03 December 2021

Movie Review: The Electrical Life of Louis Wain (2021)

“Cats that do not look and live like Louis Wain cats are ashamed of themselves.”

Kamu mungkin pernah melihat scenes di film atau serial, dan mungkin juga pernah melakukannya di kehidupan nyata, momen di mana beberapa pengunjung berdiri dalam waktu cukup lama di depan lukisan di pameran lukisan. Memang akan tampak aneh jika dilihat dari sudut pandang paling simple, itu hanya lukisan kenapa harus diamati selama itu? Sesuatu yang sebenarnya tidak tepat karena dalam karya yang mereka ciptakan setiap Artist tentu saja menyuntikkan isu, ide, dan juga pesan untuk berbicara tentang sesuatu, hal yang jika dapat klik dengan pengunjung maka akan menghasilkan “sengatan listrik” yang menarik. Karakter utama film ini, Louis Wain, percaya electricity was something so extraordinary and strange that the human mind was barely able even to comprehend it.The Electrical Life of Louis Wain’ : the Wes Anderson film made by someone else.


Tidak butuh waktu lama bagi Louis Wayne (Benedict Cumberbatch), seorang Artist, untuk menggambar hewan, dia bisa menggunakan kedua tangannya dengan lincah dan bahkan menggambar hanya dengan mengacu pada memori yang ia punya. Pria unik merupakan pesona terkuat dari independent illustrator yang bekerja bagi Sir William Ingram (Toby Jones), editor di the Illustrated London News, yang meskipun awalnya sempat ragu pada “konsep” yang diusung Louis Wain di dalam tiap karya miliknya, yakni unsur misterius dengan kekuatan yang terkadang bisa dia rasakan berkilauan dari para kucing. Keputusan Sir William Ingram tepat, begitupun dengan Louis Wain karena karirnya jadi berubah menjadi semakin baik.

Hidup Louis Wain semakin menarik lagi ketika ia bertemu dengan Emily Richardson (Claire Foy), pengasuh baru bagi saudara perempuannya. Emily menjadi pusat dunia bagi Louis dan mereka memutuskan untuk memelihara seekor kucing yang dinamai Peter. Sayangnya masalah juga timbul karena setelah sang Ayah meninggal otomatis Louis harus merawat ibu dan lima saudara perempuannya. Semua terbantu memang berkat Emily yang menolong Louis Wain menemukan inspirasi dari kucing, hewan yang membuatnya semakin populer dan mengubah perspektif masyarakat terhadap hewan kucing, meskipun tetap saja tidak ada yang abadi.

Bagi mereka yang menyukai sesuatu yang eksentrik seperti gaya bercerita seorang Wes Anderson dalam konteks gaya bermain di sektor visual dan naratifnya, sangat mudah untuk langsung jatuh hati pada fase perkenalan yang dibentuk Sutradara Will Sharpe. Dari awal saja Will Sharpe seolah ingin membuat penontonnya sadar mereka akan masuk ke dalam sebuah pengalaman sinematik yang menarik dengan memiliki kesan unik sangat kental, meskipun di sisi lain merupakan sebuah biografi seorang artist asal Inggris di perpindahan abad ke-19 menuju abad ke-20. Ceritanya sendiri seperti mencoba bermain jauh dari kesan sebuah biografi, namun narasi yang hadir tidak sesederhana yang saya kira di awal, ketika saya langsung jatuh hati pesona seorang Louis Wain yang kesan uniknya itu terasa mencolok.


Tidak butuh waktu lama bagi Louis Wain untuk membuat saya merasa penasaran terhadap dirinya, kemampuan menggambar digunakan sebagai senjata utama lantas berpadu dengan karateristik Louis Wain yang tampak seperti pria dengan pendirian yang teguh. Cerita dari Simon Stephenson yang kemudian mereka tulis bersama ke dalam bentuk screenplay itu diurai dan dikembangkan dengan baik oleh Will Sharpe, tidak terlalu cepat tapi narasi memancarkan energi yang membuat rasa penasaran saya terus bertambah semakin besar. Sumbernya tidak lain posisi Louis Wain yang menemukan celah untuk dapat “membuktikan” kepada orang banyak sedangkan di sisi lain terus dibuat tertarik untuk mencari tahu serta mengenal sosok Louis Wain yang unik dan cenderung aneh itu. Dari sana lahir berbagai momen menyenangkan.

