22 October 2021

Movie Review: Black Widow (2021)

“Pain only makes us stronger.”

Sejujurnya buat saya kemunculan film ini terasa sedikit aneh, setelah sekian lama dinantikan film standalone bagi salah satu karakter wanita di ‘The Avengers’ itu justru hadir setelah penonton tahu bagaimana Natasha sacrifice herself di ‘Avengers: Endgamedan berujung kematian. Mengapa memberikan backstory yang tentunya akan berisikan eksplorasi terhadap masa lalu bagi karakter yang mungkin tidak akan lagi berpartisipasi dalam future films the Marvel Cinematic Universe dalam kapasitas yang penting? Well, tidak ada yang abadi dan Marvel Studios sangat paham akan hal itu, dan lewat film ini mereka justru membuka pintu baru bagi karakter Black Widow. ‘Black Widow’ : a cute family drama comedy.


Tahun 1995, super soldier Alexei Shostakov (David Harbour) dan Black Widow Melina Vostokoff (Rachel Weisz) bekerja untuk sebuah agent rahasia Rusia, menjadi sebuah keluarga palsu dan menetap di Ohio bersama dua anak perempuan mereka, Natasha Romanoff (Ever Anderson) dan Yelena Belova (Violet McGraw). Tugas mereka adalah mencuri S.H.I.E.L.D. intel dan kabur ke Kuba, tempat di mana keluarga itu akhirnya terpecah karena General Dreykov (Ray Winstone) memerintahkan agar Natasha dan Yelena kemudian dibawa ke the Red Room dan dilatih menjadi elite assassins, sama seperti Antonia Dreykov / Taskmaster (Olga Kurylenko) yang memiliki kemampuan meniru teknik milik superhero lain.

Tahun 2016, Natasha (Scarlett Johansson) jadi buronan karena melanggar Sokovia Accords, berkat bantuan Rick Mason (O-T Fagbenle) dapat kabur ke Norwegia dan menetap di sebuah safehouse. Sedangkan Yelena (Florence Pugh) bersembunyi di Budapest setelah mengirimkan paket gas sintetis yang dapat menetralkan zat kimia pengendali pikiran ciptaan the Red Room, dengan harapan itu dapat digunakan oleh Natasha dan the Avengers. Tapi paket tersebut membuat Natasha menjadi incaran Taskmaster, dan ia sadar bahwa gas sintetis dalam bentuk botol itu berasal dari Budapest. Pertarungan sengit antara Natasha dan Yelena tidak berlangsung lama setelah Yelena memberitahu bahwa Dreykov masih hidup dan the Red Room masih beroperasi.

Bergerak cukup cepat Black Widow merupakan tipe film yang takes time to grow on you, ia tidak langsung membuat saya terikat penuh di awal kemunculan Natasha dan Yelena versi dewasa namun latar belakang masa lalu mereka dikemas dengan baik sehingga ada pondasi yang baik bagi isu family. Yang kemudian bekerja dengan baik di babak selanjutnya. Memang tidak ada kesan grande yang kuat dan mencolok tapi sejak awal penonton telah didorong masuk dan juga memahami fokus serta tujuan yang hendak dicapai oleh Sutradara Cate Shortland bersama tim. Dari sana semua dikunci dan dikembangkan dengan baik Cate, dimainkan dalam tempo yang oke serta piawai dalam menyediakan ruang bagi elemen komedi dan family drama yang kemudian secara bergantian mendominasi panggung utama.


Action sequences terasa menyenangkan serta dikemas secara rapi tentu saja dengan signature MCU. Ada energi yang oke di sana sehingga meskipun kuantitasnya tidak terlalu dominan mencuri perhatian jika dibandingkan dengan elemen drama cerita namun tiap kali mereka muncul ada punch oke yang dihasilkan. Kualitas CGI turut menunjang pencapaian itu begitupula dengan kinerja para stuntman. Berbicara cerita sendiri pola yang coba diusung di sini sebenarnya sederhana, tidak ada sebuah taruhan yang tampak sangat mematikan tapi tetap mampu memberikan pressure yang baik bagi laju narasi, ada hal penting yang harus dilakukan karakter di balik acara reuni mereka yang uniknya berhasil tampak lucu dan terasa heartwarming itu.

