25 June 2022

Movie Review: Keluarga Cemara 2 (2022)

♪♪ Harta yang paling berharga adalah keluarga… ♪♪

Perubahan jelas sesuatu yang tidak bisa dielakkan dalam proses menjalani hidup, beberapa akan terasa indah tapi tidak sedikit pula yang membutuhkan emosi lebih besar untuk dapat menemukan solusi dan selesai. Karena tidak hanya manis namun juga ada realita yang pahit, tidak peduli tua maupun muda akan memaksamu untuk belajar dan tentu saja bertumbuh menjadi lebih baik lagi. Bahkan di dalam sebuah keluarga sekalipun, introspeksi diri dan saling memahami kerap tenggelam ketika anggota keluarga hanyut di dalam ego dan juga kepentingan mereka masing-masing. Bukankah kebersamaan menjadi salah satu hal penting di dalam istana yang paling indah yang kita sebut keluarga? ‘Keluarga Cemara 2’: kompak dan berseri indah.


Berhasil mengatasi permasalahan penipuan yang lantas membuat mereka harus pindah ke sebuah desa, Abah (Ringgo Agus Rahman) bersama Emak (Nirina Zubir) kini berusaha untuk bangkit kembali di masa pasca pandemi. Begitupula dengan dua anak perempuan mereka, Euis (Adhisty Zara) dan Cemara (Widuri Putri Sasono) yang telah memiliki adik baru bernama Agil (Niloufer Bahalwan), yang giginya sedang mau tumbuh dan rewel, membuat Emak kewalahan. Emak sendiri punya rencana untuk mencoba berjualan makanan, sedang coba dibantu oleh Ceu Salmah (Asri Welas).

Di sisi lain Abah juga baru saja mendapatkan pekerjaan di tempat peternakan ayam, yang lantas membuatnya tidak bisa lagi rutin mengantar jemput Ara. Celakanya hal itu juga tidak bisa lagi dilakukan oleh Euis, ia bahkan meminta untuk pisah kamar tidur dengan Ara. Melihat Abah, Emak, dan Euis punya kesibukan masing-masing lantas membuat Ara merasa sedih, karena mereka tidak menepati janji. Suatu hari bersama teman barunya, Ariel (Muzakki Ramdhan), Ara menemukan seekor anak ayam yang tersesat di tepi jalan, dan Ara pun berjanji pada anak ayam itu untuk membawanya kembali ke rumah aslinya.

Sebagai sebuah sekuel jelas tugas utama film ini adalah melanjutkan kisah di film pertama yang rilis kurang lebih sekitar empat tahun yang lalu, film yang tergolong berhasil membentuk pondasi baru bagi kisah “Keluarga Cemara” yang sebelumnya lebih dikenal sebagai keluarga kecil di layar kecil saja, alias sinetron. Konsepnya pun terasa oke di film pertama, bagaimana keluarga yang hidup “aman” di hiruk pikuk kota Jakarta suatu ketika dihadapkan pada masalah yang lantas memaksa mereka pindah ke sebuah desa di daerah Jawa Barat. Adaptasi dan perjuangan untuk dapat bangkit kembali menjadi mesin penggerak utama di film tersebut yang sukses pula dalam menyajikan point paling penting yang ingin mereka tampilkan, yakni bahwa harta yang paling indah adalah kelurga. Point itu ternyata kembali digunakan di sini.


Tapi sebagai sebuah kelanjutan jelas harus ada perkembangan di dalam kehidupan karakter, dan meskipun masih mengusung pesan utama yang sama namun terdapat beberapa tweak manis yang diterapkan di sini. Dan skenario itu berhasil, walaupun memang ada sedikit kesan memaksa masuk logika anak kecil kepada mereka yang telah ada di rentang usia dewasa. Sumbernya adalah seekor anak ayam yang lantas diberi nama Neon, bagaimana ia tersesat karena tidak tahu arah pulang digunakan untuk mendorong masuk pesan utama tadi. Menariknya tidak secara langsung tapi bertahap, sedikit memutar dengan menggunakan beberapa konflik yang kemudian berkombinasi di babak akhir. Kembali lagi bahwa skenarionya mungkin akan terasa menggelikan bagi beberapa kalangan penonton, tapi dikemas apik oleh Irfan Ramly.

