23 December 2018

Movie Review: First Man (2018)


“Nothing, honey. Your dad's going to the Moon.”

‘Whiplash’, kemudian disusul dengan ‘La La Land,’ harus diakui memang bagaimana Damien Chazelle kemudian memilih bermain dengan sebuah biographical drama justru di sisi lain membuat film ini terasa exciting. Bagaimana approach dari sosok yang telah lekat dengan image musik itu terhadap salah satu kisah heroic yang pernah tercipta di muka bumi ini, proses mendaratnya manusia untuk pertama kali di Bulan. Bermain dengan kisah seorang pilot di sini Damien Chazelle kembali membuktikan, he is a really great pilot. First Man: an emotionally satisfying experience.

Pada tahun 1961, test pilot NASA bernama Neil Armstrong (Ryan Gosling) sedang menerbangkan pesawat X-15 di dalam uji eksperimen untuk mencoba menembus sisi terluar atmosfir bumi. Meskipun pada akhirnya Neil berhasil mendarat di Mojave Desert namun tindakannya tersebut justu membuat Neil dihukum. Hal tersebut menambah duka Neil yang bersama dengan istrinya Janet Shearon Armstrong (Claire Foy) baru saja kehilangan anak kedua mereka akibat kanker otak.

Ketimbang terperangkap dalam duka berkepanjangan Neil justru ikut ambil bagian dalam program luar angkasa NASA yang diselenggarakan di Houston, yaitu Project Gemini, sebuah misi persiapan untuk misi mendaratkan manusia ke bulan yang diusung nasa, yaitu Project Apollo. Telah menjadi program yang meraih atensi banyak orang dan mulai mendapatkan berbagai kritikan, para astronot berada di bawah tekanan, terlebih Neil yang telah menaruh keluarganya sebagai fokus kedua setelah misi berbahaya yang belum pernah manusia berhasil lakukan, yaitu mendarat di bulan. 


Jika diambil rata-rata maka terdapat jarak sebesar 238,855 miles atau sebesar 384,400 km yang memisahkan Bumi dan juga Bulan. Berdasarkan data NASA maka jarak tersebut sama dengan 30 buah planet seukuran Bumi. Dari sana bisa dibayangkan seberapa besar tantangan dan juga tekanan yang dihadapi oleh para astronot NASA dalam program yang mereka jalani, yaitu untuk mendarat di bulan. Namun menariknya angka yang sangat besar dan ruang bermain di luar angkasa yang tentu saja sangat luas tidak menjadi senjata utama Damien Chazelle di film ini. Ditempatkan secara sederhana status mereka hanya sebuah goals, destinasi akhir dari sebuah cerita, Damien Chazelle justru membawa penontonnya bermain di ruang yang lebih kecil dari itu.

Ruang kecil dan sederhana digunakan oleh Damien Chazelle untuk membawa penonton menyaksikan one of the most impossible human achievement kala itu. Eksplorasi personal, ketimbang fokus mengeksplorasi program NASA dan juga luar angkasa lalu kemudian menjejali cerita dengan berbagai visual efek luar biasa, di sini kita justru dibawa masuk ke dalam kehidupan personal Neil Armstrong. Neil Armstrong melakukan manuver yang berhasil membawanya ke orbit, kamera kemudian berputar ditemani suara keras dan instruksi dari Mission Control, kekacauan terjadi, bernafas, kemudian hening. Berpadu dengan kondisi di mana anak kedua Neil sedang sakit, itu dua dari empat bagian penting cerita dalam skala major, tantangan bagi Neil Armstrong, dan mereka hadir di bagian awal cerita.