Film-film MCU sendiri dahulu kala memang menempatkan kemasan ringan penuh canda tawa sebagai image utama mereka, jadi tidak heran jika di sini elemen komedi justru di beberapa bagian dalam durasi lama seperti mendominasi panggung utama cerita, termasuk saat action sequences sedang tampil. Screenplay yang ditulis oleh Eric Pearson dari cerita hasil gubahan Jac Schaeffer dan Ned Benson juga memberi cukup banyak ruang bagi komedi beraksi, dari lelucon gerakan yang kerap dilakukan oleh Natasha saat beraksi yang pada akhirnya dilakukan juga oleh Yelena, hingga yang lebih klasik yakni ekspresi wajah Yelena yang seolah mewakili penonton tiap lelucon garing muncul dari Alexei Shostakov. Elemen komedi terasa menyenangkan dan mencolok, pencapaian yang tidak lepas dari pesona para karakter. 


Empat karakter itu sendiri merupakan sebuah keluarga yang dapat dikatakan unik, masing-masing dari mereka memiliki pesona yang terasa familiar ditemukan dalam sebuah keluarga, uniquely mereka saling melengkapi satu sama lain. Ada tick-tock yang menyenangkan di tim utama, chemistry mereka surprisingly terasa memikat meski tidak dipoles sangat kuat sejak awal. Mereka terasa kuat tapi juga kikuk di saat bersamaan, tidak heran ketika isu atau pesan keluarga coba didorong di bagian akhir hasilnya sangat jauh dari kata buruk, ada kesan lucu tapi juga hangat di sana. Tapi juga bercampur dengan excitement setelah menonton post credit yang paling akhir itu, karena dengan demikian MCU kini otomatis telah menambahkan beberapa karakter baru yang pesonanya tampak menjanjikan.

Salah satunya adalah Yelena Belova, sosok tengil yang pemberani dan memiliki rasa percaya diri tinggi. Ekspresi wajahnya sejak awal muncul selalu mencuri perhatian saya, seolah ada emosi yang bermain di sana sekalipun pada momen di mana komedi sedang beraksi. That new flower called Florence, dia menampilkan Yelena dengan sangat baik dan jika kelak digunakan secara tepat, tentu dengan porsi yang lebih baik ketimbang yang pernah Natasha peroleh, bukan tidak mungkin Yelena dapat langsung meroket tinggi pesonanya di antara para anggota lama The Avengers. Saya jadi tidak sabar menantikan aksi Yelena di miniseries ‘Hawkeye’. Tapi Yelena tidak sendiri mencuri perhatian karena karakter Alexei Shostakov a.k.a Red Guardian dan Melina Vostokoff pun demikian, dieksploitasi dengan baik oleh Cate Shortland (Lore).


Seperti yang saya sebutkan di awal tadi karakter pun butuh waktu untuk “tumbuh” dan membuat penonton menyukai mereka, Alexei contohnya meskipun langsung tampil mencolok di awal tapi justru pesona odd miliknya yang sukses menghibur, sedangkan Melina Vostokoff adalah jangkar yang baik bagi keluarga unik yang punya banter dan chemistry menyenangkan itu. Lantas Scarlett Johansson bagaimana? Saya rasa ini merupakan perpisahan yang manis bagi Scarlett Johansson pada karakter yang sebelumnya telah ia perankan di tujuh film Avengers sejak muncul pertama kali sebagai sexy woman with curly red hair di film Iron Man 2. Sebuah closure yang terasa manis dan respectful, sukses membuat saya mengenang kembali aksi yang Natasha pernah tampilkan di film-film tersebut. 

Overall, ‘Black Widow adalah film yang memuaskan. Dikemas dalam gerak cepat namun tidak takut memainkan tempo untuk memberi ruang bagi komedi dan family drama agar dapat mendominasi panggung utama, memiliki action sequences yang fungsional sama seperti eksposisi narasi yang tampil aman, lantas mengeksploitasi dengan baik pesona dari masing-masing karakternya dengan membekali materi yang membuat banter dan chemistry unik mereka terasa menyenangkan diikuti. Terjawab sudah alasan mengapa standalone film tiba paska Natasha justru telah mati di ‘Avengers: Endgame’, selain menjadi pembuka bagi Phase Four The Marvel Cinematic Universe (MCU) film ini juga menjadi titik awal era baru bagi karakter Black Widow. This was fun! And thank God for Florence Pugh.





1 comment :