Namanya juga film untuk anak-anak, ngak semua masuk akal, dan konsep tersebut diterapkan oleh Irfan Ramly di dalam cerita, yang bagi saya sukses meneruskan apa yang telah diletakkan oleh Ginatri S. Noer bersama Yandy Laurens di naskah film pertama. Pekerjaan mengembangkan cerita ke dalam babak baru sebenarnya bukan hal baru bagi Irfan, ‘Love for Sale 2’ adalah lanjutan yang manis bagi film pertamanya sedangkan ia juga menangani sisi lain dari ‘Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini’ lewat kisah Kale. Karena poros utama narasi adalah proses memulangkan Neon sehingga yang tampak adalah petualangan kurang masuk akal tadi, tapi jika ditelisik diamati lebih dalam ada sebuah struktur yang manis dengan koneksi antar konflik yang oke tentang pesan utamanya, yakni keluarga. Irfan susun dengan baik, Ismail Basbeth bentuk menjadi menarik.


Nama terakhir memberikan sentuhan yang sangat oke di sini, terutama tugasnya dalam menyeimbangkan agar cerita tidak terasa terlalu berat tapi tidak ompong pula di sisi lainnya. Tiap karakter punya masalah masing-masing, Abah baru dapat kerja, Emak berambisi untuk bisnis, Euis masuk masa pubertas, sedangkan Ara menjadi “korban” dari berbagai perubahan yang saling tersambung satu dengan yang lain itu. Ya, perubahan yang lantas memaksa mereka untuk melakukan penyesuaian, baik itu dari sisi Orangtua dan tentu saja para anak. Abah dan Emak kaget akan perubahan anak mereka yang telah beranjak besar, isu parenting terbentuk dengan baik di mana Orangtua belajar untuk menyesuaikan “teknik” mereka di sana. Saya juga suka ada konflik di antara Abah dan Emak tentang perhatian ke anak, sesuatu yang memang menjadi tanggung jawab mereka bersama.

Begitupula dari sudut pandang anak-anak, ketika Euis dan Ara mulai dirundung ego tidak hanya merasakan periode ketika teman dan pacar jadi sosok yang lebih penting ketimbang keluarga, mereka juga diingatkan kembali akan pentingnya komunikasi, hal yang di sini ditunjukkan sedang tidak baik-baik saja, alias sedang renggang. Ara pegang peran penting di sana, bagaimana Ara adalah Neon yang merupakan sosok polos dan belum layak tahu kerasnya kehidupan, dia hanya ingin bersenang-senang dengan sosok yang ia sayangi, meski ia berada di rumahnya sendiri tapi gejolak di dalam dirinya menempatkan Ara sama dengan Neon yang berada di dalam kandang itu, yakni berada di lingkungan yang asing baginya. Ismail Basbeth dan Irfan Ramly sajikan itu dengan baik bersama selipan isu lain yang berhasil mencuri perhatian, salah satunya tentang ekonomi dalam bentuk pentingnya tabungan di balik upaya "membawa pulang" keluarga.


Ya, di sini karakter menerima “tekanan” yang lebih berat dari sebelumnya, membuat mereka sedikit terlalu fokus untuk lepas dari tekanan itu dan lantas mengacuhkan sedikit keluarga mereka. Saling menyalahkan dan belajar, kemudian memperbaiki kesalahan, semua ditampilkan dalam narasi yang geraknya konstan namun dibantu cinematography manis dengan gambar-gambar yang terasa padat, begitupun musik termasuk penggunaan lagu, ‘Keluarga Cemara 2’ punya tone dan mood yang terasa kompak sejak awal hingga akhir. Alhasil berbagai potongan cerita dan konflik sukses mengikat atensi dengan baik terlebih dengan sokongan emosi dalam kuantitas dan kualitas yang oke pula dari para pemerannya. Tidak heran meski tidak bergelora tapi film ini berhasil terbang dan mendarat dengan baik menggunakan nilai penting yang tersimpan di dalam sebuah keluarga.  

Overall, ‘Keluarga Cemara 2’ adalah film yang cukup memuaskan. Pengembangan yang baik dengan beberapa tweak manis, terutama dengan menggunakan khayalan seorang anak kecil tentang kemampuan berbicara dengan hewan, 'Keluarga Cemara 2' dikemas apik untuk berbicara tentang berbagai isu dan pesan yang menarik, dari perubahan, parenting, dan juga ego. Diseimbangkan dengan baik dari tone, mood, hingga tentu saja narasi yang tertata rapi bersama gambar-gambar yang manis itu, 'Keluarga Cemara 2' kembali berhasil berbicara tentang bagaimana harta yang paling berharga adalah keluarga dengan cara yang kompak dan berseri indah.





1 comment :