23 October 2021

Movie Review: The Suicide Squad (2021)

"I love the rain, it's like angels are splooging all over us!"

Terkadang ada keuntungan di balik kegagalan, kamu bisa belajar kemudian mencoba memperbaiki kekurangan yang membuatmu gagal. Contohnya adalah DC Films yang merasakan pil pahit di tiga film pertama Extended Universe mereka, mencoba untuk berubah dan telah menunjukkan progress positif sejak film Wonder Woman. Special case kemudian muncul, Batman akan mendapatkan reboot sedangkan Suicide Squad diberikan treatment berupa standalone sequel. Film terakhir tadi sebenarnya bukan sebuah creatively shipwrecked film bagi saya, tapi memang membutuhkan sentuhan kreatif agar dapat membuat pesona karakter dan tim menjadi semakin menarik lagi. Here they come, from the Director of Marvel's mega hits ‘Guardians Of The Galaxy.’ ‘The Suicide Squad’ : they add Gunn, they add fun.


Sedang terjadi gejolak di sebuah negara kepulauan bernama Corto Maltese di mana rezim yang didukung Pemerintah Amerika Serikat tidak lagi berkuasa, digulingkan rezim anti-amerika di bawah kekuasaan diktator bernama Silvio Luna (Juan Diego Botto). Masalahnya di era Nazi pemerintah USA membangun sebuah laboratorium di Corto Maltese, diberi nama Jötunheim dan menjadi tempat bagi eksperimen rahasia yang dikenal dengan sebutan "Project Starfish". Direktur A.R.G.U.S. Amanda Waller (Viola Davis) mencoba membentuk tim baru bagi the Task Force X program, berisikan para super-criminals yang dipaksa ikut dalam sebuah misi bunuh diri. The Suicide Squad.

Peluang untuk bisa bertahan hidup tergolong kecil bagi para anggota The Suicide Squad, dipimpin oleh Robert DuBois / Bloodsport (Idris Elba) dan beranggotakan Cleo Cazo/Ratcatcher 2 (Daniela Melchior), Christopher Smith/Peacemaker (John Cena), Abner Krill/Polka-Dot Man (David Dastmalchian), dan Nanaue/King Shark (Sylvester Stallone). Sedangkan dibentuk tim lain dipimpin Colonel Rick Flag (Joel Kinnaman) dengan anggota Captain Boomerang (Jai Courtney), Savant (Michael Rooker), T.D.K. (Nathan Fillion), Weasel (Sean Gunn), dan Harley Quinn (Margot Robbie), yang hadir namun tidak serta merta membuat tugas The Suicide Squad menjadi mudah.

Mereka jelas memiliki pesona masing-masing tapi perbedaan yang paling mencolok dari MCU dan DCEU adalah ketika menonton MCU meskipun ada perubahan kecil namun penonton telah paham apa yang akan mereka dapatkan. Lain halnya dengan DCEU, datang menonton film mereka seperti membawa lucky bag, potensi bertemu dengan kejutan lebih besar, tentu dengan dua opsi apakah itu kejutan positif atau justru negatif. Dan sulit untuk menampik fakta bahwa setelah awal mengecewakan itu kini DCEU lebih sering memberikan kejutan positif di tiap film mereka, dampak dari keputusan untuk mencoba mengadaptasi resep dari kompetitor utama mereka. Tahun 2017 mereka merekrut Sutradara 'The Avengers' untuk membantu menulis script ‘Justice League’, dan sekarang giliran James Gunn.

 

Memakai jasa James Gunn menunjukkan bagaimana para petinggi di Warner Bros. telah belajar bahwa dibutuhkan pemimpin yang mampu mengeksploitasi secara baik pesona dari karakter yang mereka punya, tidak hanya sebatas cerita saja. Ini adalah streak sejak Patty Jenkins ditunjuk sebagai Sutradara Wonder Woman dan menjadi pertanda bahwa DC Extended Universe berkomitmen untuk membaur tone dark and gloomy yang mereka coba usung di tiga film pertama bersama tone yang lebih ringan dan santai, hal yang membuat banyak penonton umum jatuh hati pada kompetitor utama mereka. James Gunn juga mendapat kesempatan special, ia diberi kesempatan menulis sendiri script, privilege yang terakhir didapat David Ayer di film ‘SuicideSquad’, which for me is not bad despite poor reviews.

