08 January 2022

Movie Review: C'mon C'mon (2021)

“My feelings are inside me. You don't know what they are.”

Pertanyaan pertama yang terlontar dari karakter di film ini adalah “when you think about the future, how do you imagine it'll be?” Terkesan sederhana dan mudah untuk dijawab memang namun ada kerumitan yang menarik di dalamnya, bahkan mereka yang telah sukses dan meraih mimpinya juga akan merasakan hal yang sama dengan mereka yang baru mulai, sedang berjuang, atau yang baru sekedar bermimpi tentang masa depan. Sikap optimis memang wajib mendominasi tapi bohong jika menyebut tidak ada rasa takut dan cemas di dalamnya, hal yang baik because fear helps protect us, makes us alert to danger and prepares us to deal with it. So, you're hopeful for the future? Like, when you think about the future, you think it'll be better or worse? C'mon C'mon’: damn this movie.


Johnny (Joaquin Phoenix) merupakan seorang radio journalist yang bersama mitra produksinya berkeliling negara untuk mewawancarai anak-anak tentang kehidupan mereka, ide serta pemikiran mereka tentang bagaimana masa depan mereka nanti. Saat tiba di Detroit, Johnny menelepon adik perempuannya, Viv (Gaby Hoffmann), mereka cukup lama tidak saling bertukar kabar sejak kematian Ibu mereka karena dementia. Panggilan telepon itu seperti menunjukkan bahwa Johnny tahu Viv sedang membutuhkan bantuan, dia diminta datang ke Los Angeles untuk menjaga anak Viv sedang adiknya menuju Oakland membantu suaminya, Paul (Scoot McNairy). Jesse (Woody Norman) namanya, bocah laki-laki berusia sembilan tahun berjiwa bebas.

Jesse tidak panik bahkan tidak menangis di hari ketika Ibunya pergi, dengan santai ia menjalani hari-harinya seperti biasa dengan memutar musik dengan keras di pagi hari, satu dari beberapa sikap menjengkelkan miliknya. Johnny mampu berteman dengan tingkah laku antic Jesse hingga suatu ketika datang kabar dari Viv, memaksa Johnny menjaga Jesse lebih lama lagi. Di sisi lain Johnny diminta oleh rekan-rekan kerjanya untuk kembali melanjutkan proses produksi project membuatnya meminta ijin pada Viv untuk membawa Jesse ke New York City, mengijinkan Jesse memakai peralatan audionya meski tidak selalu mampu membuat keponakannya yang energik itu duduk tenang.

Karya terbaru dari Sutradara dan Screenwriter Mike Mills ini merupakan salah satu film rilisan tahun lalu yang berhasil membuat saya merasa hanyut sejak awal serta terbuai kagum hingga akhir. Ini seperti hadir di sebuah seminar yang terasa santai dan ringan namun tiap baris kalimat berisikan isu, ide, dan pesan yang diucapkan si pembicara masuk ke dalam pikiran serta hati dan menjadi sesuatu yang berkembang menjadi semakin menarik untuk ditelisik lebih jauh lagi. Secara mandiri. Menariknya di sana, stage yang dibuat oleh Mike Mills adalah proses wawancara keliling negara yang sederhana tapi itu ia pakai menjadi arena dan wadah berkumpulnya berbagai macam hal-hal menarik tentang hidup, tentang manusia, pertanyaan simple namun menstimulasi logika, hati, dan emosi penontonnya.


Contohnya seperti pertanyaan di atas tadi, tentang pendapat terhadap masa depan, sesuatu yang tricky dan terbukti menelurkan banyak hal menarik bagi narasi film ini lewat jawaban-jawaban yang diberikan oleh beberapa anak kecil hingga remaja. Lucu memang beberapa di mana sikap naif masih menyelimuti pendapat mereka, namun di sisi lain justru kepolosan mereka mendorong sikap optimis yang kerap tergerus ketika seorang manusia semakin dewasa, ketika seorang manusia telah sadar bahwa hidup tidak semudah dan seindah yang mereka bayangkan ketika masih kecil dulu. What that kids, that young people thought their lives would be like secara konstan membuat saya merasa tersentil, hingga satu kalimat hadir, “what makes you happy?” yang membuat senyum masamku muncul.

Mike Mills tidak hanya menyuntikkan pesona yang hangat serta energi serta emosi yang kuat di sini tapi juga melengkapinya dengan koneksi yang cantik antar bagian dalam cerita. Berangkat dari pertanyaan tentang masa depan penonton lalu bertemu eksposisi tentang motherhood, peran seorang Ibu yang kerap diasosiasikan berperan “pelukis pertama” hidup seorang manusia, to paint things bright, and innocent, and safe. Why on earth should it fall to them? Interaksi antara Johnny dan Jesse dipakai sebagai jalan bercerita begitupula komunikasi Johnny dengan Viv, curahan isi hati sulitnya merawat anak yang talking relentlessly about nothing random nothingness serta bagaimana peran cinta di dalamnya, an essay on love and cruelty and what it means to be fully human.


