13 January 2021

Movie Review: Love and Monsters (2020)

“There is no mission more admirable than love.”

Cinta dan juga monster, sebenarnya judul yang ia gunakan sudah lebih dari cukup untuk mewakili apa yang hendak diceritakan oleh film ini, menggunakan isu klasik tentang kekuatan yang dimiliki oleh cinta yang kemudian ia lempar ke dalam medan yang dipenuhi dengan monster. Namun dengan bermain layaknya film ‘Zombieland’ ternyata “bobot” yang dimiliki film ini jauh lebih padat ketimbang sekedar sebuah kisah tentang cinta biasa, menggabungkan pesona standar dari berbagai genre untuk membentuk monster flick yang charming dengan menggunakan setting apocalypse. ‘Love and Monsters’: it's hunting season and the lambs are on the run.


Ketika sebuah asteroid besar menghantam bumi berbagai negara serentak mencoba menghentikannya dengan meluncurkan rudal ke arah asteroid tersebut. Peristiwa tersebut memakan banyak korban jiwa, salah satunya adalah Joel Dawson (Dylan O’Brien), pria muda yang harus terpisah dari keluarganya serta kekasihnya Aimee (Jessia Henwick). Joel kini harus menetap di sebuah bunker bersama beberapa orang lainnya yang dikenal dengan sebutan koloni, sebuah bentuk peradaban manusia baru di mana mereka dipaksa untuk tinggal di bawah tanah.


Karena area atas permukaan bumi kini telah dihuni oleh para monster. Asteroid yang menghantam bumi tadi ternyata mengandung mutagen berbahaya yang mengubah semua hewan menjadi monster raksasa berukuran besar dan juga ganas. Mereka akan memangsa para manusia yang berada di atas permukaan bumi dengan menggunakan sensitifitas mereka terhadap bunyi, dan Joel paham akan hal tersebut hingga suatu ketika ia menolak untuk patuh. Joel yang dikenal penakut itu bertekad untuk keluar dari bunker dan mencoba menemukan Aimee.

Sutradara Michael Matthews punya materi yang sebenarnya sangat klasik dengan penggunaan setting dan pattern yang saya rasa juga sudah terasa familiar sekarang ini, bagaimana kondisi dunia saat apocalypse sudah tiba saat manusia kini dipaksa untuk hidup di dalam kurungan “keterbatasan” dan juga telah kehilangan kebebasan yang dahulu mereka dapat rasakan dengan mudah. Saya langsung tertarik dengan setting di bagian awal itu, cara Michael Matthews membangun latar belakang cerita yang ditulis oleh Brian Duffield dan Matthew Robinson itu terasa singkat dan padat terutama pada cara ia menceritakan sebab mengapa terjadi apocalypse. Hal ini tidak dapat dianggap remeh, harus ada latar belakang masalah yang jelas di sana.


‘Love and Monsters’ punya itu dan saya senang hal tersebut menjadi pondasi bagi kisah yang ternyata tidak melulu bercerita tentang monster, bahkan dapat dikatakan fokus terkunci erat pada perjuangan karakter utama untuk meraih target utamanya yang tampak sangat sulit itu. Semua berawal dari kondisi karakter yang terkunci di bunker, hal tersebut banyak membantu rasa penasaran tumbuh cepat di bagian awal, karena mereka seperti membuat dunia mereka sendiri di sana. Tiap bunker didorong agar tampak seperti kepingan “dunia kecil” yang kini sudah sulit berinteraksi dan dari sana muncul rasa ingin tahu penonton terhadap kondisi dunia di luar bunker yang disebut telah “hancur”, dibentuk dengan baik bersama vibe haunting yang oke.