DC Films membuat “garis pembatas” itu semakin pudar, mereka juga memberikan free hand pada James Gunn, ia bebas membentuk apa yang ingin dia lakukan dengan adaptasi komik, hasilnya misi penyelamatan klasik yang menyenangkan dan asyik. Berawal dari tweak manis terhadap scene D-Day legendaris dari film ‘Saving Private Ryan’, ‘The Suicide Squad’ adalah colorfully mixed super villains & anti-heroes yang menghibur penontonnya dengan menciptakan begitu banyak crash di dalam narasi. Tiap karakter punya keunikan masing-masing dan mereka saling bertabrakan satu sama lain, banyak mengingatkan saya pada komposisi yang James Gunn bentuk di Guardians of the Galaxy. Bloodsport dan Peacemaker saling berkompetisi, ada sosok wanita muda pemanggil tikus, kita juga punya hiu berkaki yang selalu lapar.


Dan James Gunn memanfaatkan dengan sangat baik creative freedom yang ia miliki berkat R-rating film ini, menyajikan sebuah hiburan yang gila, brutal, aneh tapi lucu dengan berbagai kejutan yang membuat tim itu tampak seperti the sickest superhero you’ll ever see beside Deadpool. Dilumuri dengan berbagai black-humor energi pada narasi terasa tertata rapi, momentum tidak pernah hilang sekalipun di beberapa titik sempat dikuasai sub-plot. Kesan dinamis pada narasi yang kualitasnya terasa kurang di film pertama juga terasa sangat kuat di sini, karena tampaknya James Gunn tidak punya kewajiban untuk “menjaga eksistensi” para karakter di dalam cerita. Alhasil kamu akan bertemu cukup banyak kejutan yang kuat dari aksi anarkis yang dapat membuatmu berkata WTF?

Tidak hanya narasi tapi karakter juga memancarkan energi yang menarik, berawal dengan pembantaian gila hal tersebut digunakan dengan baik oleh James Gunn agar pola yang ia terapkan berhasil, yaitu membuat semuanya bertumpu pada humor. Ya, karakter melakukan apa yang mereka inginkan di sini dan meskipun tingkat kegilaan itu turun sedikit di bagian tengah tapi energi terasa konstan dan dinamis, karakter menghadirkan interplay yang cantik, they’re fun to follow meski not necessarily fit together. Idris Elba sempat diragukan di awal tapi dia tampil baik di sini, John Cena dan Daniela Melchior surprisingly charming, lalu David Dastmalchian tampil efektif sesuai fungsinya, dan Sylvester Stallone ialah Vin Diesel di ‘Guardians of the Galaxy’. Margot Robbie? No need to ask, another stupefying performance as Harley Quinn.


Interaksi antar karakter menciptakan entertaining friction yang menarik, mendorong pesona buddy movies yang menyenangkan untuk diikuti. Begitupun style visual yang dipakai James Gunn juga tidak kalah mencuri perhatian, kebebasan menampilkan aksi anarkis dari aksi para karakter dimanfaatkan dengan baik, semacam showcase yang didampingi staging dengan visi kuat. Yang coba diterapkan James Gunn di sini memperpanjang upaya yang sedang dilakukan DCEU untuk melakukan tackle pada tone yang di awal tampak unfamiliar bagi mereka tapi tentu tetap mempertahankan pesona mereka seperti yang saya sebutkan di awal tadi, menjadi sebuah lucky bag yang mengejutkan. Buktinya starfish berukuran kaiju bernama Starro the Conqueror berhasil menjadi final opponent yang made no sense tapi justru menghasilkan salah satu pertarungan superhero paling meriah dalam beberapa tahun terakhir ini.

Overall, ‘The Suicide Squad’ adalah film yang memuaskan. Liar, nakal, dan brutal, di sini James Gunn menunjukkan kembali apa yang dapat terjadi jika superhero movie diberikan kebebasan berekspresi yang luas, ia kemas secara rapi dengan visi yang kuat dan membuat penambahan kata “the” itu sebagai tanda yang membedakan film ini dengan adaptasi pertama dari kelompok berisikan penjahat dan antihero konyol itu. Sebuah fresh re-start yang dimulai serta diakhiri dengan “bang!” yang kuat, aneh, dinamis, energik, lucu, dengan interplay yang menyenangkan dan narasi yang fun to follow, memberi creative freedom yang luas pada James Gunn jelas terbayar dengan lunas, because today when you add James Gunn, you add fun. What a blast! Nom nom? Segmented.






1 comment :

  1. “If I die 'cause I gambled on love, it will be a worthy death.”

    ReplyDelete