Dan di sana Mike Mills menggunakan salah satu kepiawaiannya, yakni expressing the emotion tapi secara implisit dan terasa insightful. Kamu dibawa berjalan bersama Johnny yang perlahan semakin kewalahan menghadapi aksi Jesse tapi di sisi lainnya berkembang isu dan pesan berikutnya: the Earth dying. Menariknya tidak ada kesan political yang merusak irama narasi, mungkin karena mereka hadir lewat ekspresi dari anak-anak yang berharap agar di masa depan mereka akan berurusan dengan polusi yang semakin tinggi, termasuk makna “bumi mati” dalam konteks yang lebih luas, yakni loneliness. Like, you know, just like people not understanding you even though they're there to understand you and stuff like that. It's just really scary, 'cause it feels like you have nobody. Termasuk aksi beropini yang menghakimi.

People will just judge you without even knowing, it's like not even their fault that they don't know, sebuah isu yang terselip manis menjadi jembatan menuju masalah lain terkait kesehatan mental yang kini semakin menjadi momok menakutkan. Rasa takut untuk bersuara membuat orang-orang kini memilih diam saat punya masalah, they just don't speak to each other and they're just like kind of hiding away from real life. We have a zone of resiliency and it's okay to not be fine, interaksi antara Johnny dan Jesse menjadi proses terbentuknya hal itu, proses untuk lebih mengenal diri sendiri sehingga mampu mengekspresikan diri serta perasaan. Sometimes we need something different in our lives, Johnny bersama Jesse keluar dari “template” hidup mereka to refresh and learn. Sungguh setting yang cantik dari Mike Mills.


Filmed in black and white dan bergerak santai namun tertata rapi, Johnny bersama rekannya diberi akses untuk “belajar” dari respon these young people sedangkan di sisi lain penonton diposisikan sebagai Johnny dan rekan-rekannya terhadap cerita. Kamu dibawa masuk dan tinggal di dalam dunia karakter, living the present moment and savoring it, menelisik apa yang selama ini mungkin sering dibicarakan sebagai beberapa potongan terpisah. Di sini semuanya digabung dalam narasi yang berjalan slowly but with incredible maturity, kadang mengejutkan dan memantik munculnya letupan emosi dan kemudian menghangatkan hati lewat sebuah kontemplasi about our society and ourselves. Why does 'C'mon C'mon' feel so uplifting? Because it is above all a kind of declaration of love.

'C'mon C'mon' pada dasarnya adalah kisah tentang cinta dari dan ke berbagai arah yang dikemas secara lyrical oleh Mike Mills dalam balutan visual cantik dari kamera arahan Robbie Ryan. Terasa luas dengan potensi besar meraih audiens namun terasa personal pula berkat tatanan konflik, isu, dan pesan yang cantik, uplifiting berkat kemampuan mengelola gagasan serta ditunjang pemilihan karakter yang luar biasa. Perilaku, gesture, dan bonds jadi kunci, Joaquin Phoenix menyusun dengan sangat baik runtutan masalah dan gejolak emosi di dalam diri Johnny serta korespondensi dengan Gaby Hoffmann yang oke sebagai supporting, yang seperti Scoot McNairy mencuri atensi with their small but significant roles. Woody Norman is a revelation, membentuk father-son bond dengan baik and makes the conversation really flow to steals hearts as the main focus.

Overall, ‘C'mon C'mon adalah film yang sangat memuaskan. Film ini seperti sebuah buku tentang hidup, memulai semua dengan pertanyaan yang mungkin terlihat dan terasa sederhana yang kemudian berkembang menjadi sebuah observational cinema yang lyrical, insightful and heartwarming, dibentuk, dikembangkan, dan diarahkan sangat baik oleh Mike Mills dengan rasa vérité yang kental untuk essay tentang hal sederhana tapi luas cakupannya, yakni cinta. Seperti yang disampaikan that damn book berjudul ‘Star Child’ by Claire A. Nivola bahwa sebagai manusia kita merupakan visitor di bumi, there will be so much for you to learn and so much for you to feel, pleasure and fear, joy and disappointment, sadness and wonder. And when the time comes to return to your star, it may be hard to say 'goodbye' to that strangely beautiful world. So you just have to come on, come on, come on, come on, come on, come on, come on, come on, come on, come on, come on, come on. Be funny, comma, when you can, period. Argh, damn this movie. 






1 comment :

  1. "I traffic in hope without the ability to know what will happen in the future."

    ReplyDelete