03 November 2013

Movie Review: Ernest & Célestine (2012)


Apa konsep dari sebuah film animasi bagi anda sekarang ini? Mayoritas pasti akan menyertakan hal ini, visual yang hangat dan memanjakan mata, lelucon yang menghibur, kemudian kombinasikan mereka dengan cerita yang ringan. Film ini justru merupakan kebalikan dari tiga faktor tadi, visual kontemporer yang sangat ringan, lelucon yang cukup menghibur, namun ia berhasil pada elemen yang kurang mampu di eksekusi dengan baik oleh semua film animasi pada tahun 2013 sejauh ini, cerita yang hangat. Ernest & Celestine (Ernest et Célestine), a heartwarming traditional animation, simple, loveable.

Setiap malam menjelang tidur sekelompok tikus muda yatim piatu harus merelakan sedikit waktu mereka untuk mendengarkan cerita dari ibu penjaga, situasi yang selalu mereka anggap sebagai sesuatu yang menakutkan, padahal hanya berisikan pengulangan cerita mengenai betapa berbahayanya beruang bagi eksistensi habitat mereka. Sayangnya doktrin mengenai sistem takut pada beruang yang tinggal pada kota tepat diatas mereka tersebut tidak berlaku bagi Celestine (Pauline Brunner), menganggap cerita itu adalah sebuah dongeng yang membosankan.

Benar, tidak seperti sahabatnya, Celestine lebih memilih menggunakan waktu tersebut pada hobby menggambar miliknya yang timbul karena rasa penasarannya pada dunia luar. Suatu ketika ia bersama dua temannya masuk kedalam kota yang dihuni para beruang, untuk menjalankan misi yang berkaitan dengan gigi. Akan tetapi perjalanan pulang Celestine tidak berjalan mulus, yang kemudian menjadikan ia bertemu dengan Ernest (Lambert Wilson), pengangguran yang setiap harinya bermain musik di tengah kota, seekor beruang yang selalu kelaparan.


Dia mungkin adalah sebuah film animasi, namun Ernest et Célestine termasuk salah satu film di tahun ini yang berhasil membangun keberanian yang ia miliki dengan cara yang cerdas. Seperti yang disebutkan pada bagian pembuka film ini mengambil langkah berani dengan tampil lewat cara tradisional, tidak ada efek kelas berat, ia mencoba membuat anda berimajinasi dengan cara yang mungkin akan mulai terasa kurang familiar bagi penonton sekarang ini. Lembut, itu kata kunci untuk film ini, dimana polesan cat air dalam proses ilustrasi yang awalnya akan terasa sedikit canggung itu perlahan melangkah dengan kokoh membawa penontonnya kedalam petualangan singkat yang menyenangkan.

Yap, kokoh, empat tokoh kunci dibalik layar, Stéphane Aubier, Vincent Patar, Benjamin Renner, dan Daniel Pennac sepertinya sejak awal telah sepakat dengan konsep yang akan mereka usung, mencoba membentuk cerita, yang berlandaskan sebuah buku anak-anak karya Gabrielle Vincent, menjadi layaknya sedang membaca buku dongeng. Ini seperti menyaksikan lukisan yang bergerak, berisikan kekacauan konflik dibangun dengan narasi yang manis, bergerak mondar-mandir dalam tempo yang dinamis, namun sepanjang penampilannya selalu mampu membuat penonton tersenyum dan terpaku kagum sembari bergumam, “wah, ini cantik, ini elegan.”

Sederhana memang, konsepnya bahkan hanya sebatas bagaimana dua sosok yang dapat dikatakan berbeda dan tidak mungkin bersatu, berada dalam zona buangan, namun dengan jiwa mereka yang bebas justru menemukan cara menikmati hidup agar terasa menyenangkan. Yang menjadikan Ernest et Célestine menarik justru ia tetap memegang teguh esensi utama dari sebuah film animasi, mengajarkan nilai positif pada penonton muda yang menjadi sasaran utama, dengan cara yang ringan, sederhana, tidak membosankan, namun berimbang. Ya, hal terakhir itu yang terasa kurang kuat pada film animasi tahun ini, mayoritas justru terasa seperti sebuah kumpulan lelucon yang dibungkus bersama visual mewah.


Sebenarnya hanya dengan mengandalkan visual saja film ini sudah dapat menyampaikan ide yang mereka punya, akan menjadikan ia sebagai kemasan sangat renyah bagi penonton yang sangat muda sekalipun. Tapi kuartet tadi tahu bagaimana melakukan mix visual yang jujur saja cukup menghipnotis dibalik kesederhanaannya itu bersama dengan cerita yang berkualitas. Pola dua dunia, kemudian dipertemukan dengan konflik menggunakan gigi, Ernest et Célestine mencoba menggambarkan pentingnya toleransi di atas perbedaan, fanatisme berlebihan yang tidak menguntungkan, cara intimidasi yang justru menghambat pertumbuhan pribadi, sistem hukum yang tidak selamanya benar, hingga hal sederhana betapa pentingnya menggosok gigi.

Semakin menarik ketika hal-hal tadi di sampaikan tanpa terkesan menggurui. Ya, sekali lagi, ini seperti membaca dongeng, yang akan menjadikan ia sebagai sebuah film keluarga yang sesungguhnya, sederhana namun punya pesan yang kuat, berkombinasi dengan visual yang pasti akan menghibur anak-anak, namun tetap mampu tampil mengasyikkan bagi orang dewasa. Benar, penonton dewasa tidak akan bosan, karena walaupun minim lelucon yang dapat mengundang tawa skala besar Ernest et Célestine akan membuat anda jatuh hati padanya, dari score menyenangkan serta pergerakan yang mulus karena ia cermat dalam cara bercerita, hingga karakterisasi yang memikat.

Ernest dan Celestine adalah penopang tunggal keberlangsungan film ini karena tidak ada karakter lain dengan kontribusi sama besarnya yang membantu mereka menggerakkan cerita. Untungnya kombinasi mereka berhasil, keduanya seperti tidak coba dibentuk terlalu dalam yang menyebabkan petualangan serta konflik yang mereka bawa terasa ringan namun efektif. Mereka memang karakter binatang, namun saya melihat dua dunia nyata dalam sosok Ernest dan Celestine. Hal tersebut merupakan hasil kinerja suara yang memikat dari Pauline Brunner dan Lambert Wilson, cantik pada warna hitam dan putih situasi.


Overall, Ernest & Celestine adalah film yang memuaskan. Walaupun ia tidak berhasil berada di level yang sama seperti Wreck-It Ralph pada tahun lalu, namun jika anda meminta saya mencari kelemahan dari film ini maka jawabannya adalah tidak, bukan tidak ada, namun tidak peduli, karena ia berhasil tampil memuaskan. Ini sederhana, indah, cerdas, lembut, efektif, dan mengasyikkan.



0 komentar :

Post a Comment