Hal terakhir tadi uniknya hadir dengan kualitas yang oke meskipun ia harus berbagi dengan elemen lain seperti komedi yang kuantitasnya tidak bisa disebut kecil pula. Dan itu belum menghitung bagaimana Michael Matthews juga menyuntikkan cukup banyak thrill lewat action sequences yang dikemas dengan baik, tidak menampilkan eksploitasi yang berlebihan namun justru dibalik kesan simple yang ia gunakan lahir pressure yang menyenangkan bagi Joel. Michael Matthews juga piawai dalam menata naik dan turunnya tensi cerita sehingga membuat petualangan Joel memiliki kesan bergelombang yang oke, ada momen di mana ia jatuh namun di sisi lain optimisme yang sedari awal telah didorong menjadi pesona utama bagi Joel itu secara konsisten terus berkembang menjadi semakin menarik.


Memang ada beberapa momen di mana narasi seperti mencoba beristirahat sejenak untuk menarik nafas, seperti kemunculan robot bernama Mav1s itu misalnya, namun tidak ada kesan drop yang terlalu kasar di sana. Irama laju narasi diatur dengan baik oleh Michael Matthews, cukup mengejutkan sebuah film yang menggunakan kata monster sebagai judul justru tidak terlihat dominan memborbardir penontonnya dengan menggunakan monster. Itu karena meski menampilkan kondisi miris dari kehancuran bumi ‘Love and Monsters’ justru mencoba menyajikan berbagai pesan dan isu yang dibawa agar tampil secara goofy, menyaksikan Joel mencoba mengenal dunia luar yang sudah lama ia “tinggalkan” itu.

Keterlibatan emosi tentu saja juga eksis namun narasi lebih didominasi dengan berbagai momen lucu yang sering mengeksploitasi karakteristik Joel yang penakut dan clumsy. Dan cara tersebut terbukti ampuh karena di sisi lain Michael Matthews bentuk narasi agar menjadi semacam kumpulan potongan puzzle di mana karakter utama kita bertemu dengan berbagai rintangan baru, lengkap dengan hal-hal yang ikut membantunya melewati rintangan. Niat utama Joel tentu saja untuk bertemu dengan sosok yang sangat ia cintai namun petualangannya itu justru berdiri sebagai sebuah proses di mana Joel belajar tentang hidup, membawanya yang dahulu adalah seorang pecundang berubah menjadi seorang pemenang.


Namun walaupun fokus terkunci pada Joel tapi cerita tentu saja tidak melulu tentang Joel, ada monster di sampingnya dan mereka dibentuk dengan baik. Bahkan bagi saya hal paling memorable dari film ini selain isu dan juga pesan yang meninggalkan punch menarik adalah bagaimana para monster dibentuk, tidak terlalu berlebihan namun tiap kali mereka muncul selalu ada kesan mengerikan yang kuat. Dan satu hal lainnya adalah tidak ada kesan murahan dan konyol dari design mereka, berhasil menjadi pelengkap yang manis menyokong perjuangan karakter utama untuk menemukan cinta sejatinya itu. Tampil sebagai Joel aktor Dylan O'Brien memberikan kinerja akting yang oke, ia membuat penonton yakin dunia luar itu kini berbahaya serta terpesona dengan perjuangannya mengalahkan rasa takut untuk memoles isu dan pesan tentang learning by making mistakes.

Overall, ‘Love and Monsters’ adalah film yang memuaskan. Jelas ini tidak mencoba untuk membawa gebrakan baru di genre yang ia gunakan, namun dengan penataan yang tepat dan juga kompeten oleh Michael Matthews script yang simple itu dikemas menjadi sebuah petualangan yang charming di mana komedi, horror, dan action berpadu dengan manis bersama sedikit sentuhan emosi yang oke di dalamnya. Thrill juga hadir dalam bobot yang oke melengkapi perjalanan Joel yang menjadi sebuah penggambaran dari bagaimana manusia belajar melawan rasa takut dan kemudian berusaha untuk mengalahkannya. Apalagi kalau tentang cinta, because there is no mission more admirable than love.






1 comment :

  1. “Good instincts are earned by making mistakes. If you're lucky enough to survive a few mistakes, you're gonna do all right out here.”

    ReplyDelete