10 January 2022

Movie Review: Benedetta (2021)

“Extraordinary accusations require extraordinary proof.”

Sekarang semua bisa dimanfaatkan, termasuk agama demi meraih kekuasaaan, tapi hal tersebut gaungnya semakin kencang sekarang ini karena kemudahan mengakses informasi yang semakin mudah pula padahal hal licik seperti itu sebenarnya telah eksis sejak lama. Karena manusia pada dasarnya senang jika dirangsang pikirannya dan itu semakin mudah dilakukan saat ini, fenomena kemunculan orang-orang yang “menyimpang” dari ajaran dan aturan yang berlaku serta berujung hoax merupakan bukti kesuksesan pihak-pihak tidak bertanggungjawab meraih keuntungan dengan cara menstimulasi isi pikiran manusia di sekitarnya. Seperti karakter utama film ini, menyebut dirinya sebagai tangan kanan Tuhan. Benedetta’: a sacrilegious inversion.


Dalam perjalanan menuju  biara Theatine di kota Pescia bersama kedua orangtuanya, Giuliano Carlini (David Clavel) dan Midea Carlini (Clotilde Courau), Benedetta Carlini (Elena Plonka) mempertontonkan sebuah keajaiban yang membuat sekawanan pria berkuda yang datang menghampiri mengurungkan niat jahat mereka. Ketika mereka tiba Theatine, The Abbess Sister Felicita (Charlotte Rampling) selaku kepala biara berkata pada Guiliano bahwa banyak kandidat yang ingin diterima di Theatine tapi ia dapat memberi jalur khusus kepada Benedetta jika Giuliano tertarik. Tawaran itu diterima oleh Guiliano dan Benedetta bergabung dengan Theatine.

Berselang 18 tahun kemudian Benedetta (Virginie Efira) ikut serta dalam pementasan namun ia melakukan kesalahan karena terbuai dalam visinya. Saat itu Benedetta merasa sedang berjumpa dengan Yesus, kakinya yang seharusnya diam bergerak seolah sedang berlari ke arah Yesus. Wanita yang mengalami sexually abused ketika masih kecil itu celakanya tidak mencoba melawan visi anehnya tersebut, justru merangkulnya. Hal tersebut menciptakan masalah bagi Benedetta apalagi ketika satu hari muncul putri seorang gembala bernama Bartolomea (Daphne Patakia), memaksa masuk ke biara dan diterima atas permintaan Benedetta.

First of all film terbaru dari Sutradara kawakan Paul Verhoeven ini bukanlah sebuah film yang diperuntukkan untuk close-minded people, mereka yang ketika usai justru akan menginterpretasikan apa yang disampaikan oleh film ini dalam lingkup paling sederhana. Contohnya, bahwa agama Catholic yang digunakan oleh Paul Verhoeven di sini punya ajaran yang salah misalnya, terprovokasi oleh keanehan dan keganjilan yang terkandung di dalam cerita dan menggunakannya untuk mendiskreditkan salah satu pihak. Justru di sini kamu akan dibuat tersenyum oleh Paul Verhoeven ketika sadar bahwa di balik konflik yang berputar dalam sebuah biara itu tersimpan pesan dan isu yang jauh lebih luas dari sekedar wanita kesurupan belaka. Meskipun pada awalnya memang tampak membingungkan.


Ya, hebatnya di mayoritas durasi saya dibuat bertanya-tanya serta bermain dengan rasa ragu, apakah Benedetta ini benar-benar seorang biarawati yang mendapat ilham dari Yesus untuk menjadi perantara bagi warga Pescia, atau justru hanyalah seorang penipu ulung yang pintar bersandiwara. Ada momen ketika Benedetta seperti bukan dirinya, seperti kerasukan roh lain dan itu kerap membuat saya merasa yakin bahwa ia mendapat ilham. Tapi semakin jauh narasi berjalan rasa curiga saya juga semakin besar terutama dengan hadirnya berbagai kejutan lewat perubahan kuasa Benedetta. Sebenarnya sudah ada clue besar di awal ketika aturan main yang menyimpang itu ditunjukkan oleh Paul Verhoeven dan telah menjadi pondasi yang oke bagi eksposisi tentang isu bahwa belief is a business.