Itu kunci sukses terbesar film ini mampu menjadi sebuah comedy-drama yang terasa fun to follow serta tentu menjadi sebuah “not an ordinary biographical film” karena Will Sharpe mengkalkulasi dengan baik agar narasi dapat membawa penontonnya perlahan bergerak lebih dekat ke dalam pikiran si artist yang aneh itu. Seperti ada teka-teki di dalam pikiran Louis Wain yang mengikat atensi penonton pada dirinya, menjadi daya tarik terbesar di dalam character study tentang seorang pria yang sedang mencoba memahami dunia. Termasuk ketika elemen romance masuk dan menguasai cerita sesaat. Saya mungkin salah satu dari penonton yang berharap agar porsi elemen ini dapat sedikit lebih besar karena ada banter dan chemistry menarik di antara Louis dan Emily, agar lebih dari sekedar sebagai pion lain penggerak cerita.


Dari awal memang menarik tapi sejak kisah percintaan untuk mulai bergulir cerita jadi semakin menarik, excitement naik dari sana. Louis yang tampak seperti seorang pria “hilang” dan berusaha mencari arah seolah menemukan destinasi yang ingin ia tuju selama ini di dalam diri Emily, hidupnya yang hiruk pikuk berubah. Ada banyak emosi yang tersampaikan secara manis di elemen ini apalagi unusual framing yang diterapkan oleh Will Sharpe membantu menjaga atmosfir cerita yang unik sejak awal hingga akhir, berpadu dengan soundtrack membantu narrator (Olivia Colman) untuk mendorong penonton semakin dekat dengan kisah Louis dan Emily, yang ternyata menjadi pintu masuk lain bagi para kucing untuk semakin dominan di dalam cerita.

Kucing adalah senjata yang disimpan oleh Will Sharpe dan Simon Stephenson agar di babak akhir menjadi pendamping Louis menyelesaikan puzzle kehidupannya itu. Tapi sayangnya second act ini terasa tidak sekuat babak pertama, daya tarik sedikit lebih loose dan narasi loses a significant percentage of its appeal ketika tone cerita perlahan berubah jadi lebih dark. Itu mengapa saya berharap elemen romance punya porsi lebih besar karena ketika bergeser dari sana film tampak seperti tidak lagi tahu apa yang harus diandalkan untuk bercerita, beberapa usahanya untuk menyuntikkan energi tambahan juga terasa kurang kuat pengaruhnya. Kucing sendiri memang oke dalam hal menjaga atensi penonton tapi fungsinya sangat terbatas sebagai jembatan antara past, present, dan future, yakni antara Emily and sanity di dalam diri Louis.


Tetap membuat cerita terasa atraktif memang tapi koneksi antara tiga babak itu tadi terasa kurang kuat dan mungkin akan menjadi minus bagi beberapa penonton, sama seperti time jumps di dalam naratif yang terasa lebar dan tidak menentu, yang jika dilihat secara luas kurang berhasil sejajar dengan cinematic aesthetic babak pertama yang energik dan manis. Script memang kehilangan appeal miliknya di babak kedua namun tidak dengan kinerja akting para aktor, terutama Benedict Cumberbatch, his acting is powerful from beginning to end dan membuat potret Louis Wain ini terasa believable. Claire Foy pun demikian, Emily seperti madu manis bagi cerita dan ada energi yang mengalir antara dirinya dan Benedict Cumberbatch. Aktor lain seperti Andrea Riseborough, Toby Jones, dan Stacy Martin tampil oke, sebagai narator Olivia Colman juga oke dalam menuntun penonton dengan detail tambahan.

Overall, ‘The Electrical Life of Louis Wain adalah film yang memuaskan. Memang kehilangan daya tariknya dalam jumlah yang cukup signifikan ketika tone perlahan berubah menjadi lebih dark, tapi gaya bercerita eksentrik di sektor visual dan narasi yang Will Sharpe bentuk dengan baik sejak awal berhasil mempertahankan pesona dan energi dari pengalaman sinematik unik dan menyenangkan ini. Apalagi ketika penonton berjalan bersama Louis dan Emily yang memiliki banter dan chemistry menarik, yang kemudian dilanjutkan oleh para kucing saat merangkai past, present, dan future terhadap bagaimana Louis Wain menjalani hidupnya sebagai seorang seniman yang selalu mencoba mencurahkan hidupnya ke dalam berbagai karya. Not your ordinary biographical film, definitely. Segmented.






1 comment :

  1. “Just remember, however hard things get, however much you feel like you’re struggling, the world is full of beauty. And it’s up to you to capture it. To look and to share it with as many people as you can.”

    ReplyDelete