17 August 2014

Movie Review: The Expendables 3 (2014)


"Morons need friends."

Sikap optimis tentu merupakan sesuatu yang wajib di miliki oleh setiap orang, rasa percaya diri serta ambisi untuk terus menjadi lebih besar dan lebih baik, tapi ada pula sikap yang kita sebut realistis, sikap yang mampu mengingatkan kita mana limit yang harus di pecahkan dan mana limit yang harus di jaga sebagai upaya untuk tidak melahirkan hal buruk dan negatif. Edisi ketiga parade otot ini tetap berusaha memecahkan batasan yang ada dihadapan mereka, The Expendables 3, that dream team becomes too far, too crowded, too foolish.   

Masih dibawah komando Barney Ross (Sylvester Stallone), The Expendables yang beranggotakan Lee Christmas (Jason Statham), Gunnar Jensen (Dolph Lundgren) dan Toll Road (Randy Couture) sedang menjalankan aksi mereka dengan menggunakan sebuah kereta untuk membebaskan mantan anggota lainnya, ahli pisau bernama Doctor Death (Wesley Snipes). Namun masalah tidak berhenti disana, karena saat menjalankan tugas mereka di Somalia, The Expendables menemukan fakta mengejutkan bahwa pengkhianat mereka bernama Conrad Stonebanks (Mel Gibson) masih hidup.

Kekuatan Stonebanks cukup besar, ia bahkan mampu membuat The Expendables mundur dari peperangan, tapi dampaknya ternyata cukup besar bagi Barney yang memilih tidak mau membahayakan nyawa rekan-rekannya dan kemudian membentuk tim baru yang lebih muda, dari John Smilee (Kellan Lutz) hingga Galgo (Antonio Banderas), dibawah pengawasan officer CIA Drummer (Harrison Ford), dan bantuan rekannya Trench Mauser (Arnold Schwarzenegger), Barney berusaha mengagalkan bisnis Stonebanks sembari membalaskan rasa kesalnya.


Coba cermati sinopsis diatas tadi, begitu banyak nama aktor berpenampilan kokoh, kekar, hingga ikonik yang coba saya masukkan kedalamnya, bahkan cukup rumit untuk menjelaskan bahwa didalamnya anda juga dapat menemukan martial artist bernama Ronda Rousey, serta jagoan asia bernama Jet Li. Tidak heran memang karena hal ini mulai menjadi sebuah pemandangan umum, ketika mendengar nama The Expendables hal pertama yang terlintas adalah sebuah tim berisikan berbagai jagoan action yang bersedia memanfaatkan kesempatan yang diberikan oleh Sylvester Stallone bukan hanya sebatas bersantai dan bergembira bersama, namun juga menunjukkan kembali hal-hal khas dan ikonik yang mereka miliki bersama kumpulan testosterone.

Yap, sedikit membosankan untuk mengikutsertakan ini tapi anda tidak bisa mengharapkan kualitas cerita yang mumpuni dari film seperti ini, yang meskipun kali ini secara mengejutkan tampil cukup padat tetap saja berisikan aksi mondar-mandir dengan formula super klasik, perkenalan, masalah internal dan eksternal, aksi tembak dan perkelahian, dibumbui dengan misi balas dendam. Oh, begitupula dengan plot yang digunakan sebagai pembuka ruang tempur baru, dan juga kualitas akting yang disini kalah penting dibandingkan dengan ledakan api, pesta peluru bersama kendaraan lapis baja, helikopter, speedboat, tanker, rudal, hingga aksi combat menggunakan pisau.


Lantas apa masalah film ini? Mengapa berputar-putar? Bukan, hal diatas tadi lebih kepada upaya untuk menggambarkan ekspektasi rendah saya pada film ini, yang sayangnya tetap saja tidak dapat tercapai. Alasannya? Tiga hal dibagian awal tadi, terlalu jauh, terlalu padat, terlalu bodoh, apa yang saya suka di film kedua hilang disini, sensasi bersenang-senang yang memuaskan. Ambisi menghasilkan hal negatif bagi Sylvester Stallone, ini tidak lagi terasa sebagai sebuah parade yang bebas, lebih ke arah sebuah arena show-off bagi bintang-bintang lama. Ya, dua film sebelumnya juga begitu memang, tapi dengan sikap yang masih bijak masih ada momen dan sensasi yang benar-benar kuat, Jean-Claude Van Damme, hingga Chuck Norris.

The Expendables 3? Sangat sangat minim. Pada sisi action apa yang dilakukan oleh Patrick Hughes terasa efektif, tapi ia juga menerima dampak dari sebuah teori dimana ruang kosong yang berisikan sepuluh orang tentu saja akan menghasilkan bunyi gema yang lebih kuat dari satu orang jika dibandingkan ketika ruangan tersebut di isi dengan jumlah dua kali lipatnya. Ia tidak mampu menghindar dari hal tersebut, bukan hanya pada sensasi tapi semangat itu juga hilang, berbagai tik-tok antara karakter yang seolah berupaya membangkitkan kembali memori lama dan spesialisasi mereka di ingatan penontonnya juga tidak ada yang benar-benar mengesankan, sulit untuk menemukan raungan yang mampu mengajak penonton bergumam “ayo, hajar, hancurkan,” terasa lunak dari lelucon hingga adegan kekerasan.

Lalu apa nilai positif dari film ini? Antonio Banderas! Yap, bukan gimmick kusam dan kasar pada visual, bukan variasi pada lokasi, bukan pula adegan aksi yang terasa lemah akibat keputusan bodoh menekan rating ke PG-13 meskipun ia sadar memiliki banyak references yang sulit dijangkau remaja pada umumnya, tapi Mister Zorro dan El Mariachi yang mampu memanfaatkan setiap momen yang ia punya dengan aksi cerewet untuk menyuntikkan energi yang lucu, segar, dan menyenangkan. Selain itu tidak ada yang mengesankan, para pemain muda yang baru hanya menjadi tempelan, sedangkan para pemeran lama terasa sedikit terlupakan.


Overall, The Expendables 3 adalah film yang kurang memuaskan. Kurang menggigit, sederhananya mungkin seperti itu, dimana bagian-bagian penting yang sebelumnya telah berhasil merubah film pertama yang membosankan itu menjadi petualangan mengesankan di edisi kedua kembali hilang disini: kekurangan semangat, kekurangan sensasi, hal negatif itu hadir karena tidak mampunya mereka mengontrol ambisi untuk terus memecahkan limit, yang celakanya kali ini terasa bergerak terlalu jauh.







0 komentar :

Post a Comment