Dari sana Paul Verhoeven mempermainkan pikiran penontonnya ketika hal-hal aneh mulai terjadi di bawah kendali Benedetta, sebuah absurd game yang secara konsisten menciptakan sebuah hierarki menakutkan. Salah satu faktor yang mempertahankan kesan aneh dan unik narasi adalah klaim dari Benedetta bahwa dirinya mendapat ilham dari Yesus, kemunculan stigmata atau tanda bekas luka yang diyakini sebagai tanda keagamaan dan petunjuk dari Tuhan kemudian berperan sebagai kayu yang membakar api semakin besar. Benedetta mendadak tampak seperti gembala yang selama ini penduduk Pescia, situasi yang lantas secara cerdik mendorong provokasi terhadap isu yang lebih luas lagi, dibantu erotisme untuk melakukan tackle terhadap religious hypocrisy yang jika kamu cermat semakin mudah ditemukan kini.


‘Benedetta’ adalah perwujudan dari kemunafikan dalam penerapan agama dan sikap yang ia tunjukkan merupakan cara Paul Verhoeven untuk berbicara tentang political correctness. Benedetta yang casually berganti “wajah” sangat tertarik pada nudity, secara seksual ia dirangsang serta berdampak pada imajinasinya, dan delirium yang terjadi di dalamnya itu perlahan menjadi bentuk fever yang lantas menguasai serta merusak diri Benedetta. Ya, the fever of belief dan konten miring yang ditulis Paul Verhoeven bersama David Birke dari buku non-fiksi berjudul “Immodest Acts: The Life of a Lesbian Nun in Renaissance Italy” karya Judith C. Brown ini menciptakan dimensi filosofis yang lebih luas dan menarik, apalagi dengan keberadaan momok wabah berbahaya yang sedang mengintai.

‘Benedetta’ tidak hanya tentang penyimpangan agama namun juga desire for power yang tidak terkendali. Discovery of desire, Benedetta membentuk stage agar dapat merasakan kepuasan pribadi, she feels like the bride of Jesus to the point where she ends up thinking that she is God. Tapi begitu ia “memegang” kekuasaan she cannot let go, dia menggunakan kekuasaan tersebut untuk membuat orang tunduk pada apa yang menjadi kehendaknya, sama seperti para penguasa yang merasa bahwa mereka kuat dan nirpidana, peluang yang kerap membuat rasa haus mereka akan kekuasaan jadi berlebihan dan menjadi boomerang. Paul Verhoeven tampilkan itu secara baik dengan bertumpu pada Benedetta’s ambiguity, menyajikan sandiwara dengan sedikit basa-basi but touched something sensitive to the public.


Memang bukan film terbaiknya tapi lewat salah satu film paling santai yang pernah ia buat ini Paul Verhoeven kembali mengingatkan penonton pada kemampuannya to reach the viewer dengan mencampur keganasan dan kelembutan. Tetap provokatif memang tapi ‘Benedetta’ lebih terasa seperti meditasi tentang misteri kepercayaan dan dampak negatif dari thirst of power. Saya merasa terus terikat dengan Benedetta sejak awal hingga akhir dan hanyut di dalam permainan anehnya dan itu tidak lepas dari kinerja akting oke dari Virginie Efira, terutama dalam menebar aura biarawati yang ambigu dan hasratnya akan kekuasaan. Daphne Patakia membuat Bartolomea sebagai dorongan nafsu bagi Benedetta, sedangkan Charlotte Rampling dan Lambert Wilson punya momen yang mereka tampilkan dengan baik pula.

Overall, ‘Benedetta’ adalah film yang memuaskan. Auteur di balik film-film seperti RoboCop’, ‘Total Recall’, ‘Basic Instinct’, ‘Showgirls’, dan ‘Starship Troopers’ kembali menunjukkan kegemarannya memicu kontroversi. ‘Benedetta’ memang sebuah film Paul Verhoeven, terasa tipis tapi menghipnotis, membawa penonton masuk ke dalam kehidupan karakter dan bermain bersama ambiguity and uncomfortable material di mana Paul Verhoeven tetap menggunakan kekuatannya saat mencampur eroticism, psychological drama, thriller, mystery dan juga comedy untuk bercerita tentang the dangerous side of lust and desire. Segmented.






1 comment :

  1. “God will speak to you in many tongues. If your heart is brave enough to let Him in.”

    ReplyDelete