarungan yang berisikan keahlian Aaron Sorkin, yakni dialog dengan fast-paced yang sesekali melempar humor menggelitik yang punchy.

Di sini Aaron Sorkin sebenarnya hanya mencoba menjadi Aaron Sorkin yang gemar mengisi narasi dengan proses investigasi, negosiasi, kemudian ada affair dan sedikit permainan strategi. Ia akan bawa kamu dari titik A untuk berpindah cepat menuju titik C, lalu sedikit mundur ke titik B untuk kemudian loncat ke titik E, di mana titik A adalah awal dan titik Z adalah akhir. Detail kecil ia tampilkan seperti aksi ejek satu sama lain antar karakter, di sisi lain permainan visual juga menjadi senjata andalan di mana tampil dengan ritme yang menyenangkan berkat editing yang ciamik. Saking dinamis-nya narasi yang mengikat atensi namun tetap menciptakan kesan ringan itu di satu titik saya tersadar bahwa ini sebenarnya membawa isu yang tidak ringan.


Isu tentang keadilan sosial yang timpang merupakan materi dasar cerita yang selalu tampak menarik, tapi yang kerap membuat berkesan adalah penyampaiannya yang mampu menciptakan kesan segar. Itu kunci sukses ‘Parasite’ dan saya menemukan hal tersebut di sini, plays squarely Aaron Sorkin merancang dengan cerdik agar tidak ada kesan bahwa proses peradilan itu adalah upaya mengemis keadilan, yang terjadi justru perjuangan awal untuk menegakkan keadilan. Ekspresi wajah serta sorotan mata Richard Schultz mewakili perubahan tersebut, dikemas edgy but unsettling oleh Sorkin, seolah ada sebuah bom waktu atau dinamit yang siap meledak kapan saja. Aneh, karena narasi ringan dan terasa santai meski bergerak cepat.

Dialog bermain di sana. Aaron Sorkin pintar dalam membentuk berbagai baris dialog yang mampu tampil efektif dalam menyengat pikiran penonton, dari bagaimana para terdakwa di penjara bukan karena kesalahan mereka tapi karena mereka telah dipilih untuk dipenjara, hingga tentu saja kalimat “there's no such thing as a political trial.” Meski sesekali tampil witty tapi dialog tidak pernah kehilangan energi, mereka saling bahu membuat narasi terasa semakin padat dan rumit, bergerak dinamis dan terasa kompulsif. Semua ditangani dengan baik oleh Sorkin terutama dalam menjaga agar atmosfir, mood, dan tone cerita terasa konsisten, dibantu film editing yang manis mereka terasa padat untuk menunjang karakter dalam menampilkan emosi.


‘The Trial of the Chicago 7’ merupakan sebuah thought-provoking drama dan hal itu tercapai tidak lepas dari emosi yang ditampilkan oleh tiap karakter. Saya sulit untuk menyebut satu per satu secara detail karena ruang pengadilan itu merupakan sebuah panggung sandiwara bagi aktor untuk bersinar. Frank Langella dan Joseph Gordon-Levitt tampil efektif, sedangkan Eddie Redmayne, Yahya Abdul-Mateen II, dan Jeremy Strong hadir ketika karakter mereka dibutuhkan di momen penting. Yang bersinar sedikit lebih terang ada dua, yakni Mark Rylance yang notabene punya porsi sedikit lebih besar dan ia gunakan dengan sangat baik, serta Sacha Baron Cohen yang lebih kepada kesuksesannya membuat Abbie Hoffman sebagai sosok eksentrik dan lucu tapi menghujam penonton dengan emosi yang kuat di salah satu momen cerita.

Overall, ‘The Trial of the Chicago 7’ adalah film yang sangat memuaskan. Lewat legal drama ini Aaron Sorkin menunjukkan kepada penonton bahwa ia tidak hanya pintar menulis script, ia juga punya visi yang semakin kuat dalam menerjemahkan cerita menjadi sebuah sajian visual. Kisah nyata di film ini terjadi 52 tahun yang lalu tapi mengapa isu dan pesan yang ditampilkan masih terasa familiar? Karena “dunia” itu masih bergejolak dan Aaron Sorkin hadirkan sebuah alarm yang segar, dalam gerak cepat dan dinamis namun tetap mampu tampil kompulsif, rumit namun ringan, edgy and punchy but also unsettling. It’s stupefyingly awesome.







1 comment :

  1. “If you don't win elections, it doesn't matter what's second.”

    ReplyDelete