Bagaimana cerita ini akan berakhir kita sudah sama-sama tahu, sebuah kesuksesan, berhasil berjalan di Bulan, perjuangan yang heroic. Di dalam keheningan yang manis bagian final reward itu berhasil Damien Chazelle kemas agar terasa sangat compact namun tajam, dan meskipun kita sudah mengetahui ending tersebut tetap terasa emosi yang terasa sangat “kaya” di sana, sangat moving. Hal tersebut tidak lepas dari pengaruh satu bagian lain dari cerita, yaitu the process. Damien tetap menaruh space race sebagai komponen penting cerita namun di sisi lain itu ia gunakan sebagai cetakan untuk kemudian diisi dengan berbagai “chaos” di dalam diri karakter utama, perjuangan Neil Armstrong.

Dan Damien Chazelle ikut menarik penonton untuk masuk ke dalam sebuah ruangan yang telah ia siapkan, duduk bersama untuk menyaksikan Neil Armstrong “tersiksa” dan juga berjuang. Dan merasakan. Itu mengapa meskipun berkisah tentang space race namun ‘First Man’ justru terasa sangat intim. Dibantu dengan script dari Josh Singer (Spotlight, The Post) kita terus menemani Neil berhadapan dengan berbagai hal tragis, di sisi lain emosi terus terbentuk semakin atraktif. Damien berhasil menciptakan tone dan rhythm yang oke di setiap sudut cerita agar koneksi antara penonton dan juga Neil Armstrong terus bertumbuh semakin dalam, terjebak bersama pria biasa itu di dalam sebuah ruang emosi dipenuhi claustrophobia.


Di sana letak kesuksesan ‘First Man’, sebuah penggambaran seberapa sulit perjuangan untuk mencapai sesuatu, secara step-by-step menunjukkan sebuah proses mewujudkan mimpi yang menguras fisik, mental, dan emosi. Di tangan Damien kisah ini terasa sangat kaya secara emosi dan itu dipadu padankan dengan thrill dalam komposisi yang sangat oke. Sense of danger selalu hadir dan terasa jelas, bersama dengan beautiful cinematography dari Linus Sandgren dan juga score dari Justin Hurwitz yang terasa seolah “terikat” dengan tiap scene yang muncul di layar. Damien sukses membuat character study ini tidak hanya membawa penonton bermain dengan emosi dari cerita namun juga larut lebih dalam bersama tekanan ekstrim Neil, bertemu “terror” yang datang silih berganti dengan kuantitas dan kualitas yang terus meningkat. 

Kualitas dari “terror” yang terasa konsisten sejak awal hingga akhir juga tidak lepas dari karakter Neil Armstrong sendiri yang ternyata dikenal sebagai sosok introvert yang tenang ketika berada di bawah tekanan. Ryan Gosling berhasil menampilkan itu dengan sangat baik, dari cara ia menampilkan sisi cerdas dan optimis seorang Neil hingga internal thoughts dipenuhi rasa sakit dan takut lewat ekspresi yang terasa halus dan tidak berlebihan. Claire Foy juga punya peran sangat penting. Damien memberikan role kepada Janet sebagai "penonton" yang dipenuhi rasa takut dan gugup, itu ditampilkan dengan sangat baik oleh Claire Foy, seorang istri yang menolak untuk pasrah dan terus dipenuhi rasa cemas. Chemistry antara Ryan Gosling dan Claire Foy juga terasa intens, siksaan batin di antara suami dan istri yang terasa manis.


Overall, ‘First Man’ adalah film yang sangat memuaskan. Mengangkat kisah heroic dari perjuangan seorang Neil Armstrong untuk menjadi manusia pertama yang menjejakkan kaki di Bulan, ‘First Man’ merupakan sebuah character study dalam bentuk sebuah potret internal lives Neil Armstrong, sebuah perjalanan berliku dipenuhi berbagai “chaos” yang ditampilkan oleh Damien Chazelle dalam ruang yang lebih sederhana tetap dengan signature andalannya. Perpaduan drama dari seorang family man bersama dengan space race yang dipenuhi dengan berbagai “terror” yang terasa mencengkeram, lalu balut mereka semua dengan emosi kualitas tinggi, ‘First Man’ is an emotionally satisfying experience. Segmented.











0 komentar :

Post a Comment